Ini pemikiran seorang revolusioner yang JATUH menjadi REAKSIONER! Mengapa? 
Karena dia tidak melihat kenyataan SEMEN sangat dibutuhkan dalam perkembangan 
PEMBANGUNAN yang dibutuhkan UMAT MANUSIA didunia ini! Itulah sebab produksi 
semen meningkat dari 1,67 milyar ton ditahun 2000 menjadi 3 milyar ton ditahun 
2010! Dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan pembangunan didunia ini, 
produksi SEMEN tentu akan terus meningkat, khususnya bagi INDONESIA sendiri 
yang baru mulai menggalakkan pembangunan infrastruktur, ... jadi, sadar atau 
tidak pemikiran yang melawan dan berusaha menentang perkembangan wajar umat 
manusia itu adalah REAKSIONER! Selama teknologi belum menemukan alternatif lain 
pengganti SEMEN yang lebih baik, tentu TIDAK bisa menentang pembangunan pabrik 
SEMEN dan menyetop produksi SEMEN! Lalu bagaimana seharusnya berpikir yang 
realistis?

BUKAN pembangunan pabrik SEMEN yang ditentang, tapi MENUNTUT gejala negatif, 
pencemaran, kerusakan lingkungan yang terjadi HARUS dipecahkan sedapat mungkin, 
...! Inilah yang harus didiskusikan, dipikirkan sebaik-baiknya oleh para ahli, 
bagaimana teknologi pembuatan SEMEN yang ramah lingkungan! Kalau saja masih 
menggunakan batubara yang dikatakan polusi-berat, dituntut saja pembangunan 
pabrik SEMEN baru untuk menggunakan gas, bahakn gunakan genrator listrik 
tenaga-angin, misalnya. Kalau saja debu gamping sangat merusak dan merusak 
kesehatan manusia disekitar, bisa diHARUSkan pemasangan filter yang lebih baik, 
biar debu tidak bertebaran kemana-mana, ... saya yakin dengan teknologi modern 
sekarang ini semua masih bisa dikerjakan lebih baik! 

Begitu juga masalah air. Setahu saya, pegunungan berbatu dimana-mana juga 
kurang air, sumber air sangat terbatas bahkan bisa dikatakan sangat kering, ... 
tentu dengan dibangunnya pabrik semen disitu penduduk kuatir akan kehilangan 
sumber air! Sekiranya disekitarnya ada tidak sungai saja, ... tentu tidak sulit 
mengalirkan air sungai ke lokasi Rembang, Kendeng yang kering itu! Atau 
menemukan sumur-sumur disekitar dengan pengeboran yang lebih dalam! Tentu boleh 
saja timpakan masalah air ini menjadi tanggungjawab PABRIK SEMEN untuk 
memecahkan, jangan membuat penduduk jadi resah bahkan KEHILANGAN mata 
pencahariannya sebagai petani!

Salam-revolusioner,
ChanCT



From: Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45] 
Sent: Monday, March 27, 2017 4:38 PM
To: Yahoogroups ; DISKUSI FORUM HLD ; GELORA_In 
Cc: Jonathan Goeij ; Daeng ; Marsiswo Dirgantoro ; denise_zai...@hotmail.com ; 
Lusi.D ; Lingkar Sitompul ; Karma I Nengah [PT. Altus Logistic Service 
Indonesia] ; Oman Romana ; octaviasyafarw...@gmail.com ; in...@ozemail.com.au ; 
Roeslan ; Rachmat Hadi-Soetjipto ; Ronggo A. ; Harry Singgih ; Mitri ; C. 
Manuputty ; Gol ; Billy Gunadi 
Subject: [GELORA45] Para Bohir di Industri Semen




Mari belajar untuk menambah pengetahuan supaya tidak omong asal jeplak!


Para Bohir di Industri Semen
Fahmi Panimbang
Produksi semen dunia meningkat dari 1,67 milyar ton pada 2000 menjadi 3 milyar 
ton pada 2010. Negara-negara Asia adalah penghasil utama semen, sebesar 77,1 
persen dari total produksi dunia pada 2010. China memproduksi lebih dari 
setengahnya. Di Asia Tenggara, Indonesia bersama Vietnam dan Thailand berambisi 
mengejar menjadi pemain utama pemasok semen.
Gambar 1: Produksi Semen di Dunia berdasarkan Kawasan (dalam persen)

Sejak kapan semen menjadi komoditas?
Semen merupakan salah satu industri yang dikaitkan dengan istilah sumber daya 
alam (SDA). Istilah SDA sendiri tidak benar-benar ‘alamiah’ dan tersedia begitu 
saja, melainkan suatu konstruksi sosial dan politik. Sebutan SDA bermasalah dan 
bias kuasa. Ia diciptakan oleh korporasi dan para penghimpun kapital.
Semen ‘ditemukan’ dan dijadikan komoditas oleh korporasi. Korporasi lah yang 
mendorong semen masuk dalam bisnis mereka: industri ekstraktif! Seperti dalam 
bisnis industri ekstraktif lainnya, negara memfasilitasi untuk mengeksplorasi 
semen, mengembangkan, mengekstraksi, mengolah, mendistribusikan, dan 
menggunakannya. Industri ekstraktif ini merupakan monster pembuat lubang dan 
pengeruk perut bumi!
Di banyak tempat, setiap komodifikasi SDA hanya akan memperkaya para monster 
yang bermain di industri ekstraktif. Tidak pernah menguntungkan masyarakat 
adat, komunitas setempat, dan rakyat pada umumnya.
Gambar 2: Semen di antara Industri Ekstraktif Lainnya
 
Sumber: Klasifikasi Industri Ekstraktif – UNCTAD (2007) World Investment Report 
2007: Transnational Corporations, Extractive Industries and Development. New 
York: United Nations.
Finansialisasi di Industri Semen
Pada akhir 2012 PT Semen Indonesia mengakuisisi perusahaan semen di Vietnam 
(Thang Long Cement Company Vietnam) dengan kepemilikan saham 70 persen. 
Akuisisi dibiayai dengan kapital (financial capital) dari Sumitomo Mitsui 
Banking Corporation, Standard Chartered Bank, dan Bank Mandiri sebesar 100 juta 
dolar AS. Walau ketiganya adalah konsorsium, tapi kita tahu siapa yang paling 
dominan dan mendikte perihal perolehan keuntungan. Akuisisi ini menjadikan PT 
Semen Indonesia sebagai BUMN pertama yang berstatus korporasi multinasional 
(MNC)! (sic!). ‘Kejahatan’ oleh industri perbankan dan korporasi finansial 
seperti inilah yang disebut sebagai finansialisasi di industri semen.
Finansialisasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan 
hubungan antara sektor finansial dan sektor riil, yaitu peran yang semakin 
lebih dominannya para aktor dan lembaga finansial dalam kegiatan ekonomi. 
Istilah finansialisasi juga dipakai untuk menjelaskan perilaku para pemegang 
saham yang semakin mendikte perusahaan di tingkat yang lebih rendah hingga di 
tingkat produksi (baik barang maupun jasa) untuk mendapatkan profit yang lebih 
tinggi. Namun lebih dari itu, para pemegang saham juga sebenarnya dikendalikan 
oleh korporasi-korporasi finansial global, yang di dalamnya termasuk Standard 
Chartered Group (Inggris) dan Sumitomo Trust and Banking Company Ltd (Jepang).
Fenomena ini menjadikan pergerakan kapital global semakin cepat, berdampak 
serius pada fleksibilisasi dengan tujuan meluasakan gerak kapital. Apa yang 
terjadi sehari-hari terkait dengan perampasan tanah, kerusakan lingkungan, PHK 
buruh, nilai upah yang terus ditekan rendah, informalisasi, dan pemberangusan 
serikat pekerja, merupakan dampak buruk dari finansialisasi ini. Investor 
finansial adalah majikan yang sebenarnya, yang memiliki kecenderungan 
berinvestasi dalam kurun waktu yang pendek namun berharap meraup laba yang 
tinggi.
Para pemegang saham tersebut, si majikan yang sebenarnya, biasanya meminta 
profit/dividen dalam jumlah yang sudah ditentukan dari para perusahaan yang 
mengelola investasi mereka. Hasilnya: para perusahaan semakin dituntut untuk 
fokus pada tujuan-tujuan jangka pendek, menekan ongkos produksi, melakukan 
pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, merusak lingkungan, merampas tanah 
dan hak hidup orang dengan sewenang-wenang. Dan tidak aneh pula bahwa negara 
turut memfasilitasinya.
Bukan soal BUMN vs Perusahaan Asing 
Setahun setelah ekspansi berkat kucuran kapital dari korporasi finansial 
(Sumitomo Mitsui Banking Corporation, Standard Chartered Bank, dan Bank 
Mandiri), PT Semen Indonesia mencatat kenaikan laba Rp 5,4 triliun pada 2013 
(jangan lupa, keuntungan lebih besar diraup oleh korporasi finansial dalam 
kurun waktu yang lama). Ia bersaing dengan 10 perusahaan semen asing yang 
beroperasi di kawasan-kawasan lain di Indonesia:  
  1.. Siam Cement (Thailand) di Sukabumi, Jawa Barat 
  2.. Semen Merah Putih (Wilmar Grup) di Banten dan Jawa Barat 
  3.. Anhui Conch Cement (China) di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, 
Kalimantan Barat, dan Papua Barat 
  4.. Ultratech di Wonogiri, Jawa Tengah 
  5.. Semen Puger di Jawa Timur 
  6.. Semen Barru di Sulawesi Selatan 
  7.. Semen Panasia di Sulawesi Selatan 
  8.. Jui Shin Indonesia (China) di Jawa Barat 
  9.. Semen Gombong di Jawa Tengah 
  10.. Semen Grobogan di Jawa Tengah
Industri ekstraktif yang dimiliki negara (BUMN) maupun milik asing, sama-sama 
merusak, menghisap dan merugikan masyarakat umum. Watak dasar kapital tidak 
mengenal asal negara, agama maupun ras. Hanya tiga rukun yang dipegang: 
akumulasi, ekspoitasi, ekspansi.
Wilayah-wilayah operasi pabrik semen di mana pun akan menuai bencana; 
kekeringan, kekurangan air bersih, banjir, dan polusi udara. Kerusakan 
sosio-ekologis akan terus terjadi di wilayah-wilayah operasi pabrik semen, 
termasuk di Vietnam di mana PT Semen Indonesia juga beroperasi.
Karakteristik produksi semen sebagai salah satu industri ekstraktif adalah 
padat modal (capital intensive), tidak banyak mempekerjakan buruh. Ditambah 
dengan sistem perburuhan yang fleksibel, industri ekstraktif semakin leluasa 
mengatur jumlah tenaga kerja sekehendaknya.
Karena cara kerjanya yang mengebor dan menghancurkan bukit/gunung, mengeruk 
perut bumi, memanaskan bahan baku hingga 1200-1600 derajat Celsius untuk 
menghasilkan semen, industri ini merusak lingkungan dan menghasilkan emisi 
berbahaya bagi perubahan iklim. Proses produksinya membutuhkan bahan-bahan 
tidak ramah lingkungan lainnya, seperti batu bara, minyak, batu arang 
petrokimia.
Nasionalisasi industri bukan perkara mudah. PT Semen Indonesia dengan status 
perusahaan multinasional berarti memiliki kapital finansial dari korporasi 
finansial mana pun, termasuk Standard Chartered Group dan Sumitomo Trust and 
Banking Company Ltd.
Ini zaman finansialisasi. Yang paling untung selalu para bohir kapital 
finansial.
Dengan model BUMN seperti sekarang, nasionalisasi sama saja menjajah, 
menghisap, merugikan banyak rakyat ketimbang dana yang nyata masuk ke anggaran 
negara. Yang kita perlukan bukan nasionalisasi, melainkan commonalization, 
yaitu pengelolaan sumber daya secara demokratis yang dilakukan oleh komunitas 
lokal untuk hidup mereka dan anak-cucu mereka secara damai dan lestari.
Di Kendeng Jawa Tengah, Sukabumi Jawa Barat, Bayah Banten, dan tempat-tempat 
lain yang dideteksi mengandung ‘sumber daya alam’, kekayaan alam seperti semen 
itu ada dan akan selalu ada. Sebagaimana emas di Papua dan di tempat manapun. 
Sebelum industri ekstraktif muncul semuanya berjalan dengan baik dan alamiah. 
Sebagai anugerah bumi, masyarakat adat dan komunitas lokal mengelola dan 
memanfaatkan alam secukupnya. Tentu saja merawat alam demi menjaga daur hidup 
yang lestari.
Fahmi Panimbang, aktif di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS).



  • [GELORA45] Para Bohir di... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • Re: [GELORA45] Para... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]

Kirim email ke