From: B.DORPI P. 
Sent: Tuesday, November 8, 2016 8:30 AM


http://www.suaramerdeka.com/harian/0312/10/nas5.htm

Rabu, 10 Desember 2003           
 

Rivalitas Tiga Putri BK






 





















Rachmawati (kiri) dan Megawati       



      
TRAUMA. Itulah kesan yang muncul atas keluarga presiden pertama RI Bung Karno 
(biasa disingkat dengan BK) pada awal kejatuhan pemerintahannya. Hal tersebut 
wajar karena ketika itu mereka masih buta politik, tiba-tiba harus meninggalkan 
istana: ketika terjadi pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru.

 

Tak sebatas itu, perlakuan-perlakuan rezim yang berkuasa atas Bung Karno dan 
keluarganya membuat mereka semakin tidak nyaman. Wajar pula jika anak-anak 
proklamator itu menjelang Pemilu 1982 membuat kesepakatan tak berpartisipasi 
aktif dalam organisasi atau partai politik (parpol).

 

Selain itu, dasar kesepakatan tersebut adalah ingin mencontoh Bung Karno yang 
berdiri di atas semua golongan dan parpol. Pertimbangan lain, tak ada satu pun 
partai, termasuk PDI, yang memperjuangkan dan meneruskan semangat marheinisme: 
ajaran Soekarno yang dijadikan asas PNI pada 1952. PNI pun kemudian berfusi ke 
dalam PDI pada Pemilu 1973.

 

Konsensus itu disepakati oleh Guntur, Megawati, Guruh, Sukmawati, Rachmawati, 
Bayu, dan Taufan di rumah Guruh Jl Sriwijaya Jakarta. Namun, baru beberapa 
tahun berjalan, dalam perkembangan politik kemudian tiba-tiba Guruh dan 
Megawati "membelot" dari kesepakatan dan masuk ke politik praktis.

 

Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI waktu itu merekrut dua anak Bung Karno untuk 
mendongkrak suara partainya. Tampilnya dua anak prokalamtor itulah yang 
menyemarakkan setiap kampanye yang digelar PDI.

 

Melihat dua saudaranya terjun ke politik praktis, Rachmawati memberi respons 
kurang baik karena khawatir keduanya hanya akan dijadikan alat penarik suara. 
Tentu dia percaya Mega dan Guruh punya pertimbangan sendiri.

 

Lalu, Rachma lebih memilih jalur pendidikan melalui Yayasan Pendidikan Soekarno 
untuk mengembangkan ajaran Soekarno. Adapun Sukmawati masuk dalam Gerakan 
Rakyat Marhaen (GRM) pada 1993.

 

Perkiraan Rachma tidak meleset karena dua anak Bung Karno mampu mendongkrak 
suara PDI dari 40 kursi di DPR pada 1987, menjadi 56 kursi pada 1992. 
Pemerintah Soeharto juga tersentak ketika Guruh pada Sidang MPR 1993 mencoba 
masuk daerah rawan saat itu, yaitu mencalonkan sebagai calon presiden.

 

Tren kenaikan suara PDI dan munculnya calon presiden Guruh pada saat itu 
membuat gerah pemerintahan Soeharto, sehingga para elite Orde Baru saat itu tak 
bisa tidur nyenyak dalam menghadapi Pemilu 1997. Apalagi akses Megawati yang 
terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI pada 1994 cukup merisaukan.

 

Lalu, terjadilah rekayasa politik untuk mendepak Mega dari PDI dan DPR dengan 
menampilkan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI dengan konsesi politik tak akan 
mencalonkan presiden selain Soeharto saat itu.

 

Dalam kondisi seperti itu, Sukma yang aktif dalam GRM yang didirikan pada 1981 
bersama LSM dan ormas prodemokrasi menyatakan protes atas ketidakdilan yang 
diberlakukan kepada Mega dan PDI saat itu.

 

Belum ''Bersih''

 

Apalagi, saat itu nama Soekarno banyak dipersoalkan karena dinilai belum 
''bersih'', terutama soal ajarannya. Marhaenisme dilarang melalui Tap MPR Nomor 
32 Tahun 1967 karena disebut-sebut sebagai marxisme yang diterapkan di 
Indonesia.

 

Wajar pula jika Sukma kemudian memberikan dukungan kepada Mega setelah melebur 
dalam Majelis Rakyat Indonesia (Mari) pada akhir Juni 1996.

 

Sukma adalah sosok putri Bung Karno yang menyukai seni dan cenderung bergaya 
eksentrik. Selain seni, dia ternyata senang berpolitik. Karena itu, tak heran 
jika sejak awal dia duduk di GRM kemudian bergabung ke Mari untuk mendukung 
gerakan prodemokrasi.

 

Seperti halnya Mega, Sukma pun pada era euforia demokrasi pada Pemilu 1999 
bergabung ke politik praktis, yaitu menjadi figur yang dipasang oleh partai 
pimpinan Ny Supeni untuk mendongkrak perolehan suara.

 

Atas keinginan tetap memperjuangkan marhenisme Bung Karno, pada pemilu 2004 dia 
mendirikan partai yang berasas marhenisme. Dia tidak mau bergabung dengan 
Megawati karena PDI-P dinilainya tak lagi memperjuangan ajaran Soekarno.

 

Kesan tidak akur memang ada. Namun, Sukma dalam pertentangan dengan Mega tidak 
mengambil jalan konfrontatif. Dia hanya tidak merasa sreg dengan PDI-P yang 
tidak berasas ajaran Bung Karno. Lantas dia pun memilih mendirikan partai 
sendiri.

 

Lain halnya hubungan antara Mega dan Rachma. Pertentangan keduanya begitu 
terlihat. Tak jarang kritik-kritik tajam yang cenderung mendiskreditkan di 
antara keduanya begitu keras. Hal itu terlihat betapa tidak senangnya Rachma 
ketika Mega berkonspirasi dengan kekuatan politik lain menggusur Presiden 
Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

 

Secara terang-terangan ketika Gus Dur lengser dalam SU MPR 2001, Rachma 
langsung berpihak kepada cucu pendiri NU KH Hasyim As'yari itu.

 

Dalam perjalanannya dia pun menjadi anggota keluarga Bung Karno yang terjun ke 
politik praktis menyusul Mega dan Sukma dengan mendirikan Partai Pelopor.

 

Rachma pada 29 Agustus mendirikan partai itu di Asrama Haji Pondok Gede, 
Jakarta. Dia mengklaim dirinya paling murni memperjuangkan ajaran Bung Karno 
dengan substansi inti adalah antiimperialisme.

 

Terhadap pemerintahan Mega, Rachma kerap melancarkan kritik keras. Dia menilai 
pemerintahan Mega tidak lebih baik daripada pemerintahan sebelumnya. Masalah 
KKN masih menjadi bahan kritikannya. Tidak jarang dia menyebut pemerintahan 
sekarang sebagai Orde Baru Jilid II setelah pemerintahan Orba Jilid I yang 
dipimpin Soeharto.

 

Bahkan, dalam berbagai kesempatan dia menekankan perlunya perubahan dan 
mengajak kekuatan lain untuk melakukan hal itu. Kata perubahan itu tentu saja 
dialamatkan kepada Megawati yang dinilai tidak mampu memberantas KKN dengan 
membiarkan lahirnya KKN baru. Itulah yang dia sebut sebagai biang dari tak 
berakhirnya krisis.

 

Atas serangan dan berpihakan Rachma kepada lawan-lawan politiknya, Mega tidak 
pernah merespons. Masalah keakraban Rachma dengan lawan-lawan politik yang akan 
menggusur Mega pun tak banyak dikomentari.

 

Hanya dalam satu kesempatan Taufik Kiemas, suami Mega, ketika ditanya soal itu 
berkomentar, ''Kita tidak bisa mengurus dapur orang lain.'' 





(A Adib-e)















  • ... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]
    • ... 'Karma, I Nengah [PT. Altus Logistic Service Indonesia]' ineng...@chevron.com [GELORA45]
    • ... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]
    • ... 'Sunny' am...@tele2.se [GELORA45]
    • ... 'Sunny' am...@tele2.se [GELORA45]

Kirim email ke