Barangkali betul diskriminatif; diskriminatif terhadap pekerja ilegal dan pekerjaan terlarang (narkoba, prostitusi dsb). Selama berlandaskan hukum saya kira menciduk pekerja ilegal atau yang berkecimpung di pekerjaan terlarang bukanlah rasisme. Sering juga kok artis Indonesia berdarah campuran kena ciduk lantaran berpaspor negara lain dan tanpa dokumen kerja.
--- jonathangoeij@... wrote: Benar razia seperti ini selalu ada, di US bahkan pernah seorang Indonesia (kisah nyata) yg keciduk bahkan sempat ditahan tetapi segera dilepas setelah melalui pengecekan SSN beliau terbukti kalau citizen, petugas ICE (Immigration Custom Enforcement) kemudian meminta maaf bahkan memberikan settlement (ganti rugi) karena salah tangkap ini. Belum lagi banyak sekali yg berwajah latina ataupun ngomong dgn aksen yg berat yg jadi sasaran pemeriksaan, dus disini menimbulkan protes keras akan tindakan diskriminasi thd mereka yg tidak bertampang kaukasian dan beraksen berat, padahal toh ada juga yg kaukasian yg bekerja secara ilegal (contoh nyonya Donald Trump sebelum kawin). Pembelaan sang mantan menteri ilegal itu juga simple "lha wong tampang Padang begini" ha ha ha, ini juga bersifat racist. Yg perlu dicari caranya adalah bagaimana menghindari tindakan diskriminatif seperti ini, mencari tenaga kerja ilegal dari Tiongkok dgn gampang terjebak wajah khas asia seperti yg disebutkan diberita itu yg dgn jelas disebutkan ke 4 orang itu digrebek karena wajah khas asia itu. Dus seandainya dilakukan pencarian besar2an dgn metode wajah khas asia artinya orang indonesia asli dgn wajah khas asia (atawa keturunan Tionghoa) yg berada didaerah rasia akan ikut jadi sasaran. --- ajegilelu@... wrote : Razia tenaga kerja asing ilegal selalu ada. Hasilnya pun tidak melulu berwajah Asia. Di negara lain pun razia seperti itu pasti ada. Masalahnya, pemerintah selalu membantah masuknya tenaga kerja asing asal RRC. Lucunya, semakin membantah malah semakin sering ditemukan pekerja RRC ilegal di berbagai bidang. Melalui menteri BUMN akhirnya pemerintah mengakui bahwa proyek KCIC (Kereta Cepat Indonesia Cina) memang melibatkan pekerja RRC tetapi sebatas tenaga ahli. Aneh, kenapa pemerintahcuci tangan tentang yang ilegal lainnya, dan kenapa bukan menteri tenaga kerja yang bicara. Menaker Bantah Pekerja Asing Tiongkok Masuk Indonesia Tambah lucu lagi, selang 2 bulan setelah menteri BUMN mengaku,tertangkaplah 5 pekerja asing ilegal pada proyek KCIC di Halim. 5 Pekerja China di Halim Menjadi pertanyaan besar kenapa pemerintah seolah tutup mata terhadap merebaknya gejala ini. Atau memang secekak itukah pengetahuan pemerintah sampai tingkat menteri pun sempat diisi dengan pekerja ilegal? Seperti biasa, jawabannya paling blowin' in the wind. --- jonathangoeij@... wrote: saya mau melihat disisi lain bagaimana penggrebekan itu, melihat berita dibawah yg dimaksud wajah khas Asia itu khan kulit kuning dan mata sipit, bukankah seandainya modus penggrebekan ini di-terus2kan jadinya mereka yg keturunan tionghoa akan jadi sasaran penggrebekan terus, secara tidak langsung kembalinya PP 10?---Benar saja, dari kejauhan, tampak beberapa wajah khas Asia, yang sangat mencolok dan terlihat berbeda di tengah kerumunan petani lokal. Tanpa basa-basi, tim langsung menghampiri dan memeriksa beberapa orang tersebut.http://www.jawapos.com/read/2016/11/09/63282/ketika-petani-tiongkok-buka-ladang-di-bogor --- ajegilelu@... wrote : Ayo kita nyanyi blowin' in the wind, hehe... --- jonathangoeij@... wrote: hal itu benar dari berita di link itu terkesan petani China itu sebagai buruh tani, ini mengherankan sekali karena tentu harus membayar upah buruh yg jauh lebih mahal. kenapa kok bisa begitu? apakah ada hal lain selain diberita sepintas itu? --- ajegilelu@... wrote : Begitu juga petani, banyak di Indonesia kan? --- jonathangoeij@... wrote: diberita dibawah terkesan harga cangkul impor itu lebih murah dgn kwalitas yg lebih bagus. kenapa kok cangkul dalam negeri lebih mahal dgn kwalitas yg lebih jelek?bukannya biji besi banyak di Indonesia? --- Sementara, salah seorang Petani di Playen, Gunungkidul Suwito mengaku, ia lebih memilih membeli produk China yang dijual di toko banguanan karena harganya lebih murah. Untuk satu cangkul diberi harga Rp100 ribu sampai Rp150 ribu."Cangkul dari China lebih awet, saya pakai sejak 2 tahun lalu, kondisinya masih bagus," ucapnya.--- ajegilelu@... wrote : setelah cangkul, petaninya juga | | Setelah Cangkul Impor, Petani China Mul... | | --- jetaimemucho1@... wrote: Bukannya dibantu para perajin lokal untuk berkembang dan meningkatkan kwalitas produknya, tapi malah dimatikan bisnisnya demi mengabdi kepada para pengusaha Tkk dan komprador Indonesianya/importir. Inilah free trade!!! Pemerintah Impor Cangkul, Sejumlah Perajin Lokal Hentikan Produksi Sejumlah pengrajin besi di Gunugkidul berhenti memproduksi cangkul (Markus Yuwono/Okezone) YOGYAKARTA – Kebijakan impor cangkul dari China dan Vietnam yang dilakukan pemerintah membuat sejumlah perajin besi di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, mengaku kecewa. Menanggapi kebijakan impor tersebut, para perajin memutuskan utnuk berhenti tidak memproduksi cangkul.Salah satu perajin besi, di Desa Karangtengah, Kota Wonosari, Siswanto Anwar mengatakan, sejak masuknya cangkul impor beberapa tahun terakhir, menyebabkan para perajin mengalami penurunan omset yang cukup signifikan. Diakuinya, harga cangkul impor lebih murah dibandingkan hasil karyanya.BERITA REKOMENDASI - Perajin Lokal Belum Terpengaruh Cangkul Impor China - DPR Desak Pemerintah Stop Impor Cangkul - Gagang Cangkul Lokal Masih Mendominasi Pasar Nasional "Untuk segi kualitas, sebenarnya tidak kalah, tetapi karena omset terus menurun, kami tidak lagi memproduksi cangkul," katanya kepada wartawan, Senin (7/11/2016).Ia menambahkan, saat ini pihaknya lebih berfokus untuk memproduksi sabit, parang dan juga perkakas pertanian lainnya yang lebih laku di pasaran. "Saat ini fokus memproduksi yang laku saja, semoga pemerintah tidak mengimpor sabit juga," harapnya.Ia berharap, kebijakan impor cangkul yang dilakukan pemerintah di kaji ulang, agar para perajin kelas menengah tidak dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut. Apalagi, selama ini pemerintah selalu mengkampanyekan penggunaan barang produksi lokal untuk menghidupkan kembali industri kerajinan lokal."Jangan sampai mematikan pengrajin lokal, kalau perlu ditambah modal," ujar dia.Sementara, salah seorang Petani di Playen, Gunungkidul Suwito mengaku, ia lebih memilih membeli produk China yang dijual di toko banguanan karena harganya lebih murah. Untuk satu cangkul diberi harga Rp100 ribu sampai Rp150 ribu."Cangkul dari China lebih awet, saya pakai sejak 2 tahun lalu, kondisinya masih bagus," ucapnya. #yiv4031475576 #yiv4031475576 -- #yiv4031475576ygrp-mkp {border:1px solid #d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mkp #yiv4031475576hd {color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 0;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mkp #yiv4031475576ads {margin-bottom:10px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mkp .yiv4031475576ad {padding:0 0;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mkp .yiv4031475576ad p {margin:0;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mkp .yiv4031475576ad a {color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-sponsor #yiv4031475576ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-sponsor #yiv4031475576ygrp-lc #yiv4031475576hd {margin:10px 0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-sponsor #yiv4031475576ygrp-lc .yiv4031475576ad {margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv4031475576 #yiv4031475576actions {font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv4031475576 #yiv4031475576activity {background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576activity span {font-weight:700;}#yiv4031475576 #yiv4031475576activity span:first-child {text-transform:uppercase;}#yiv4031475576 #yiv4031475576activity span a {color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv4031475576 #yiv4031475576activity span span {color:#ff7900;}#yiv4031475576 #yiv4031475576activity span .yiv4031475576underline {text-decoration:underline;}#yiv4031475576 .yiv4031475576attach {clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 0;width:400px;}#yiv4031475576 .yiv4031475576attach div a {text-decoration:none;}#yiv4031475576 .yiv4031475576attach img {border:none;padding-right:5px;}#yiv4031475576 .yiv4031475576attach label {display:block;margin-bottom:5px;}#yiv4031475576 .yiv4031475576attach label a {text-decoration:none;}#yiv4031475576 blockquote {margin:0 0 0 4px;}#yiv4031475576 .yiv4031475576bold {font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv4031475576 .yiv4031475576bold a {text-decoration:none;}#yiv4031475576 dd.yiv4031475576last p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv4031475576 dd.yiv4031475576last p span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv4031475576 dd.yiv4031475576last p span.yiv4031475576yshortcuts {margin-right:0;}#yiv4031475576 div.yiv4031475576attach-table div div a {text-decoration:none;}#yiv4031475576 div.yiv4031475576attach-table {width:400px;}#yiv4031475576 div.yiv4031475576file-title a, #yiv4031475576 div.yiv4031475576file-title a:active, #yiv4031475576 div.yiv4031475576file-title a:hover, #yiv4031475576 div.yiv4031475576file-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv4031475576 div.yiv4031475576photo-title a, #yiv4031475576 div.yiv4031475576photo-title a:active, #yiv4031475576 div.yiv4031475576photo-title a:hover, #yiv4031475576 div.yiv4031475576photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv4031475576 div#yiv4031475576ygrp-mlmsg #yiv4031475576ygrp-msg p a span.yiv4031475576yshortcuts {font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv4031475576 .yiv4031475576green {color:#628c2a;}#yiv4031475576 .yiv4031475576MsoNormal {margin:0 0 0 0;}#yiv4031475576 o {font-size:0;}#yiv4031475576 #yiv4031475576photos div {float:left;width:72px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576photos div div {border:1px solid #666666;height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576photos div label {color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576reco-category {font-size:77%;}#yiv4031475576 #yiv4031475576reco-desc {font-size:77%;}#yiv4031475576 .yiv4031475576replbq {margin:4px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-actbar div a:first-child {margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mlmsg {font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mlmsg select, #yiv4031475576 input, #yiv4031475576 textarea {font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mlmsg pre, #yiv4031475576 code {font:115% monospace;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mlmsg * {line-height:1.22em;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-mlmsg #yiv4031475576logo {padding-bottom:10px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-msg p a {font-family:Verdana;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-msg p#yiv4031475576attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-reco #yiv4031475576reco-head {color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-reco {margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-sponsor #yiv4031475576ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-sponsor #yiv4031475576ov li {font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-sponsor #yiv4031475576ov ul {margin:0;padding:0 0 0 8px;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-text {font-family:Georgia;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-text p {margin:0 0 1em 0;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv4031475576 #yiv4031475576ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none !important;}#yiv4031475576