Menarik juga mengikuti harga rumah dipasar yang kenyataan terus membumbung 
tinggi dibanyak negara sedang berkembang, ... termasuk di Indonesia. Sungguh 
TIDAK terkejar oleh kenaikan gaji kebanyakan orang! Sehingga terjadi begitu 
banyak orang hendak membeli rumah tidak terbeli, sebaliknya juga tidak sedikit 
rumah dipasar diperjual-belikan dengan harga rumah tetap saja membumbung 
tinggi, ... 

Dengan pengetahuan saya yang dangkal, saya melihat program Ahok membangun 
RUSUNAWA adalah jelas keberpihakan pd penduduk lapisan bawah, membantu rakyat 
miskin bisa mendapatkan perumahan yang LAYAK DIHUNI manusia! Sedang cara 
pembangunan RUSUNAWA juga cukup unik, menggunakan 15% kontribusi pengembang 
rumah mewah. Jadi, secara tidak langsung memaksa orang kaya ikut mengambil 
bagian membantu membangun perumahan rakyat miskin, ... Satu program realistis 
dan lebih ideal dalam usaha memecahkan perumahan rakyat TANPA harus mengganggu 
jalannya pasar perumahan. 

Sebaliknya, program DP. 0 Rp. yang diajukan Anies nampak lebih berpihak pada 
usaha memanaskan pasar perumahan, konkritnya akan lebih menguntungkan pengusaha 
perumahan itu. Anies nampak berusaha menggunakan APBD untuk lebih mengaktifkan 
pasar perumahan! Yang menjadi problem, APBD DKI Jakarta juga tidak cukup untuk 
menanggung DP pembelian rumah itu, sedang bank tentu juga tidak akan 
mengucurkan kredit tanpa ada DP. Sangat aneh kalau Anies dimalam 27 Maret 
kemarin, didepan acara Mata Najwa-perdebatan Final Pilkada DKI, masih saja 
berani menyatakan cukup banyak harga rumah dibawah 350 juta dipusat kota 
Jakarta, hanya untuk menyudutkan Ahok sebagai Gubernur yang dianggap tidak 
mengetahui keadaan! Sementara kita sisihkan saja dahulu yang dikatakan cukup 
banyak itu apa ada lebih 1 juta, memenuhi kebutuhan warga Jakarta yg 
berpenghasilan dibawah 7 juta Rp itu! Tapi, kenyataan juga TIDAK begitu! Ini 
menurut: “Riset KompasProperti menunjukkan, rumah dengan harga Rp 350 juta atau 
di bawahnya berlokasi di kawasan penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, 
Tangerang, dan Bekasi.” 
(https://groups.yahoo.com/neo/groups/GELORA45/conversations/messages/205295)

Yaaah, nampak JELAS program pembual untuk tidak mengatakan PENIPU, yang TIDAK 
MASUK AKAL dan hanya digunakan untuk menyedot suara pemilih pilkada DKI putaran 
ke-2 saja, ...!

Lalu, bagaimana dan kebijakan apa yang bisa dilakukan Pemerintah sesungguhnya 
untuk “mengendalikan” terus membumbung tingginya harga rumah dipasar? Agar 
benar-benar RUMAH untuk penghuni, bukan untuk digoreng dan hanya menguntungkan 
segelintir pengusaha rumah??? Saya perhatikan yang dijalankan di RRT dan juga 
di HK, pemerintah hanya bisa menimpa pajak pembelian rumah lebih tinggi bagi 
orang yang membeli untuk rumah ke-2 dst., dan pajak penjualan juga lebih tinggi 
bagi rumah yang belum 3 tahun. Nampaknya usaha ini hanya menghambat laju 
kenaikan harga rumah sementara saja, setelah sekian waktu, juga naik lagi. 
Orang bilang itu karena permintaan rumah dipasar sangat tinggi, sedang 
kenyataan pembangunan atau ketambahan jumlah rumah berkurang! Kalau begitu, 
kenapa pemerintah tidak mempercepat pembangunan rumah saja? Untuk HK yang sudah 
kekurangan tanah kosong, tentu sulit dilakukan, sedang kota-kota besar di 
Tiongkok juga sudah makin melebar-luas, wilayah untuk bangun rumah harus makin 
jauh kepinggir kota. Tidak menemukan tanah KOSONG ditengah kota lagi! Kecuali 
harus membongkar rumah-tua, ... dengan membangun gedung flat pencakar langit, 
dibangun flat-flat setinggi-tingginya! Timbul persoalan baru, makin tinggi 
gedung itu dibangun, membuat aliran udara terhambat, dan, ... menjadi 
penghalang sinar matahari! Membuat KESEHATAN penduduk terganggu, ... sangat 
TIDAK SEHAT! Hehehee, ... memang hidup manusia kapan saja, dimana saja selalu 
menghadapi KONTRADIKSI yang harus dipecahkan, diselesaikan dengan bijaksana! 
Satu kontradiksi terselesaikan, timbul kontradiksi baru! TIDAK BISA dengan 
radikal tuntas, kecuali dunia kiamat!


Salam,
ChanCT


From: B.DORPI P. 
Sent: Wednesday, March 29, 2017 5:39 AM


https://indoprogress.com/2017/03/harga-rumah-dan-pasar-oligopoli/
27 March 2017 

Harian IndoPROGRESS

Harga Rumah dan Pasar Oligopoli
Edy Burmansyah






TERLEPAS dari wacana program Down Payment (DP) rumah 0 rupiah salah-satu 
pasangan Cagub DKI, harga rumah di Jakarta menyimpan persoalan terkait 
bagaimana pasar sesungguhnya bekerja.

Merujuk pada pemikiran ekonomi klasik seperti Thomas Robert Malthus 
(1766-1834), maupun aliran neo-klasik, dari Herman Heinrich Gossen (1810-1858), 
Alfred Marshall (1842-1924), hingga Augustin Cournot (1801-1877) yang 
menteorikan pasar oligopoli, para pengambil kebijakan, ekonom bahkan media 
massa percaya bahwa harga rumah terbentuk dari hasil tarik menarik antara 
penawaran-permintaan dalam pasar persaingan sempurna dan bebas.



Teori Malthus

Malthus dalam bukunya ”Essay on Principle of Population it Affects the Future” 
menyatakan pertumbuhan penduduk selalu lebih cepat dibandingkan dengan 
pertumbuhan produksi barang dan jasa. Jumlah penduduk mengikuti deret ukur, 
sementara jumlah produksi hanya tumbuh mengikuti deret hitung.

Demikian jumlah kebutuhan lebih banyak dari ketersediaan alat pemuas (barang 
dan jasa). Ketidakseimbangan ini mendorong terjadinya kelangkaan atas alat 
pemuas. Kelangkaan memaksa orang mengeluarkan pengorbanan lebih untuk 
memperoleh alat pemuas.

Merujuk pada teori kelangkaan Malthus, pengambil kebijakan dan ekonom kemudian 
menyimpulkan bahwa tingginya harga rumah disebabkan tidak sebandingnya laju 
pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan rumah. Laju pertumbuhan penduduk 
Jakarta mencapai 2,3 persen setiap tahunnya, sedangkan laju pertumbuhan 
perumahan hanya sebesar 2,02 persen.

Rendahnya ketersediaan rumah, disebabkan tingginya biaya produksi, yang dipicu 
oleh mahalnya harga tanah, akibat terbatasnya ketersediaan lahan.

Di Jakarta dan sekitarnya, kenaikan rata-rata harga tanah mencapai 20-50 persen 
per tahun, bahkan saat booming property tahun 2012, harga tanah melambung 
sampai 200 persen. Sebagai gambaran, harga tanah di Alam Sutera (Tanggerang) 
berkisar angka Rp 16 juta-Rp 21 juta per m2; di BSD City, antara Rp 11 juta-Rp 
16 juta; di Bekasi tanah dilepas pada harga Rp 8 juta-Rp 9 juta; sementara di 
Bogor sekitar Rp 5 juta-Rp 10 juta per m2.

Dalam struktur biaya produksi rumah, porsi harga tanah mencapai 25 persen dari 
total ongkos produksi. Secara keseluruhan biaya produksi mencapai sekitar 70-80 
persen dari harga jual.

Sebagai catatan, struktur biaya produksi terdiri dari atas komponen struktur 
dan infrastruktur, serta komponen nonstruktur. Komponen biaya struktur dan 
infrastruktur meliputi atas Harga Pokok Penjualan (HPP) yang terdiri dari biaya 
pembangunan (harga tanah sebesar 25 persen, bahan bangunan 15 persen, dan biaya 
pekerja 10 persen), dan fasilitas pendukung lainnya yang besarnya bisa mencapai 
5 persen. Sedangkan biaya infrastruktur terbagi atas biaya pembangunan 
fasilitas umum dan fasilitas sosial yang mencapai 5 persen. Sementara komponen 
biaya non struktur terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh) besarnya 5 persen, 
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, serta biaya promosi yang 
nilainya bervariasi antara 5-10 persen dari harga jual.

Namun, kenyataannya kelangkaan bukan disebabkan tingginya laju pertumbuhan 
penduduk, namun disebabkan terkonsentrasinya penguasaan lahan secara 
besar-besaran pada sekelompok orang dan perusahaan. Ini terkonfirmasi dari 
rencana pemerintah mendorong harga tanah menjadi kembali lebih rasional, 
melalui penerapan sistem pajak berkeadilan yang dijabarkan dalam tiga skema 
pajak lahan, yaitu pajak progresif kepemilikan tanah, pajak atas transaksi 
jual-beli tanah (capital gain tax) dan pajak atas lahan tidak produktif 
(unutilized asset tax).

Situasi yang sama, juga terjadi pada penguasaan rumah tinggal. Tingginya harga 
rumah disebabkan rumah terkonsentrasi pada segelintir orang kaya. Orang-orang 
kaya menempatkan rumah bukan sekedar tempat tinggal, tapi sebagai ajang 
investasi dan spekulasi.

Penguasaan rumah oleh segelintir orang kaya terekam dari pemberitaan Media 
Indonesia (30/4/2016) yang mengungkapkan Rusun Muara Karang, Penjaringan, yang 
semula diperuntukkan bagi relokasi korban pengusuran, 95 persen telah dikuasai 
orang lain.

Pemandangan yang sama juga terjadi di apartemen Kalibata City yang mulanya 
dibangun untuk masyarakat menengah ke bawah, justru disesaki penghuni bermobil 
pribadi, bahkan banyak unit rusun disewakan, mulai harian hingga tahunan. 
Sebagai ilustrasi, satu unit apartemen tipe studio ukuran 28 m2 di Kalibata 
City disewakan Rp 2,5-3 juta per bulan, sementara tariff sewa harian berkisar 
Rp 100 hingga Rp 200 ribu.



Kegagalan Gossen dan Marshall

Rumah yang diletakkan sebagai alat investasi, sesungguhnya telah mengugurkan 
teori marginal utility yang dirumuskan oleh Herman Heinrich Gossen (1810-1858) 
ke dalam hukum Gossen I yang berbunyi; “jika jumlah suatu barang yang 
dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu terus ditambah, maka kepuasaan total 
yang diperoleh juga bertambah. Akan tetapi, kepuasan marginal akan semakin 
berkurang, bahkan bila konsumsi terus dilakukan, pada akhirnya tambahan 
kepuasaan yang diperoleh akan menjadi negatif dan kepuasaan total menjadi 
berkurang.”

Sebagai alat investasi kepuasaan total tidak berhenti hanya pada barang pertama 
tapi pada barang-barang selanjutnya. Sebagaimana rumah pertama, pada rumah 
kedua dan seterusnya kepuasaan total tetap tercapai, karena pemilik memperoleh 
pendapatan dari sewa rumah-rumah yang dikuasainya.

Begitu juga dengan hukum Gossen II yang berbunyi; “Seorang konsumen akan 
membagi-bagi pengeluaran uangnya untuk membeli berbagai macam barang sedemikian 
rupa hingga kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi secara seimbang.”

Pada kenyataannya, seorang konsumen tidak selalu membagi-bagi pengeluarannya 
untuk membeli berbagai macam barang untuk menyeimbangkan kebutuhannya, tapi 
juga bisa membeli barang yang sama secara berulang-ulang guna mendapatkan 
keuntungan lebih lanjut di masa depan.

Pasar perumahan Jakarta, bukan saja tak sejalan dengan hukum Gossen, namun juga 
menegasi hukum permintaan-penawaran yang dikembangkan Alfred Marshall 
(1842-1924)

Hukum permintaan berbunyi: “apabila harga naik maka jumlah barang yang diminta 
akan mengalami penurunan, dan apabila harga turun maka jumlah barang yang 
diminta akan mengalami kenaikan. ”

Pada kenyataanya, ketika harga rumah terus naik, dan semakin tidak terjangkau 
masyarakat, permintaan atas rumah justeru mengalami peningkatan. Pada tahun 
lalu (2016) permintaan perumahan tumbuh sebesar 3,9 persen atau naik 0,3 persen 
dibandingkan tahun 2015 yang hanya tumbuh sebesar 3,6 persen.

Sementara, hukum penawaran berbunyi “bila tingkat harga mengalami kenaikan maka 
jumlah barang yang ditawarkan akan mengalami kenaikan, dan bila tingkat harga 
turun maka jumlah barang yang ditawarkan akan mengalami penurunan.”

Tapi pada kenyataannya ketika harga rumah mengalami kenaikan, pasokan rumah 
justru mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 
2015 terjadi kekurangan kebutuhan (backlog) perumahan di Indonesia mencapai 
11,4 juta unit. Dalam kurun waktu lima tahun (2010-2015), diperkirakan jumlah 
suplai pembangunan rumah per tahun hanya sekitar 400.000 sampai 500.000 unit. 
Sementara kebutuhan rumah bagi masyarakat mencapai 800.000 unit rumah per tahun.

Tak bekerjanya hukum permintaan-penawaran maupun gugurnya teori marginal 
utility milik Gossen, mencerminkan bahwa harga rumah seungguhnya tidak bekerja 
dalam persaingan sempurna, namun ditentukan oleh “kongkalingkong” antara 
produsen dan segelintir konsumen orang-orang kaya.



Pasar Oligopoli

Harga yang dibentuk dari hasil “kongkalingkong” antara produsen dan segelintir 
konsumen, mengindikasikan bahwa harga sesungguhnya menyimpan persoalan serius 
pada dirinya, yakni bergantung pada kebohongan dan penipuan.

Harga yang bergantung pada kebohongan dan penipuan, hanya dapat terjadi dalam 
pasar persaingan yang tidak sempurna, dan agaknya pasar semacam ini yang sedang 
berlangsung dalam bisnis perumahan di Jakarta—yang mengambil bentuk pasar 
oligopoli.

Beroperasinya pasar oligopoli membenarkan pernyataan kaum neo-klasik bahwa laba 
sepenuhnya dihasilkan dalam ranah sirkulasi, dimana komoditi dapat dijual 
dengan harga sangat tinggi, sehingga hanya sedikit orang yang mampu membelinya. 
Ketika rumah dikuasai oleh segelintir orang, maka pemenuhan kebutuhan rumah 
masyarakat dilakukan dengan sistem sewa.

Namun, ekonomi semacam ini memperlihatkan dengan nyata bagaimana akumulasi 
keuntungan tanpa batas yang eksploitatif merupakan bentuk dari kapitalisme yang 
paling brutal.



Kritik Marx

Karl Marx (1818-1883) menyatakan eksploitasi merupakan hal yang inheren dalam 
sistem kapitalisme. Sistem ini hanya dapat hidup selama modus eksploitasi (mode 
of exploitation) dapat terus berlangsung.

Melalui teori nilai kerja-nya, eksploitasi dirumuskan Marx kedalam Sirkulasi 
Kapital, yang secara matematis dituliskan dalam persamaan; M-C-M’ 
(Money-Commodity-Money).

Dalam persamaan M-C-M’, diandaikan seorang kapitalis membelanjakan uangnya 
untuk membeli sarana produksi dan bahan baku (constan capital) dan tenaga 
kerja—upah (variable capital) untuk menghasilkan komoditas yang dapat dijual 
kembali dan merealisasikan laba.

Karena constan capital bersifat tetap, menurut Marx satu-satunya sumber nilai 
lebih (laba) adalah variable capital. Demikian nilai lebih merupakan eskpresi 
dari eksploitasi.

Marx membangun teori nilai lebih dalam asumsi pasar persaingan sempurna. Namun 
pada pasar oligopoli seperti pasar perumahan di Jakarta, eksploitasi terjadi 
jauh lebih brutal dari banyangan Marx. Eksploitasi bukan hanya dialami kaum 
buruh, tapi dialami oleh setengah penduduk Jakarta, terutama yang 
berpenghasilan rendah.

Demikian, program DP rumah 0 rupiah tidak akan menyelesaikan persoalan 
perumahan yang dihadapi penduduk Jakarta, sejauh corak produksinya masih 
eksploitatif dan bentuk pasarnya tidak mengalami perubahan. 



***














Kirim email ke