1965 dan Masa Depan Hukum di Indonesia
Admin / Tulisan / Hukum, Indonesia 1965, Politik, Sejarah / 0 comments 
June 3, 2017
Oleh: Rian Adhivira dan Suteki[1]

https://hukumprogresif.org/2017/06/03/1965-dan-masa-depan-hukum-di-indonesia/Abstrak
Peristiwa 1965 adalah sebuah penanda, tentang berakhirnya jargon-jargon 
revolusi dan dimulainya era pembangunan. Akan tetapi proyek raksasa yang 
disebut sebagai pembangunan itu terlalu mahal harganya; pencekalan atas 
kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, teror, pembunuhan, dan yang 
paling mengerikan adalah legitimasinya atas pembantaian 3.000.000 orang di 
tahun 1965-68 yang disertai dengan pemenjaraan terhadap 1.500.000 orang lainya. 
Jumlah tersebut belum termasuk keluarga yang ditinggalkan, perkosaan massal, 
kerja paksa, dan lain sebagainya, yang merubah seluruh tatanan politik 
Indonesia pada masa itu. Peristiwa 1965 dengan demikian, adalah titik pijak 
legitimasi atas berdirinya rezim represif otoritarian selama 32 tahun lamanya.
Tulisan ini hendak memberikan refleksi atas kejadian 1965 dan sumbangsihnya 
dalam pemikiran hukum. Apakah hukum itu dan untuk siapa dia ada? Satjipto 
sempat menyatakan bahwa hukum untuk manusia, tapi masalahnya, manusia macam 
apa? Konsekuensinya, berkaca dari peristiwa 1965, terdapat dua golongan: mereka 
yang memiliki hak untuk memiliki hak, dan mereka yang tidak memiliki hak untuk 
memiliki hak. Pada titik inilah tragedi 1965 menjadi tidak mungkin dilewatkan 
untuk masa depan hukum Indonesia, bahwa tidak mungkin membangun Hukum Indonesia 
dengan melupakan nyawa jutaan orang yang bisa dan boleh dihilangkan atas nama 
kebenaran rezim. Apa yang dipertaruhkan bukan hanya tseks yang berisi aturan, 
melainkan wajah dengan segala kisahnya.
I
1965 adalah anomie bagi sistem hukum Indonesia. Berdasarkan peristiwa tersebut, 
tata hukum menjadi tidak lagi berlaku, yang berlaku, sebagaimana dikatakan oleh 
Schmitt, adalah keputusan kongkrit (Schmitt, 2005:1). Keputusan tersebut 
diambil melalui peneguhan kedaulatan, melalui distingsi antara kawan-lawan 
(Schmitt, 2007:26,27). Distingsi tersebut menimbulkan satu konsekuensi, yaitu 
melalui status manusia seseorang dalam keberanggotaan dalam komunitas 
politiknya. Tanpa adanya keberanggotaan dalam satu komunitas politik, maka 
seseorang tidak mempunyai apa yang disebut sebagai hak untuk memiliki hak-hak. 
Dalam terminologi Agamben, distingsi tersebut merupakan pembagian atas zona 
hidup seseorang, apakah dia termasuk dalam bios atau zoe (Agamben, 1998:1). 
Zona kehidupan yang pertama adalah hidup yang penuh, yaitu hidup dalam ranah 
ke-publik-an sedangkan zona hidup yang kedua adalah zona hidup dalam artian 
biologi, yaitu hidup yang semata-mata privat, hidup untuk bertahan hidup pada 
keesokan harinya. Anomie hukum tersebut, adalah akhir sekaligus genesis dari 
hukum.
Sebagaimana telah diketahui, pasca 1965, Pancasila sebagai batas komunitas 
politik dibaca dengan cara yang sama sekali berbeda. Akan tetapi yang paling 
menyakitkan dari peristiwa 1965 sesungguhnya bukan pada malam 1 Oktober itu, 
melainkan kekerasan yang terjadi setelahnya. Atas dalih malam 1 Oktober dimana 
beberapa jenderal terbunuh, aksi pembalasan dilakukan secara meluas dan 
sistematis,[2] yang ditujukan kepada tertuduh golongan kiri. Upaya Soekarno 
untuk meredam kerusuhan dengan mengadakan Mahmillub, memberlakukan larangan 
berkumpul, tidak banyak membantu. Tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali 
melalui pidato-pidatonya sepanjang akhir 65 hingga Pelengkap Nawaksara, 
upayanya dalam menolak pembubaran PKI, penghentian pembunuhan, dan klarifikasi 
bahwa tidak ada jenderal yang dicongkel mata dan penyayatan penisnya berakhir 
sia-sia. Jargon-jargon Nasakom, Manipol-Usdek, Panca-Azimat, beserta 
mimpi-mimpi revolusi sudah tidak lagi memiliki banyak arti, bersamaan dengan 
digulungnya para pengikut utamanya: PKI. Terlebih semenjak Maret 1966, 
kekuasaan secara de facto praktis sudah berpindah kepada Soeharto. Apabila 
malam 1 Oktober adalah legitimasi politik, maka TAP XXV/MPRS/1966 adalah dasar 
legalitas dari segala bentuk diskriminasi yang dianggap kiri.
Golongan kiri dipukul, setelah pembunuhan yang menurut Sarwo Edhie telah sukses 
mengambil sebanyak 3 juta orang, tahun 1969, lebih dari 1,5 juta orang 
menjalani pembuangan (Kammen & McGregor, 2012;9), yang paling terkenal diantara 
semuanya adalah Pulau Buru. Tidak pernah ada pengadilan terhadap tuduhan 
tersebut, juga tidak pernah ada kejelasan hingga kapan para tahanan tersebut 
menjalani masa pembuanganya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan adanya 
praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh negara melalui militer –khususnya 
angkatan darat- maupun secara horizontal, dari lembaga negara, Komnas HAM dan 
Komnas Perempuan telah melakukan penelitian maupun penyelidikan terhadap 
kekerasan yang terjadi, penelitian secara swadaya juga telah banyak menunjukkan 
hal yang kurang lebih sama.
Secara singkat, menjadi kiri pada tahun-tahun pasca 1965 adalah permasalahan 
bertahan hidup, yang apesnya, tidak hanya menimpa orang per orang secara begitu 
saja, melainkan juga anak-turunanya baik PKI, organisasi underbouw, maupun 
mereka yang secara serampangan dituduhkan begitu saja. Apa yang tersisa dari 
malam-malam penuh kengerian tersebut adalah PKI itu jahat, dan Gerwani, adalah 
iblis perempuan yang memakai kemben, menari telanjang, mencongkeli mata dan 
menyayat penis para jenderal. Berulang-ulang, memori tersebut diteguhkan dengan 
peringatan hari kesaktian dan pemutaran film Pengkhianatan G30S.
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa rezim Soeharto adalah peneguhan atas 
keadaan kekecualian (state of exception), dimana atas dasar pemulihan 
ketertiban melalui tindakan yang dianggap perlu,[3] kewenangan kekuasaan negara 
bertambah kuat dibarengi dengan pembatasan hak warganegara. Situasi ini tidak 
lagi memerlukan fakta, karena kebenaran yang ada adalah melalui peneguhan itu 
sendiri. Sebagai contoh, Soeharto, yang telah menerima hasil visum et repertum 
para dokter dari pembunuhan para jenderal membiarkan gambaran penis disayat dan 
mata dicongkel menyebarluas dalam media massa yang kala itu berada dalam 
kontrol angkatan darat (Roosa, 2008:9).[4] Meminjam istilah Ariel Heryanto, 
masyarakat Orde Baru adalah masyarakat simulakra, dari penanda-penanda absurd 
yang kebenaranya disahihkan oleh kekuatan militer (Heryanto, 2006: 112). 
Padahal, persis dari gambaran tersebutlah, basis legitimasi dari kekerasan yang 
terjadi dibanyak tempat, bahwa gerwani adalah kelompok wanita amoral yang 
hobinya menyayat penis.
Angka-angka adalah masalah statistik. Apa yang tidak bisa disingkirkan adalah 
pengalaman personal mengenai kisah-kisah pribadi dari rasa rindu maupun 
kehilangan. Tulisan ini tampaknya tidak bisa menghindar dari godaan untuk 
menampilkan beberapa kisah tersebut. Pengalaman penyiksaan dialami selama 
menjadi tahanan politik oleh Pak ES, dari kota K, tentu saja tanpa pengadilan 
dan kejelasan kapan akan bebas:
Setelah saya ditangkap, saya dimasukkan ke sel. Harusnya ruangan itu hanya 
sepuluh orang, tapi diisi seratus orang, sehingga tidak bisa duduk selonjor, 
semua duduk jongkok. Orang yang merasa kehilangan hak-haknya pasti terasa 
sangat sengsara. Makan hanya paling banyak delapan sendok. Pertama saya 
ditangkap di gedung z di Kota K, saya ditangkap 17 Oktober 1965, dan datang 
untuk membebaskan teman saya yang semenjak saya datang langsung boleh pulang.
Datang disitu digebuki tanpa dikasih makan dan hanya makan dari kiriman rumah. 
Kita makan dari kiriman makan rekan tahanan yang dibagi ramai-ramai. Minum dan 
makan adalah dari kiriman rumah, tidak disediakan. Hal inilah yang banyak 
mematahkan semangat orang-orang. Setiap hari banyak orang yang mati, umpamanya 
Pak Lurah x, dihajar, kemudian mati, dan orang-orang lihat itu bagaimana dia 
mati. Orang yang dianggap tokoh setiap jam 11 sampai jam 1 dipanggil, dihajar, 
diroyok, sambil mengucap Allahu Akbar. Saya bingung, ngapain menghajar orang 
sambil mengucap Allahu Akbar? Salah kita apa? Apakah kami pernah membunuh 
santri? Apakah saya pernah membunuh santri? Lha wong saya pulang kesini saja 
belum tentu sebulan sekali karena dari SMP hingga kuliah saya di luar kota. 
Pertanyaan itu tidak masuk akal, dimana menyimpan senjata? Dimana siletnya? 
Katanya mau membunuh para kyai? Lha boro-boro punya senjata! Kalau tidak jawab 
terus digebuki. Kata mereka orang komunis akan membunuh orang-orang beragama, 
tapi lihat dong, nyatanya, siapa yang dibunuh?[5]
Pengalaman lain adalah tentang rasa hilang anggota keluarga, dimana sang ibu 
adalah anggota Gerwani dan ayahnya adalah pegiat organisasi. Sang ibu kembali 
namun tidak dengan ayahnya. Semasa remaja, dirinya kerap dijenggung dan dikatak 
dasar anak PKI! Dasar anak gerwani! Dengan sang ibu sebagai Gerwani, sementara 
disekolah maupun melalui film Pengkhianatan G30S PKI digambarkan sebagai sosok 
amoral.
Ucapan dasar anak PKI dan dasar anak Gerwani itu saya terima sebagai kalimat 
makian yang mengganggu saya. Saya melawan, semakin besar, saya melawan secara 
fisik, dengan berkelahi. Pada titik tertentu saya bertanya, apakah arti ucapan 
itu? Jenggungan kepala pada saya itu dilakukan tidak hanya oleh orang lain, 
tapi juga oleh keluarga, kami diasingkan tanpa tahu apa kesalahan kami. Saya 
bertanya pada ibu saya, tapi tidak mendapat jawaban dari ibu saya yang kemudian 
membuat saya mencari sendiri, apa arti dari semua itu. Kelamaan saya jadi tahu 
bahwa PKI itu adalah hal itu, dan Gerwani adalah itu, dan saya bertanya 
betulkah ayah ibu saya adalah anggota organisasi macam itu. Suatu ketika saya 
malu betul, pada ibu saya, dianggap dan diperlakukan sebagai perempuan Gerwani, 
yang dalam film Pengkhianatan G30S PKI itu adalah kelompok perempuan yang tidak 
bermoral. Gambaran yang sama juga saya peroleh dari pelajaran sejarah di 
sekolah, sampai SMA, yang membuat saya jijik terhadap ibu saya. Inilah yang 
membuat saya melawan terhadap ibu saya, segala ucapan, perintah, dan larangan 
dari ibu saya adalah omong kosong. (…)
Sampai hari ini saya belum bisa menjawab kepada anak-anak saya, kenapa setiap 
kali lebaran, setiap kali berziarah, anak-anak saya tidak pernah saya ajak ke 
makam bapak saya. Bagaimana saya mau mengajak? Pusara bapak saya pun saya tidak 
tahu. Saya belum bisa menjawab, karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana 
respon anak saya kalau saya  mengatakan bahwa kakek kamu dibunuh, saya yakin 
mereka akan kembali bertanya, siapa yang membunuh, kapan, dan kenapa kakek 
dibunuh? Pertanyaan yang sampai hari ini juga saya sendiri belum bisa temukan 
jawabnya.[6]
Masalah-masalah diatas menunjukkan bagaimana hidup selama dan setelah 1965, 
bahwa permasalahan kekerasan yang terjadi pada masa itu tidak hanya 
permasalahan struktur, namun juga personal. Kisah yang seolah sederhana seperti 
kenapa saya ditangkap, maupun dimana kubur bapak, bagaimana menjelaskan pada 
anak, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari urgensi atas pentingnya 
penyelesaian mengenai 1965. Momentum peneguhan kedaulatan diataslah yang 
kemudian yang menentukan apakah seseorang masuk atau dicoret dari komunitas 
politiknya. Akibatnya jelas, mereka yang tidak termasuk dalam komunitas politik 
boleh dibunuh beserta impunitas atas pembunuhan tersebut. Semenjak 1965, 
praktis kehidupan berubah, sudah tidak ada lagi Nas, A maupun Kom, politik 
massa pada massa demokrasi terpimpin digantikan dengan depolitisasi massa yang 
berujung pada asas tunggal yang puncaknya dikukuhkan melalui TAP II/MPR/1978 
dan UU 3/1985. [7] Atau dengan kata lain, Indonesia pada masa Orde Baru tidak 
berbeda dari TMII, merangkum Sabang hingga Merakuke melalui tafsir tunggal dan 
pendekatan represif terhadap oposisi. Merubah jargon politik sebagai panglima 
menjadi pembangunan. Semenjak 1965, 1 Oktober menjadi semacam hari peringatan 
atas kekecualian tersebut, dan secara berulang menegaskan distingsi 
kawan-lawan, bahwa PKI adalah lawan yang harus dibasmi atas potensialitas 
laten-nya. Pancasila menjadi dalih, setiap gerak oposisi politik dengan segera 
dikategorikan sebagai tidak Pancasilais, dan dapat sewaktu-waktu dikenakan 
tuduhan subversif.[8] Tanah dapat dirampas dengan menggunakan dalih fungsi 
sosial hak atas tanah, terhadap perlawanan mudah saja, tuduhkan pada mereka 
kalau mereka itu komunis ditambah dengan teror dari militer (Yusriadi,2009, 
Pompe, 2012: 217-222).[9] 1 Oktober 1965 beserta dengan tindakan kekerasan 
setelahnya menjadi basis legitimasi dari rezim otoritarian Orde Baru. Dengan 
kata lain, rezim Orde Baru berdiri diatas darah dengan Pancasila yang 
diteguhkan sebagai pembatas komunitas, dan musuh yang terus ditegaskan.

II
Inilah yang membuat posisi masa depan hukum menjadi menarik. Keadilan dan Hukum 
berasal memiliki kedekatan semantik, yaitu dikaion yang berarti hak atau hukum, 
dan dikaiosyne yang berarti adil (Douzinas, 2000;47). Hukum berdasarkan 
pengertian yang demikian adalah berdekatan dengan adil dan bersinonim dengan 
hak. Hukum adalah hak, karena hanya melalui hukum hak-hak dapat dijaminkan. 
Pada satu pihak, universalitas HAM yang mewarisi corak hukum kodrat menanggap 
bahwa hak adalah melekat pada setiap manusia, akan tetapi pada sisi yang lain, 
hak-hak tersebut sesungguhnya bergantung pada komunitas politik tertentu.[10] 
Douzinas menggambarkan relasi keberanggotaan komunitas politik tersebut 
layaknya ketergantungan anak terhadap orang tuanya (Douzinas, 2007:96). Hak 
dijaminkan melalui hukum, dan tiada hak, bahkan yang dijaminkan oleh hukum 
sekalipun, dapat berjalan tanpa keberanggotaan pada komunitas politik, 
(Douzinas, 2007:99).[11]
Hal ini dapat dipahami dalam konteks daya paksa, karena penguasaan daya paksa 
inilah yang menentukan dapat terwujud atau tidaknya hak seseorang, sebagaimana 
analogi ketergantungan anak terhadap orangtua Douzinas yang disebutkan tadi. 
Mereka yang tidak menjadi anggota atau dicoret keanggotaanya tidak lagi 
memiliki hak paling primordial, yaitu hak untuk memiliki hak-hak. Pola tersebut 
adalah sekaligus eksklusi atas status kemanusiaan seseorang, seberapa penuhkah 
status kemanusiaan seseorang. Manusia yang tidak penuh adalah manusia yang 
tidak memiliki jaminan atas haknya, sebagaimana dialami oleh para golongan 
kiri. Agamben menyebutnya sebagai homo sacer, mereka yang dibenarkan untuk 
dibunuh dengan impunitas atasnya (Agamben, 1998;72).
Praktik eksklusi ini, menurut Agamben adalah potensialitas dari peneguhan 
kedaulatan, yang membuktikan tipisnya batasan antara negara yang demokratis 
akan otoriter. Refleksi ini sekaligus mempertanyakan untuk apakah hukum itu, 
rumusan Satjipto bahwa hukum adalah untuk manusia sesungguhnya masih separoh 
jalan saja, pertanyaan selanjutnya adalah untuk manusia macam apa hukum itu 
ada. Pengalaman pada masa tahun 1965 secara tepat menunjukkan praktik-praktik 
itu dilakukan, eksklusi golongan kiri dengan label anti-Pancasila dan kekerasan 
yang dilakukan terhadapnya. Pembunuhan-pembunuhan massal maupun pembuangan 
dalam kamp konsentrasi seperti Pulau Buru, Nusakambangan, Plantungan, dan lain 
sebagainya tidak lain adalah konsekuensi dari eksklusi tersebut (Agamben, 
1998). Perlawanan terhadap eksklusi adalah sekaligus klaim atas hak, rekognisi 
dari keberanggotaan seseorang atas komunitas politiknya, sebagaimana dikatakan 
Douzinas:
Rights play a key role here: they recognise, finesse and adjudicate the claims 
of groups and people and adjust them to changes in social life. In this vision, 
law aims to become identical with the natural life of society, to map the 
social landscape by replicating accurately within intself the facts of social 
life and helping reproduce the existing order (2007; 104).
Apa yang dikatakan Douzinas tersebut berkaitan dengan peneguhan kedaulatan yang 
dipergunakan untuk membalik posisi korban-pelaku. Mereka yang tadinya dituduh 
sebagai pelaku (pemberontak, tidak-Pancasilais) bergeser menjadi korban, dan 
demikian pula sebaliknya, mereka yang tadinya korban (negara, militer, 
penjagal) berubah menjadi pelaku. Maka registrasi politik pada masa ini kembali 
mengalami perubahan, layaknya revolusi Perancis yang menggulingkan monarki. 
Douzinas menyatakan
When the radically excluded protest the wrong they suffer, they present 
themselves as representatives of the whole society, as stand-ins for the 
universal. We, the nobodies, they proclaim, are everything against those who 
stand only for their particular interests. Political conflict brings together 
the structured whole and the excluded representative of the universal into one 
place and rewrites the rules of inclusion and exclusion. The inclusion of the 
invisible part overthrows the rules of the game and interrupts the natural 
order of domination. A new order is precipitated and transforms social 
visibility. The irruption of the excluded is the political event par 
excellence: it changes the political scene and then disappears. Before the 
transformation, political change is a matter of policing and consensus. After 
the change, politics returns to normality; its terrain has been modified, 
however, through the inclusion of the new group or subject and the redefinition 
of the rules of political legitimacy (2007;106).
Masalah akan masa depan hukum Indonesia nampak disini. Pernah ada satu masa 
dimana hukum yang sekaligus hak (dikaion) dapat disingkirkan dengan kekerasan 
yang ditujukan melalui eksklusi dari status keanggotaan seseorang dan 
kelompoknya.  Pertanyaan yang muncul, apakah setelah adanya pergeseran pada 
masa reformasi meluluskan hal tersebut? Masa reformasi adalah bentuk protes 
atas otoritarianisme, akan tetapi proyek reformasi tersebut menunjukkan 
sekaligus dua muka. Pada satu sisi masa reformasi merupakan masa dimana wacana 
mengenai HAM meningkat dengan pesat, hal ini tampak pada regulasi nasional 
maupun ratifikasi internasional terhadap instrumen-instrumen HAM.[12] Akan 
tetapi pada sisi yang lain, reformasi abai untuk membereskan basis legitimasi 
dari berdirinya rezim yang mereka tolak itu, yaitu peristiwa 1965. Pernah ada 
Pengadilan HAM ad hoc untuk Timor Timur maupun Tanjung Priok, juga Pengadilan 
HAM abepura,[13] namun belum pernah ada kemajuan yang berarti untuk 
permasalahan 1965. Pertanyaan mengenai kenapa ayah saya dibunuh, kenapa saya 
disiksa, dimana kuburan ibu saya ditangkap, belum menemukan jawabanya. Dengan 
demikian, adakah masa depan bagi hukum yang tidak mengakui masa lalunya?
Berkaca pada pengalaman lain, di Chile, pasca jatuhnya Pinochet, Presiden 
Aylwin melalui Supreme Decree 355 membentuk KKR –meski bekerja dalam definisi 
yang terbatas-  untuk menunjukkan praktik kekejaman dan reparasi korban. 
Begitupula di Afrika Selatan dimana Konstitusi 1993 dan Konstitusi 1996 
meniadakan sistem Apartheid, dan melalui kerja komisi kebenaran melalui Act 
34/1995. Baik Chile maupun Afrika Selatan dengan keunikanya masing-masing tetap 
menunjukkan tiga hal; reparasi korban, pengungkapan kebenaran, dan penuntutan 
terhadap pelaku. Ketiga hal tersebut luput dalam semangat reformasi, betul 
memang, jargon-jargon HAM menempati posisi yang penting, dan bahwa betul telah 
ada putusan penting mengenai pemulihan hak[14] akan tetapi pada sisi lain, 
perampasan hak yang terjadi sebelumnya tidak diselesaikan, menyisakan para 
korban tanpa adanya hak dengan berbagai pertanyaan personalnya. Kini para 
penyintas hidup bersama dengan para jagal, mereka yang memperjuangkan klaim 
atas hak berjalan berdampingan dengan penyeru kebencian.
Dilain pihak, hukum yang ada tampaknya tumpul, penyelesaian melalui Pengadilan 
HAM memiliki kelemahan dalam reparasi, begitupula dengan jalur KKR, RUU usulan 
pemerintah nampaknya hanya berminat pada dua hal: pengungkapan kebenaran dan 
reparasi korban saja, namun tidak dengan menghukum pelaku,[15] yang menunjukkan 
pembunuhan dan impunitas atasnya. Permasalahan basis legitimasi tersebut 
sesungguhnya terdapat dalam TAP XXV/MPRS/1966 yang sialnya sulit untuk 
dihapuskan karena pertama, MPR tidak lagi memiliki kewenangan membuat TAP, dan 
kedua, MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji TAP yang berada diantara UUD 
dan UU. TAP tersebut memiliki keberadaan yang penting karena kasus-kasus yang 
berkaitan dengan diskriminasi golongan kiri selalu merujuk pada TAP 
tersebut.[16] Hingga kini, baru Gus Dur yang berani untuk mengusulkan 
pencabutan TAP tersebutm yang tentu saja tidak berhasil sebelum akhirnya ia 
dimakzulkan. Diluar KKR, kewenangan untuk memberikan rehabilitasi sesungguhnya 
dimiliki secara prerogatif oleh Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung, 
dan hal ini sesungguhnya pernah dilakukan pada masa Megawati dengan surat dari 
Bagir Manan yang menyatakan rekomendasi bagi Presiden untuk melakukan 
rehabilitasi, [17] tetapi Megawati hingga akhir masa jabatanya tidak menanggapi 
surat tersebut.
Menurut Arendt, terdapat dua jaminan dari politik yaitu permaafan dan jaminan 
masa lalu. Permaafan adalah adanya potensi kesalahan dari perbuatan manusia 
sehingga atas kesalahan tersebut ia harus menebusnya dengan memohon maaf, atau 
dengan penghukuman. Sementara untuk mengantisipasi masa depan, yang diperlukan 
adalah janji akan ketidakberulangan yang sekaligus merupakan hari depan 
(Arendt, 1998: 237-245). Tanpa ada pengakuan mengenai kesalahan (baca: 
kekejaman) pada masa lalu, maka hampir tidak mungkin untuk membuat janji bahwa 
peristiwa tersebut tidak akan berulang. Dan sulit rasanya membayangkan masa 
depan hukum di Indonesia, dimana perayaan atas kekejaman, glorifikasi atas 
kesewenangan dibiarkan tanpa penyelesaian dan membiarkan para korban tanpa 
pemulihan atas status kemanusiaanya, membiarkan kuburan masih menjadi misteri, 
dan kekejaman seolah tidak pernah terjadi

Simpulan
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa terdapat satu hal penting yang 
dipertaruhkan dalam masa depan hukum di Indonesia. Apabila hukum dan HAM 
-sebagaimana diutarakan oleh Douzinas dan Agamben- adalah sekaligus pula 
merupakan pembatasan dari status kemanusiaan seseorang, maka perihal yang sama 
adalah apa yang dipertaruhakan bagi Indonesia pasca-Soeharto. Pada satu sisi, 
sebagaimana disebutkan, maraknya wacana mengenai HAM telah membawa serta 
instrumen HAM dalam sistem hukum nasional, akan tetapi, disisi lain, impunitas 
masih berlangsung dengan tidak adanya pengungkapan kebenaran dan reparasi bagi 
para korban. Hal ini disebabkan oleh tumpulnya instrumen yang ada, yaitu 
klausula reparasi yang terdapat dalam UU 26/2000 tidak dapat dilepaskan dari 
ketentuan pidananya, sementara RUU KKR, yang merupakan jalan lain dari 
penyelesaian Kejahatan HAM masa lalu, juga memberikan kelonggaran yang berlebih 
bagi para pelaku, melalui pemberian amnesti tanpa syarat, yang tentu akan 
mencederai rasa kebenaran para korban. Pengakuan terhadap masa lalu adalah 
sebuah syarat bagi terbukanya masa depan, dan persis disinilah hukum di 
Indonesia menghadapi persimpangan jalan, atas dasar apakah sesungguhnya raison 
de etre dari masa reformasi ini. Jawabanya hanya dapat ditemukan melalui suara 
para korban, ketika kebenaran tersuarakan dan keadilan ditegakkan, tapi 
entahlah, pada siapa kita mengharap? []
Daftar Pustaka
Agamben, Giorgio. 1998. Homo Sacer, Sovereign Power and Bare Life. Stanford 
University Press. California.
Arendt, Hannah. 1998. The Human Condition. The University of Chicago Press. 
Chicago & London.
Douzinas, Costas. 2007. Human Rights and Empire, The Political Philosophy of 
Cosmopolitanism. Routledge-Cavendish. New York.
_______________. 2000. The End of Human Rights, Critical Legal Thought at The 
Turn of the Century. Hart Publishing. Portland.
Firdiansyah, D. Andi Nur Aziz. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan 
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Komnas HAM RI. Jakarta. Tanpa Tahun.
Marzuki, Suparman. 2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia. Erlangga. Jakarta.
_______________. 2012. Pengadilan HAM di Indonesia, Melanggengkan Impunity. 
Penerbit Erlangga. Jakarta
Heryanto, Ariel. 2006. State Terrorism and Political Identity in indonesia, 
Fatally Belonging. Routledge. London & New York.
Kammen, Douglas & Katharine McGregor. 2012. The Contours of Mass Violence in 
Indonesia 1965-68. Asian Studies Association of Australia & University of 
Hawaii Press. Honolulu.
Michael Morfit. The Indonesian State Ideology According to the New Order 
Government.Asian Survey Vol. 21. No.8 (August 1981). University of California 
Press.  Hlm 838-851
Yusriadi. 2009. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak atas Tanah. 
Genta. Yogyakarta.
Pompe, Sebastian. 2012. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Leip. Jakarta.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta 
Suharto. ISSI & Hasta Mitra. Jakarta
Weiringa, Saskia E. 2012. Penghancuran Gerakan Perempuan; Politik Seksual di 
Indonesia Pascakejatuhan PKI. Galang Press. Yogyakarta.
Schmitt, Carl. 2005. Political Theology, Four Chapters on the Concept of 
Sovereignty. University of Chicago Press. Chicago & London.
___________. 2007. The Concept of The Political. University of Chicago Press. 
Chicago & London.
______________________________________________
[1] Suteki adalah Guru Besar Hukum & Masyarakat Universitas Diponegoro 
Semarang. Rian Adhivira adalah Peneliti di Satjipto Rahardjo Institute, alumnus 
Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Tulisan ini ditujukan 
untuk Konferensi Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia tanggal 17-18 November 2015 
di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diajukan ulang untuk Jurnal Yustisia 
Universitas Sebelas Maret, dengan beberapa perubahan, untuk tujuan pendidikan. 
Dipresentasikan ulang untuk BEM Universitas Islam Sultan Agung Semarang, 7 
April 2016.
[2] Mengacu pada hasil penyelidikan Komnas HAM
[3] Salah satu Frasa dalam Surat Perintah Sebelas Maret 1966, selengkapnya:
Mengambil segala tindakan jang danggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan 
ketenangan serta kestabilan djalannya revolusi, serta menjamin keselamatan 
pribadi dan kewibawaan Pimpnan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar 
Revolusi/Mandataris MPRS demi keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, 
dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran pemimpin Besar Revolusi.
Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima 
Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.
Supaya melaporkan segala sesatu jang bersangkutan-paut dalam tugas dan 
tanggung-djawabnya seperti disebutkan diatas.
[4] Berdasarkan hasil penelitian Weiringa, para perempuan yang memberikan 
pengakuan adalah hasil dari penangkapan yang disertai dengan penyiksaan. Para 
perempuan tersebut dipaksa untuk telanjang kemudian difoto, dan dipaksa 
mengakui perilaku yang dituduhkan (Weiringa, 2010; 432). Hasil penelitian 
Komnas Perempuan menyertakan pula hasil visum tersebut dalam bagian lampiranya.
[5] Mantan Tapol golongan B yang kemudian dibuang ke Pulau Buru, korespondensi 
pribadi.
[6] Penyintas merupakan anak Tapol,  Korespondensi pribadi.
[7]Termasuk implementasi P4 dalam bentuk pelatihan kepada seluruh siswa dan 
pegawai negeri sipil. Pelatihan semacam ini sesungguhnya tidak jauh berbeda 
dari apa yang diterapkan Soekano melalui slogan Manipol-Usdek yang juga wajib 
diikuti oleh seluruh siswa hingga pegawai negeri sipil. Kesamaan lain adalah 
penggunaanya untuk melawan musuh politik. Meski memiliki kesamaan, namun yang 
menjadi ciri khas dari P4 adalah rujukanya pada peran militer sebagai bagian 
dari pembangunan. Ciri utama tersebut menjadi pembeda karena dalam 
Manipol-Usdek,  Pancasila dipergunakan untuk memobliisasi secara dinamis 
lawan-lawan negara (nekolim). Sementara pada P4 adalah terutama untuk 
mengaburkan pandangan sosial dengan dalih Pancasila dengan mengambil jalan 
Komunis sebagai musuh bersama (Morfit,  1981).
[8] UU 11/Pnps/1963 UU ini selama Orde Baru menjadi alat untuk mengadili 
oposisi politik (Gultom, 2003).
[9] Misalkan pada kasus Kedung Ombo, para petani yang menolak pembebasan lahan 
oleh Soeharto ia katakan sebagai mantan komunis, untuk meluluskan ganti rugi 
tanah dengan harga yang sangat minim.
[10] Tema Partikularitas tersebut dilain pihak menjadi dalih selama Orde Baru 
untuk menghindari tanggung jawab atas kejahatan HAM secara internasional dengan 
menggambarkan bahwa HAM universal adalah kebaratan dan jahat, dan tentu saja, 
tidak sesuai dengan Pancasila Orde Baru (Marzuki, 2014: 107).
[11] Arendt dalam Douzinas mengatakan : a man who is nothing but a man has lost 
the very qualities which make it possible to treat him as a man.
[12] UU 39/1999, UU 26/2000, UU 11/2005, UU 12/2005, dan lain sebagainya.
[13] Meskipun dalam pengadilan tersebut tidak pernah ada pelaku (Marzuki, 2012) 
maupun reparasi korban. Hal ini karena untuk mendapatkan reparasi, UU 26/2000 
mengharuskan adanya pelaku, dan pencantuman bentuk reparasi dalam amar putusan.
Pasal 35 UU 26/2000:
Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau 
ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM.
Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut 
dengan Peraturan pemerintah.
[14] Putusan Mahkamah konstitusi mengenai hak pilih dalam Putusan Nomor 
011-017/PUU-1/2003, putusan Mahkamah agung atas gugatan TUN Nona Nani Nurani 
melawan Kepala Pemerintahan Kecamatan Koja Jakarta Utara  mengenai KTP seumur 
hidup yang menjadi yurisprudensi dalam Putusan MA No, 400 K/TUN/2004, Putusan 
Mahkamah Agung yang membatalkan Keppres 28/1975 dalam Putusan MA No. 25 
P/HUM/2007.
[15]Pasal 28 RUU KKR 2015:
Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang telah diungkapkan dan 
diselesaikan oleh Komisi tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi 
manusia ad hoc, termasuk bantuan, rehabilitasi,dan Kompensasi yang diterima 
oleh korban dari lembaga atau instansi yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan 
dan Belanja Negara.
Ketentuan ini membuat kewenangan sub-poena ini mubazir karena kepada pelaku 
tidak ada kewajiban apapun untuk mengungkapkan kebenaran. Sementara, perkara 
yang dianggap telah selesai tidak dapat lagi diajukan secara yudisial. Hal ini 
berbeda dengan sub-poena di Afrika Selatan yang memberikan Amnesti dengan 
ketentuan pengungkapan kebenaran dan penilaian dari Komisi Amnesti terhadap 
pelaku –bukan perkara-.
Section 20 (7) a, b, c Act 34/1995:
No person who has been granted amnesty in respect of any act, omission or 
offence shall be criminally or civilly liable in respect of such act, omission 
or offence and no body or organisation or the State shall liable in respect of 
such act, omission or offence and no person shall be vicariously liable, for 
such act, omission, or offence.
Where amnesty is granted to any person in respect of any act, omission or 
offence, such amnesty shall have no influence upon the criminal liability of 
any other person contingent upon the liability of the first-mentioned person.
No person, organisation or state shall be civilly or vicariously liable for an 
act, omission or offence comitted between 1 March 1960 and the cut-off date by 
a person who is deceased, unless amnesty could not have been granted in terms 
of this Act in respect of such an act, omission or offence.
Di Chile, sekalipun tidak memiliki kewenangan Sub-poena karena dibentuk melalui 
dekrit, menyatakan bahwa seluruh hasil investigasi diberikan kepada pengadilan 
yang berwenang, sehingga tidak menghilangkan pidananya.
Article 2 Supreme Decree 355:
In no case is the commisson to assume jurisdictional functions proper to the 
courts nor to interfene in cases already before the courts. Hence it will not 
have the power to take a position on whether particular individuals are legally 
responsible for the events that it is considering.
If while carrying out its functions the Commission receives evidence about 
actions that appear to be criminal, it will submit it to the appropriate court.
[16] Merujuk pada putusan-putusan dalam catatan kaki nomor 14
[17] Bagian menimbang paragraf 3-4 dalam surat itu Mahkamah Agung menyatakan:
Menimbang bahwa, Mahkamah Agung banyak menerima surat-surat baik dari 
perorangan maupun dari berbagai kelompok masyarakat yang menyatakan diri 
sebagai korban Orde Baru, yang pada pokoknya mengharapkan agar memperoleh 
rehabilitasi.
Menimbang bahwa, wewenang memberikan rehabilitasi tidak ada pada Mahkamah 
Agung, karena hal tersebut merupakan hak prerogatif yang ada pada saudara 
Presiden.
Menimbang bahwa, sekalipun demikian dengan dilangadsi keinginan untuk 
memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang sama, serta didorong oleh 
semangat rekonsiliasi bangsa kita, maka Mahkamah Agung dengan ini memberikan 
pendapat dan mengharapkan Saudara Presiden untuk mempertimbangkan dan mengambil 
langkah-langkah konkrit ke arah penyelesaian tuntutan yang sangat diharapkan 
tersebut.
Rian Adhivira Prabowo
Peneliti di Satjipto Rahardjo Institute. Menempuh studi Master of Arts bidang 
HAM dan Demokratisasi di Institute of Human Rights and Peace, Mahidol 
University Thailand.

Kirim email ke