INDONESIANA TRADISI
Sekjen INTI Budi Santoso Tanuwibowo. (Foto Dok Pribadi) Jan 31 2017, 13:47 http://merahputih.com/post?date=2017-01-31 Noer Ardiansjah http://merahputih.com/user/noer Jakarta Merekam Jejak Tionghoa di Batavia http://merahputih.com/post/read/merekam-jejak-tionghoa-di-batavia https://www.facebook.com/sharer/sharer.php?u=http://merahputih.com/post/read/merekam-jejak-tionghoa-di-batavia https://plus.google.com/share?url=http://merahputih.com/post/read/merekam-jejak-tionghoa-di-batavia https://twitter.com/share?text=Merekam%20Jejak%20Tionghoa%20di%20Batavia&url=http://merahputih.com/post/read/merekam-jejak-tionghoa-di-batavia Dan harus diakui, kedatangan orang Tionghoa ke Indonesia tercatat dalam sejarah sudah dari ratusan tahun yang lalu. Karena itu, banyak pula pengaruh mereka dalam hal perjuangan bersama orang-orang pribumi ketika melawan penindasan bangsa kolonial. Ilustrasi orang Tionghoa pada zaman dulu. (Foto: Historia.id) Sebelum menjadi negara Indonesia, tanah yang kaya akan sumber daya alam ini lebih dikenal dengan sebutan Nusantara. Pada daratan ini pula, terdapat kerajaan-kerajaan besar yang sempat disegani oleh bangsa luar seperti Kerajaan Medang Kamulan, Kerajaan Kadiri, Sriwijaya, Pajajaran, Majapahit, dan lain sebagainya. Dan seiring berkembangnya beberapa kerajaan di Nusantara, orang-orang Tionghoa pun mulai berdatangan dengan tujuan berdagang yang familier disebut sebagai Jalur Sutera. Salah satu catatan terua yang ditulis oleh agamawan Tiongkok, Fa Hien, pada abad ke-4 telah melaporkan ada suatu kerajaan besar di Nusantara (Jawa) yang mereka sebut dengan istilah "To lo mo". Dan catatan lainnya, I Cing pada abad ke-7 juga menjelaskan, ketika ingin mendalami agama Budha di Ayodya (India) terlebih dahulu singgah di Nusantara untuk mempelajari bahasa Sansekerta oleh Resi Jnanabhadra. Bahkan, berdasarkan Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan bahwa kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407. Dalam kitab itu juga dijelaskan, pada masa itu daerah tersebut merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Sunda. Menanggapi ihwal tersebut, Sekjen Pengurus Perhimpunan Tionghoa Indonesia (INTI), Budi Santoso Tanuwibowo sependapat bahwa Tionghoa sudah sangat lama berada di Indonesia dan bahkan, sejak zaman prasejarah. "Hal tersebut dapat kita buktikan dengan temuan berbagai barang antik yang juga dijumpai di daratan Tiongkok," tutur Budi. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa sejak awal abad masehi, sudah banyak catatan tentang kerajaan-kerajaan Nusantara di Dinasti Han. "Bukti bangunan sejarah adalah Kelenteng Talang, yang sekarang menjadi tempat kegiatan Majelis Agama Khonghucu Indonesia sudah 600 tahun. Kehadiran orang Tionghoa di Batavia juga sudah amat lama, sebelum Souw Beng Kong diangkat menjadi Kapiten Tionghoa pertama di Jakarta, 11 Oktober 1619," kata dia. Kedekatan bersama pribumi Meski awal kedatangan orang Tionghoa untuk sekadar berdagang, namun kedekatan itu pula yang akhirnya membuat Tionghoa dan pribumi semakin terikat dalam jalinan yang lebih harmonis. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa kedekatan mereka juga disebabkan akibat kawin silang, pergaulan, seni, olahraga, pendidikan, perjuangan, dan lain sebagainya. Seperti halnya etnis lain yang tinggal di Batavia: etnis Arab, India, dan lain sebagainya, tak bisa dipungkiri bahwa etnis Tionghoa mempunyai kedekatan dengan pribumi, bahkan dalam hal perjuangan melawan penindasan kolonial. Dalam hal ini, Budi Santoso Tanuwibowo menuturkan bahwa perjuangan pra dan pasca-kemerdekaan, orang Tionghoa tidak pernah luput dalam perjuangan bersama pribumi. "Misalnya saja seperti Oei Ing Kiat dan Tan Kee Wie dalam Perang Kuning melawan VOC. Dalam keanggotaan BPUPKI juga ada beberapa tokoh Tionghoa: Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Tan Eng Hoa. Sedangkan di PPKI ada Yap Tjwan Bing," tuturnya. "Apalagi kalau bicara atlet dan seniman, sudah sangat tak terhitung. Dan bahkan, John Lie telah diangkat resmi sebagai pahlawan nasional," tambahnya. Atas itu pula, Budi berharap generasi saat ini dapat mengambil hikmah atas perjuangan orang-orang terdahulu. Boleh dikatakan seperti mengenang jasa mereka yang mungkin jarang diketahui masyarakat banyak. Dan Budi juga menjelaskan bahwa belajar dari sejarah masa lalu merupakan kunci utama kuatnya negara dan memengaruhi akan kokohnya persatuan. "Dan juga agar bisa bersatu dalam hal transparansi, keadilan, dan saling percaya meski berbeda keyakinan," jelasnya. "Dan harapan ke depannya adalah terciptanya masyarakat Indonesia yang egaliter, cendikia, menerima perbedaan secara ikhlas dan berbudipekerti baik, cinta negara," tutupnya.