Pergeseran kepimpinan adalah rebutan rejeki dikalangan kaum neo-Mojopahit.

From: Marco 45665 
Sent: Wednesday, November 9, 2016 12:25 PM
To: GELORA_In ; Chan CT ; Sunny ; Chalik Hammid ; RKB ; Temu Eropa ; Hsin Hui 
Lin ; Jakarta Globe ; kh djie ; mailto:pers-indone...@yahoogroups.com ; NESARE 
; wahana-n...@yahoogroups.com ; Nasional-List 
Subject: Re: [GELORA45] Fw: Pergeseran Kepemimpinan Jokowi

ANALYSA YANG MAPAN DAN MEMBUMI  - ENAK DIBACA - MUDAH DICERNAK dan terutama 
dikupas dalam Tingkat Akademis yang Objektive / Rationil (tanpa Guncangan 
Emosionil ). 
Marc.

2016-11-09 2:08 GMT+01:00 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45] 
<GELORA45@yahoogroups.com>:

    


  From: B.DORPI P. 
  Sent: Wednesday, November 9, 2016 8:19 AM

  
http://doa-bagirajatega.blogspot.co.id/2016/11/pergeseran-kepemimpinan-jokowi-rizal.html

  Selasa, 08 November 2016 



  Pergeseran Kepemimpinan Jokowi 

  RIZAL MALLARANGENG



  "Indonesia's Widodo, maverick no longer". Itulah judul kolom Hamish McDonald 
di Nikkei Asian Review baru-baru ini. Wartawan senior Australia ini rupanya 
mulai khawatir: Presiden Jokowi, setelah dua tahun memerintah, berubah menjadi 
politisi normal, bukan lagi pendobrak yang militan, maverick. 



  Pesimisme McDonald seperti ini berasal dari hasil penelitian Eve Warburton, 
ilmuwan politik di Australian National University. Penelitian Warburton menarik 
karena setidaknya dia memberi kerangka yang sistematis untuk mendiskusikan ciri 
khas pemerintahan Jokowi yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga. 



  Konsepnya yang mencuri perhatian adalah neo-developmentalisme. Ia 
mengingatkan kita pada perdebatan lama tentang karakteristik pemerintahan 
Jenderal Soeharto. Dengan konsep ini, Warburton berargumen bahwa Jokowi—setelah 
menang pilpres dengan citra kerakyatan yang berada di luar sistem—kini 
mengembangkan praktik patronase yang sama dengan sebelumnya. 



  Bedanya, kalau Pak Harto otoriter, Jokowi harus bermain dalam panggung 
demokrasi. Namun, esensi keduanya sama: the exercise of power digunakan untuk 
mencapai tujuan non-kerakyatan, seperti deregulasi, disiplin fiskal, 
pengembangan infrastruktur, dengan menafikan tujuan lainnya. 



  Dalam hal Jokowi, Eve Warburton menjelaskan bahwa kini semangatnya untuk 
memimpin gebrakan pemberantasan korupsi sudah menipis, sementara kemampuannya 
untuk melakukan manuver politik justru semakin canggih dan licin. 



  Jadi, singkatnya, seperti dikatakan Hamish McDonald di atas, Presiden Jokowi 
sekarang sudah menjadi normal: seorang pemimpin yang beradaptasi dan 
memanfaatkan lingkungan sekitarnya, bukan mengubah, apalagi mentranformasikan 
lingkungan tersebut. 



  Sang penguasa telah menghirup opium kekuasaan yang membius. Benarkah? 
Terhadap argumen yang lumayan berat seperti itu, apa yang bisa kita katakan? 



  Saya cenderung melihat konsep Eve Warburton sebagai sebuah konstruksi 
intelektual yang agak berlebihan. Namun harus diakui, pengamatan ilmuwan muda 
dari "Negeri Kanguru" ini terhadap evolusi kekuasaan Jokowi cukup jeli dan 
cenderung akurat. Kita setuju pada fakta yang dia ungkapkan: setelah tersudut 
dan terombang-ambing di tahun pertama, mantan Wali Kota Solo itu kini telah 
menguasai medan sepenuhnya tanpa oposisi yang berarti. 



  The prince is now reigning supreme. Pertanyaan kita adalah apakah fakta 
tersebut berhubungan langsung dengan praktik patronase politik, sebagaimana 
yang disimpulkan Eve Warburton? 



  Patronase seperti apa persisnya yang dipersoalkan di sini? Katakanlah Partai 
Golkar: setelah berubah dari oposisi menjadi pendukung pemerintah, salah 
seorang kadernya mendapat kursi di kabinet, yaitu Airlangga Hartarto, Menteri 
Perindustrian. 



  Bagi saya, hal ini bukanlah praktik patronase, tetapi lebih sebagai seni 
membangun koalisi yang memang niscaya dalam demokrasi. Lagi pula, pilihan 
terhadap Airlangga cukup meritokratis, sebab dia mampu dan memiliki pengalaman 
panjang dalam perumusan kebijakan industri. 



  Kita tentu boleh mengkritik pilihan pada Airlangga, sebagaimana kita bisa 
saja menolak pengangkatan Wiranto sebagai Menkopolhukam karena perannya dalam 
prahara Timor-Leste dulu. 



  Namun, semua itu harus didasarkan pada argumen spesifik yang bersifat 
individual, tidak bisa disamaratakan begitu saja dengan mengatakan bahwa kedua 
tokoh tersebut adalah bagian dari patronase politik. Contoh kecil ini 
mengharuskan kita berhati-hati dalam membuat sebuah kesimpulan umum. 



  Konsep besar, seperti sistem patronase politik, memang enak didengar dan 
menarik sebagai bahan diskusi akademik. Tapi kalau sembarangan, konsep tersebut 
malah akan mengacaukan pengertian kita pada kenyataan yang sesungguhnya. 



  Prioritas Masalah berikutnya dalam penjelasan Eve Warburton adalah pada 
pilihan prioritas kebijakan Jokowi. Dalam kondisi Indonesia saat ini, apakah 
pendobrakan yang transformatif hanya dapat dilakukan lewat kebijakan anti 
korupsi yang bergelora? 



  Membangun jalan raya, mengefisienkan badan usaha milik negara (BUMN), membuka 
lapangan kerja; kalau semua ini berhasil dilakukan, apakah akibatnya tidak 
transformatif? Apa persisnya yang kita maksud dengan transformasi masyarakat? 
Seorang ilmuwan tidak bisa berlindung di balik konsep besar seperti 
neo-developmentalisme untuk menghindari pertanyaan seperti itu. 



  There must be a conceptual justification, suatu hal yang sayangnya tidak 
dilakukan Eve Warburton. Hal ini membuat analisisnya terkesan sepihak, lebih 
mirip sebagai pamflet politik, bukan uraian akademis yang dingin dan berimbang. 



  Selain itu, dalam soal prioritas kebijakan, saya melihat bahwa sejauh ini 
Jokowi tidak terpenjara, tetapi tumbuh dalam kekuasaan. Ia telah meninggalkan 
retorika era kampanye, dengan memilih kebijakan yang memang perlu dan mungkin 
dilakukan. 



  Kalau dia berkeras untuk setia pada citranya semula sebagai kandidat di luar 
sistem—seperti yang diharapkan Eve Warburton, Hamish McDonald, dan banyak tokoh 
lainnya di dalam dan luar negeri—maka sekarang Jokowi mungkin sudah kebingungan 
sendiri, terkucil dari pemerintahan yang harus dipimpinnya. 



  Pergeseran posisi demikian boleh saja disebut sebagai normalisasi Jokowi. 
Sebutan ini hanya masalah semantik. Yang jelas, kita justru patut bersyukur 
bahwa dia telah berubah. Pertanyaan penting sekarang adalah apakah dengan 
kekuasaan eksekutif yang kini sepenuhnya telah ia kendalikan, plus dukungan 
mayoritas kursi di DPR, Presiden ke-7 RI ini memang mampu mengukir sukses 
besar? 



  Mampukah dia membuka lapangan kerja seluas-luasnya, meningkatkan taraf 
pendidikan secara berarti, membangun jalan tol 1.000 kilometer? 



  Semoga Jawaban semua itu tentu tidak bisa diberikan sekarang. Kita masih 
perlu bersabar satu atau dua tahun lagi. Pada saat itulah kita bisa menilai 
apakah Jokowi akan menjadi tokoh transformatif atau sebaliknya, seorang 
pemimpin yang hanya sibuk dengan akumulasi kekuasaan demi kekuasaan itu semata. 
Buat saya, dari segi kebijakan, arah perjalanan Jokowi sekarang sudah di jalur 
yang benar. Kondisi perekonomian dunia memang sedang tidak bersahabat, tetapi 
hal ini pasti tidak permanen. 



  Lagi pula, masih banyak hal yang bisa dilakukan agar Indonesia keluar dari 
perangkap negara berpenghasilan menengah,middle income trap, yang bisa membuat 
kita hanya berjalan di tempat. 



  Jokowi memiliki sejumlah menteri yang andal. Kombinasi Sri Mulyani dan Rini 
Soemarno, dua perempuan cerdas yang tangguh dengan posisi kabinet paling 
strategis, serta beberapa tokoh lainnya, yaitu Luhut Pandjaitan, Susi 
Pudjiastuti, Basuki Hadimuljono, dan Ignasius Jonan, mestinya sudah lebih dari 
cukup untuk melakukan banyak terobosan. 



  Dengan pembantu sekaliber mereka, plus sedikit keberuntungan, Jokowi 
seharusnya bisa menggerakkan gunung. Kita berdoa semoga semua itu memang 
terjadi. 



  RIZAL MALARANGENG, 

  PENDIRI FREEDOM INSTITUTE JAKARTA

































  

Kirim email ke