Click : https://www.youtube.com/watch?v=1VlaAl-GkDo




Tragedi itu terjadi di Simpang Kuala, Kecamatan Idi Cut, kaupaten Aceh Timur, 
Rabu dinihari, 3 Februari 1999, persis di depan Markas Komandan Rayon Militer 
(Koramil) dan Kantor Polisi Sektor (Polsek) setempat. Selasa, 2 Pebuari 1999, 
warga Desa Matang Ulim, Idi Cut, Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur bergotong 
royong untuk menyiapkan pentas kegiatan. Sekitar pukul 16.00 WIB datang 
beberapa tentara dengan membawa senjata laras panjang yang diperkirakan oleh 
para penduduk sebagai anggota Koramil setempat.


 

Aparat militer tersebut langsung mengobrak-abrik pentas yang sedang dikerjakan 
serta menganiaya beberapa orang yang pada saat itu berdiri di sekitar tempat 
pembuatan pentas.Nama-nama korban pemukulan adalah; Ri, Za, Bm, MB, Jn, Ms, Si, 
US, Su, Ml dan MN. Mereka semuanya berumur antara 16 sampai 27 tahun.


 

Tetapi tidak lama setelah itu masyarakat kembali bergotong royong melanjutkan 
pekerjaan mereka yang tertunda. Sebelum acara dimulai pada pukul 20.30. WIB, 
massa sudah berkumpul sejak sore harinya serta membanjiri lapangan Simpang 
Kuala, Idi Cut, sampai ke sisi jalan Medan- Banda Aceh. Massa yang hadir pada 
saat dakwah tersebut diperkirakan sekitar 10.000 pengunjung dan berbagai daerah.


 

Setelah acara selesai pukul 00.30 WIB dinihari, massa kemudian bubar dan sempat 
tertahan lama di simpang jalan Kuala Idi Cut karena banyaknya kendaraan yang 
akan keluar dan jalan tersebut. Sekitar pukul 00:45 WIB, masyarakat yang 
mendengar ceramah pulang ke rumah masing-masing, sebagian berjalan kaki, 
menggunakan sepeda motor dan sebagian lagi menggunakan mobil bak terbuka. 
Mereka melewati kantor Koramil Idi Cut. Suasana gelap, tidak ada satu lampu pun 
yang menyala. Pada saat itu massa menjadi kacau karena banyak kendaraan yang 
diberhentikan oleh anggota Koramil.


 

Pukul 01:00 WIB dini hari, terdengar suara tembakan dari arah Barat kantor 
Koramil, sudah ada beberapa truk aparat di sana. Menurut korban, ada tiga atau 
empat truk. Setelah suara letusan pertama, dilanjutkan dengan penembakan ke 
arah massa yang ramai. Menurut saksi mata yang kebetulan pada saat penembakan 
brutal itu terjadi baru kembali dan Kota Langsa Aceh Timur, sedan merah 
miliknya, dihentikan beberapa meter setelah lewat di depan kantor Koramil.


 

Hi, 59 tahun, penduduk Desa Blang Pauh Sa, Kuta Binjei, Aceh Timur. Malam itu 
Hi pulang bersama istrinya Cn. Tiba di Simpang Kuala Idi Cut ia terjebak dalam 
insiden berdarah itu. Mobilnya terpaksa berhenti karena dihadang oleh truk dari 
arah berlawanan. Belakangan ia tahu itu truk militer. Ada tiga truk militer 
menghadang dari arah berlawanan.


 

Di depan mobilnya juga ada truk umum bermuatan tong-tong fiber glass, biasa 
digunakan untuk mengangkut ikan atau udang. Ban mobil tersebut kempes, karena 
ditembaki para penghadang. Di depan truk satu mobil pick-up Chevrolet Luv 
dipenuhi warga yang baru pulang dari ceramah. Menurut Hi, pick-up itulah mobil 
yang pertama sekali dihadang. Karena ia tidak melihat ada mobil lain di depan 
Chevrolet tersebut.


 

Dari mobil Chevrolet itulah, ia melihat orang-orang berhamburan meloncat ke 
jalan. Keadaan cukup panik saat itu. Husaini mendengar suara tembakan kemudian 
jelas ia mendengar suara- suara teriakan kesakitan. Kemudian ia dan istrinya 
keluar dari mobil dan tiarap.


 

Karena panik, ia tidak sempat menutup pintu dan lampu mobilnya masih menyala. 
Tentara marah karena adanya penerangan dari mobil Hi. Tentara hendak 
menghancurkan kaca mobilnya.


 

Tiba-tiba Hi berdiri dan mengatakan pada tentara itu bahwa ia keluarga tentara 
dan hidup di asrama tentara. Anaknya juga seorang tentara. “Enak saja kamu. 
Anak saya saja yang melatih kamu tidak sekejam itu,” bentak Hi.


 

Mendengar suaranya yang membentak keras, tentara lain menghampiri dan bertanya 
siapa Hi dan anaknya. Kemudian Hi mengatakan nama anaknya, pangkat dan tempat 
tugasnya. Mendengar itu, mereka menjadi lunak dan menyuruh Hi dan istri untuk 
tiarap. Ia juga sempat menanyakan mereka berasal dari kesatuan mana. Tentara 
tersebut menjawab “cepek”. Karena itu Hi tahu mereka berasal dari Linud 100.


 

Pada saat itu orang-orang ditembaki. Setelah rubuh, dicampakkan ke dalam truk 
tentara. Hi juga mendengar perkataan dan aparat yang melakukan penembakan. 
“Kamu yang membunuh tentara, habis semua. Kamu potong leher. Kamu campak ke 
sungai.”


 

Sebanyak 58 korban yang telah ditembak dinaikkan ke dalam truk aparat. Baik 
yang sudah tewas maupun yang lukaluka. Tapi ada beberapa korban yang terluka 
tidak terangkut, karena bersembunyi di selokan-selokan samping jalan. Pukul 
03:00 WIB truk aparat yang di dalamnya terdapat korban-korban penembakan tampak 
bergerak menuju jembatan Arakundo. Di markas Koramil tampak truk lain yang 
masih kosong.


 

Sebelum dicampak ke dalam truk dan kemudian diangkut untuk dibuang ke sungai, 
para korban diikat telebih dahulu dengan kawat di seluruh tubuhnya. Dimasukkan 
ke dalam goni milik masing-masing tentara yang masih bertuliskan nama 
pelakunya, seperti nama Sertu lskandar.


 

Goni-goni yang telah berisi manusia itu kemudian diberi batu pemberat dan 
terakhir dilemparkan dalam sungai Arakundo. Hal ini dapat dibuktikan 
berdasarkan temuan mayat-mayat korban pada 4 dan 5 Februari 1999. Seorang saksi 
bernama Bar, warga desa Tanjong Lhok Blang kecamatan Julok, yang ketika 
kejadian tinggal sekitar 300 meter dari jembtan Arakundo. Saat itu Bar yang 
sedang berada di dalam rumahnya mendengar tentara mengatakan “lanjut-lanjut” 
dan kemudian terdengar suara gesekan batu. Bar penasaran, kemudian mengintip 
dari balik gorden rumahnya. Saat itu listrik padam. Di depan rumahnya terparkir 
tiga truk. Dua truk dipenuhi tentara sedangkan satu truk lagi terlihat kosong.


 

Saat itu sekitar pukul 03:00 Wib. Kemudian salah satu truk menuju jembatan 
Arakundo, sedangkan dua truk masih berada di depan rumahnya dan terlihat sibuk 
membersihkan sesuatu. Di depan rumah Bar terdapat jerigen air berukuran 20 
liter yang digunakan tentara untuk menyiram jalan. Menurut Bar, mereka 
meninggalkan jembatan Arakundo menuju ke arah Idi Cut. Tidak lama setelah itu, 
tercium bau amis bersumber dari arah depan rumahnya.


 

Saksi lainnya bernama Rl. Dia mengatakan ceceran darah yang terdapat di sekitar 
jembatan Arakundo berusaha ditutupi dengan pasir. Penduduk sekitar sungai 
sebagian besar bermata pencaharian sebagai penambang pasir, hasilnya biasa 
mereka tumpuk di pinggir sungai sekitar jembatan tersebut.




Rabu, 4 Febuari 1999, pukul 07.00 WIB, masyarakat melihat tetesan darah yang 
sudah kering sepanjang jalan menuju jembatan Arakundo. Sampai siang berkisar 
pukul 08.00-12.00 WIB, tentara ternyata masih tetap bertahan juga di sekitar 
lokasi pembantaian Idi Cut. Bahkan masih terjadi muntahan peluru tanpa tentu 
arah. Kondisi ini disaksikan oleh Si yang kemudian dibawa ke Kantor Koramil 
bersama dengan delapan orang lainnya dengan truk aparat.


 

Masyarakat kemudian melakukan pencaharian di sungai Arakundo dan menemukan IU, 
22 tahun, warga Desa Sapai Baro Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur. Ia ditemukan 
dalam keadaan meninggal di dalam goni yang bertuliskan Sertu Iskandar. Goni 
tersebut masih disimpan oleh istrinya.


 

Keesokan harinya pencarian dilanjutkan. Masyarakat menemukan mayat HS, 35 
tahun, warga Desa Leubok Tuha, Kecamatan Julok; IM, 24 tahun dari Desa Jambo 
Bale, Kecamatan Julok; JM, 22 tahun dari Desa Jambo Bale Kecamatan Julok; KI, 
20 tahun, dari Desa Matang Neuhen Bagok, Kecamatan Julok; SY penduduk Boh Tren 
Desa Bandar Baru Kecamatan Julok.


 

Pecarian korban dilakukan dengan alat tradisional, karena tentara dan pihak 
lainnya tidak membantu melakukan pencarian. Sebagian besar korban tidak 
mengapung, karena di tubuh mereka diikat alat pemberat berupa batu. Hal 
tersebut menyulitkan pencarian.


 

Menurut saksi, jumlah korban luka-luka sangat banyak. Karena tentara 
memuntahkan peluru ke arah masa secara membabi buta. Tapi sebagian besar 
masyarakat yang terluka tidak melapor. Ditambah korban yang malam itu diangkut 
truk ke Polres Langsa 58 orang. Keesokan harinya 12 orang kembali dibawa ke 
Langsa. Selain korban luka dan meninggal, sebagian masyarakat juga menderita 
kerugian harta benda. Saat penembakan, beberapa orang kehilangan sepeda motor. 
Kaca mobil dirusak.


 

Il misalnya, mobilnya dirusak, dan menderita kerugian Rp7 juta. Fyh, 35 tahun, 
motornya dirusak dan kerugian sekitar Rp1,5 juta. Selain itu, masih banyak 
warga lainnya yang mengalami kerugian materi. Setelah kejadian, masyarakat 
masih ketakutan. Teror yang dilakukan oleh aparat militer terus berlangsung. 
Aparat berkeliaran berkeliling kota dengan truk militer yang bertulisan “Sambar 
Nyawa” pada kaca mobilnya. Tentara juga menggunakan alat komunikasi (telepon) 
masyarakat dengan paksa. Mereka menakut-nakuti warga agar mau menyerahkan hasil 
buminya seperti sayuran, ikan hasil tangkapan nelayan, dan kebutuhan sehari 
hari lainnya.


 

Tindakan kekerasan di Idi Cut merupakan balas dendam ABRI terhadap peristiwa 
sebelumnya, berupa swepping yang dilakukan sejumlah orang sipil di Lhok Nibong, 
3 Januari 1999. Hal itu terbukti dari makian-makian yang dilontarkan para 
serdadu ABRI saat sedang membantai korban. “Kalian bunuh kawan kami. Kalian 
ceburkan mereka ke sungai. rasakan balasannya.”







***





10 November 2010 setelah lima tahun perdamaian hadir di Aceh, kondisi sebagian 
besar masyarakat masih trauma, ditambah ekonomi yang memprihatinkan dan 
kurangnya perhatian dari pemerintah. Buktinya AP, menyangka tripod yang dibawa 
tim Koalisi NGO-HAM adalah senjata. Memang benda penyangga berkaki tiga itu 
jika masih di dalam sarung hitam sekilas terlihat seperti senjata.


 

Saat Koalisi NGO-HAM mendatangi korban, mereka sangat mengharapkan bantuan, 
terutama pendidikan dan ekonomi. Karena banyak anak-anak korban yang tidak 
dapat melanjutkan pendidikan, terkendala biaya. Di sisi kiri dan kanan Jembatan 
Arakundo yang berjarak sekitar 23 kilometer dari Idi Cut, telah berdiri warung 
dan doorsmeer (tempat pencucian kendaraan). Pinggir sungai tertutupi rimbunnya 
pohon pisang milik warga.


 

Dua remaja sedang beristirahat di bawah pohon rindang di sisi kanan jembatan. 
Mereka masih duduk di kelas satu dan dua Sekolah Menengah Pertama (SMA). Kedua 
remaja tersebut bekerja paruh waktu di doorsmeer tersebut. Tidak ada tugu atau 
penanda apapun mengenai jembatan tersebut. Sebagian orang yang lalu lalang 
tidak pernah tahu jika di jembatan tersebut pernah terjadi tragedi kemanusiaan. 
Hanya keluarga, korban dan masyarakat yang akan terus mengenang peristiwa itu.


 

“Teupue na ditiek mayet dalam krueng nyoe, (tahu pernah dibuang mayat di 
sini),” tanya Tim Koalisi NGO HAM kepada remaja tersebut. “Teupue lah, mandum 
masyarakat inoe teupue, (Tahulah, semua masyarakat di sini tahu),” jawab mereka 
hampir bersamaan. Waktu peristiwa tersebut, mereka masih berumur 6 tahun.[]







"FAKTA BICARA, Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005, Hal 97 - 105."

Kirim email ke