res : Sudah lama kebangkitan politik agama, hal ini bisa dilihat dengan 
didirikan partai-partai politik berazaskan agama, cuma saja dulu lain sekarang 
lain, sekarang bahan bakar b  berideologi  “Wahabiisme”, maka oleh sebab itu 
bertambah ramai dan sering tragis hasil politiknya. Kita lihat pada pengiriman 
Laskar-Laskar Jihad untuk membasmi kaum Nasrani di Indonesia Timur, antara lain 
di Sulawesi Tengah dan Maluku. Perusakan rumah-rumah ibadah kaum agama 
minoritas, dikeluarkan macam-macam larang kepada kaum minoristas. Apakah contoh 
yang diungkap ini berbeda dengan apa yang dilakukan antara lain oleh ISIS di 
Timur Tengah? Imam besar FPI Habib Rizieq  dalam pidatonya beberapa waktu 
silam, antara lain mengatakan ISIS adalah saudara. Para petinggi rezim 
Neo-Mojopahit  antara lain Jokowi, Kalla, panglima TNI, Kapolri  sepanggung 
dengan Habib Rizieq 2/12, tetapi mereka ini tidak hadir pada demo Bineka 
Tunggal Ika di Jakarta 4/12/2016. Untuk menghindari permainan politik lempar 
batu sembunyi tangan ini dan
mengkonkritkan gambaran politik ini patut kita semua perjuangkan kemerdekaan 
pulau Jawa sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh bebas dari ikatan dengan 
lain wilayah diluar batas territorialnya. Sumbangan Anda untuk maksud suci ini 
demi hari depan yang menguntungkan semua pihak di segala bidang bukan saja 
Jawasentris. Amin!

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/kebangkitan-politik-agama/

Kebangkitan Politik Agama 
Oleh Tedi Kholiludin

3 Desember 2016 0:02 WIB Category: SmCetak, Wacana A+ / A-JIKA pada era Orde 
Baru ”kambing hitam” itu bernama ideologi (komunisme) dan etnis (Tionghoa), 
maka usai reformasi, demokrasi ditandai dengan mencuatnya kelompok-kelompok 
beridentitas agama.

Kebangkitan politik identitas, khususnya yang mengerek bendera agama, merupakan 
salah satu penanda gerakan-gerakan sosial dan politik pada era reformasi ini. 
Demokrasi adalah ruang di mana semua warga negara berhak mengisi lengkap dengan 
membawa serta segala bentuk atribut, tak terkecuali agama.

Gejala kebangkitan politik identitas, lahir berbarengan dengan proses 
demokratisasi yang terus berjalan. Keseimbangan dalam mendialogkan demokrasi 
sebagai fakta politik di satu sisi dengan agama di sisi yang lain, akan sangat 
menentukan langkah sebuah pemerintahan; berjalan tegak atau tergopohgopoh.

Daya tawar agama di ruang publik harus diakui memang sangat tinggi. Semua lini 
kehidupan selalu melibatkan identitas agama di dalamnya. Mulai dari masalah 
politik, ekonomi, hingga hiburan. Ketika ada label agama di kancah politik, 
menjadi tidak mudah untuk membedakan mana yang agamis dan mana yang politis.

Pun pula ketika ada agama di pasar. Kita harus berpikir keras untuk memilah 
serta mencermati antara wilayah agamis dan area bisnis. Batas keduanya kadang 
sulit diidentifikasi. Pada masa reformasi, gejala bangkitnya politik identitas 
dilatari oleh beberapa faktor.

Pertama, apa yang dalam teori gerakan sosial dikenal sebagai struktur 
kesempatan politik. Keran kebebasan yang begitu terbuka, memberikan keleluasaan 
kepada semua kelompok untuk tampil di gelanggang politik. Situasi yang dulu 
tidak pernah mereka dapatkan karena Orde Baru begitu ketat mengontrol kelompok 
ini.

Kedua, munculnya —meminjam bahasa Mujiburrahman (2006)— ”perasaan terancam” 
dari golongan lain yang berbeda identitas agama. Kelompok Islam merasa terancam 
dengan agenda Kristenisasi, dan umat Kristen begitu cemas akan gerakan 
Islamisasi.

Situasi inilah yang pada gilirannya menggugah kesadaran kelompok tertentu untuk 
menunjukkan eksistensi. Ketiga, ada faktor menurunnya tingkat kepercayaan 
publik terhadap pemerintah, karena gagal membangun fondasi sistem ekonomi yang 
solid. Imajinasi tentang negara agama kemudian dihadirkan sebagai alternatif.

Keempat, tumbuhnya ”solidaritas negatif” karena menyaksikan ”penindasan” 
terhadap kelompoknya di belahan dunia lain. Solidaritas terhadap 
saudara-saudara seiman ”di sana” itu kemudian ditunjukkan dengan membalasnya 
”di sini.” Kontestasi ideologi di negara majemuk seperti Indonesia tak bisa 
dihindarkan.

Sayangnya, saringan terhadap kontestasi tersebut bukanlah akal sehat atau nalar 
publik, tetapi identitas agama. Memilih pemimpin berdasarkan kesamaan agama 
menjadi panorama dominan dan lebih diutamakan ketimbang pilihan atas dasar 
rasio, jejak rekam yang apik atau program yang berpihak.

Imbas dari saringan yang tribalistik itu adalah politik pengakuan sekaligus 
politik pembedaan. Yang berbeda kemudian dibeda-bedakan. Interaksi bersifat 
antagonistik. Jarak antara akukamu, kita-mereka, menjadi semakin lebar. 
Segregasi antara pribumi-non pribumi, putra daerah-pendatang terus direproduksi.

Karena perbedaan ini muncul secara kasat mata, maka tidak terlalu sulit untuk 
menyebarkannya sebagai bahan untuk mengokohkan bangunan politik identitas. 
Menunjukkan identitas ke ruang publik sesungguhnya masih bisa dimaklumi sejauh 
ia masih konsisten pada dua hal. Pertama, identitas kolektif yang 
diinstitusionalisasi bertujuan untuk mengokohkan keragaman.

Meski beragam, mereka sama-sama berseragam merah putih. Kemerdekaan Indonesia, 
salah satunya adalah sumbangan kelompok-kelompok primordial. Organisasi 
kedaerahan, keagamaan, dan kepemudaan, memiliki saham dalam perjuangan 
kemerdekaan.

Kedua, organisasi atau kelompok yang dibangun atas dasar agama, etnis dan 
lainnya menunjukkan komitmen terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 
Mengorganisasi identitas keagamaan untuk sebuah tujuan politik, sekali lagi, 
menjadi konsekuensi demokrasi.

Harus dipastikan bahwa dalam panggung demokrasi ada sebuah acuan bersama, yakni 
konstitusi demokratis. Di dalamnya adalah rumusan yang mampu menengahi masalah 
agama maupun politik. Demokrasi juga tak sekadar berkaitan dengan keadilan 
prosedural. Jauh lebih penting dari itu, demokrasi mesti banyak berbicara 
tentang keadilan substansial. (43)

— Tedi Kholiludin, sekretaris PW Lakpesdam Nahdlatul Ulama Jawa Tengah, dosen 
Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang

Kirim email ke