Dalam Kungkungan Kebohongan (Kaum Rasis) Jokow(i)er dan Ahok(er)

SUARA PUBLIK  JUM'AT, 16 JUNI 2017 , 11:13:00 WIB | OLEH: NATALIUS PIGAI
Natalius PigaiTIDAK terasa Pemerintah Jokowi telah menelan waktu 3 tahun 
berlalu, 3 tahun itu pula Jokow(i)er, Ahok(er), Jokopedia, Seknas, Bara JP, 
Partai Pendukung dkk, berkoar koar memuja-muji Pemerintah saban hari tanpa 
henti, tanpa cape dan tanpa bosan. Anda katakan  pemerintahan Jokowi anti 
korupsi, anti kolusi dan anti nepotisme, Pemerintah memberantas mafia, kartel, 
Pemerintah menepati janji, Pemerintah tidak langgar HAM, komitmen pada rakyat, 
konsisten, demokratis, menghormati kebebasan ekspresi.
Semua kata-kata itu adalah kesimpulan kalian, tentu saya hormati. Tapi saya mau 
tanya bagaimana bisa memberantas para oligarki (mafia ekonomi dan kartel 
dagang) yang menempatkan seorang wali kota ke gubernur dan Presiden dalam waktu 
kurang dari 3 tahun, orbit bak meteor kalau tidak dibekingi oleh kaum oligarki 
para taipan hoakiao di negeri ini. 

Bagaimana kita bisa memastikan pemerintah ini bersih anti KKN sedangkan BUMN 
dijadikan alat banjakan 25 orang penganggur jalanan dan job seeker? Sedangkan 
Ahok sempat keluarkan jurus jitu adanya sokongan para taipan dalam pemilihan 
Presiden, udar Pristono diduga dibungkam, Freeport tadinya Jokowi tolak bak 
seorang nasionalis tulen, namun akhirnya tunduk dan bertekuk lutut pada simbol 
imperialisme Amerika ini, dan lain-lain.

Dalam pemerintahan ini, kita sedang menyaksikan (sambil ketawa) sandiwara 
murahan pemerintahan, antar institusi negara dibentrokkan, hukuman mati, 
penenggelaman sampan-sampan murahan, hukum jahiliah kebiri, kapitalisasi 
politik laut Cina selatan yang suhu politiknya tidak pernah besar dan tidak 
akan pernah besar dengan pura-pura dan menipu rakyat dengan mengobarkan 
semangat nasionalisme di atas geladak kapal perang Republik Indonesia pembelian 
rakyat kecil (wong cilik), penipuan murahan dan omong kosong terhadap 
orang-orang telanjang di Papua dengan mengatakan akan bangun rel kereta api di 
Papua, jalan tol melintasi tebing-tebing terjal. 

Akhirnya juga saya mengukur moralitas pemimpin dengan hanya melihat dari Mobil 
ESEMKA bikinan Solo yang mendobrak citra seorang wali kota hingga menjadi 
presiden, orang nomor 1 Republik ini. Hari ini, ESEMKA tidak bisa diproduksi 
jadi mobil buatan domestik seperti Proton di Malaysia dan Mobil Nasional jaman 
Suharto. Bangsa Papua berduka dalam kesedihan atas tragedi yang menimpa ribuan 
bumi putra, bahkan tokoh pejuang pasar mama-mama meninggal dalam perjuangannya. 
Padahal Jokowi janjikan Proyek ini tidak pernah kunjung usai. 

Dalam politik transaksional bagaimana berkoalisi ke Pemerintahan, selain 
tawaran menteri juga dugaan pembagian proyek triliunan rupiah. Bukankah 
pembangunan infrastruktur, jalan, jembatan dan lain-lain yang membutuhkan 
triliunan rupiah itu Presiden menggunakan otoritas melalui kontraktor 
Pemerintah dengan diam-diam menggandeng kontraktor swasta dengan penunjukan 
langsung? Itulah kekuasaan, dengan berkuasa secara leluasa bernafsu 
memanfaatkan kekuasaan untuk untuk dirinya, sanak saudaranya, koleganya  dan 
masa depan kariernya. 

Ada benarnya jika seorang Inggris Lord Acton menyatakan power tends to corrupt, 
and absolute power corrupts absolutely. Namun saya menghormati bangsa ini yang 
masyarakat masih anonim dalam politik sebagaimana Herber feith pernah sampaikan 
kondisi pemilih tahun 55 dan saat ini hanya terjadi perubahan pemerintahan dan 
politik, sementara mayoritas masyarakat masih stagnan dan belum melek politik 
sehingga timbul kelompok kelompok solidaritas nekat, solidaritas buta, militan 
dan cenderung fanatis. 

Kelompok ini sangat nampak saat ini adalah kelompok pendukung Jokowi, pendukung 
Ahok, pendukung mega, mereka-mereka ini dianggap sebagai titisan dewa, 
kata-kata dan perbuatan tokoh-tokoh tersebut benar semua dihadapkan pendukung 
fanatik ini, bahkan kata-kata dan nasehat atau perintah mereka dianggap titah 
dewa, Devine Right of the King, seperti raja Jhon di Inggris abad ke-15. 

Semoga Jokower dan Ahoker pendukung Jokowi tidak demikian, sehingga orang-orang 
terdidik, komunitas masyarakat sipil harus membangun bangsa madani yang kritis 
dan rasional, imparsial, objektif untuk menempatkan dan memilih pemimpin 
berdasarkan rasionalitas, akal yang sehat bukan atas dasar fanatisme agama, 
suku, ras antar golongan. 

Kita sudah terlalu lama hidup di dalam kungkungan kebohongan dan terpolarisasi 
berdasarkan fragmentasi elit bangsa, tidak berdasarkan fragmentasi ideologi. 
Jutaan rakyat menjadi nasionalis abangan pengikut seorang oknum individu. Saya 
katakan bangsa bodoh saja yang menempatkan nasionalisme personifikasi oknum 
individu, bukan nasionalisme cinta tanah air dan bangsa. Bahkan kelompok yang 
mengaku priyayi tidak memilik doktrin ideologi. 

Jokower, Ahoker dkk, rakyat ini sudah lama menderita. Seandainya negara dan 
rakyat ibarat bersuami dan istri sejak jaman dahulu kala mereka sudah kasih 
talak 3 ke negara, apakah kita tahu bahwa rakyat yang hidup di pelosok 
Nusantara ini mereka hidup dan berpengaruh dengan adanya negara? Mereka hidup 
dari hasil usahanya, ketergantungan kepada alam, hidup sangat autarkis, taken 
for granted dari Ilahi dengan sumber daya alam yang melimpa rumah di bumi 
nusantara. Tanpa sentuhan negara bisa hidup, bahkan lebih aman.

Mereka tidak paham Presiden operasi pasar harga daging sapi turun sampai 80 
ribu. Mereka tidak tahu operasi pasar untuk turunkan harga pangan, sandang dan 
papan. Mereka juga tidak paham berbagai kebijakan dan regulasi tetek bengek 
yang dibuat oleh negara. Mereka juga tidak tahu segala kebijakan pembangunan 
infrastruktur jalan-jalan bertingkat, jembatan tanpa sungai, dan juga 
gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Jutaan rakyat di bumi pertiwi ini 
hidup bisu, tuli cenderung sebagai orang-orang tidak bersuara, nun jauh dari 
hirup pikuk modern yang hanya berkutat di Jakarta, Jawa dan kota-kota tertentu. 

Memang power tends to corrupts. Semua ini akibat kita rakus berkuasa, kekuasaan 
memang penting, namun kita lalai distribusi kekuasaan  bagi putra putri di 
seluruh Nusantara. Bagaimana mungkin Presiden selalu Jawa, menteri-menteri 
mayoritas selalu Jawa lantas bisa distribusi kekuasaan. Orang Ambon sudah lama 
menderita. 40 tahun tidak pernah menjadi menteri, meskipun Leimena pernah 
menjadi Wakil Perdana Menteri. Orang Dayak pemilik pulau terbesar kedua setelah 
Greenland sampai hari ini belum ada yang menjadi menteri, walaupun orang Dayak 
di Malaysia sering menjadi menteri.

Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini orang Buton di Sulawesi tenggara belum 
pernah di kasih kesempatan meskipun saudara-saudara kita Laode-Laode banyak 
orang-orang hebat di negeri ini. Orang Papua jadi pemberontak dulu baru dikasih 
menteri padahal bangsa Papua adalah bangsa pemberi bukan bangsa pengemis 
seperti kau. Jong Ambon, Celebes, Borneo dan Andalas bersatu bukan tanpa cek 
kosong, mereka memberi dengan cek berisi sumber daya alam yang melimpah.

Selain distribusi kekuasaan ada aspek yang paling penting adalah distribusi 
pembangunan. Sangat tidak adil dan cenderung diskriminatif, ketika pulau Jawa 
dan Sumatera konektivitas antar daerah baik darat, udara dan laut terbangun 
rapi. Sementara di seberang sana, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, 
pembanguan jalan Trans yang dibangun saat ibu kandung saya masih kecil sampai 
saat ini belum pernah kelar-kelar. Ini bukan berita hoax, pembangunan jalan 
Trans Papua dibangun tahun 1970, ibu saya usia 15 tahun, sampai hari ini tidak 
ada jalan Trans Papua yang terbangun. 

Para pendukung bodoh nekat sekalian. Negeri ini bukan monarki, juga bukan 
oligarki, yang kekuasaan hanya berpusat pada raja dan sekelompok orang. Negeri 
ini REPUBLIK INDONESIA, negeri milik bersama, kekuasaan berpusat pada rakyat 
Indonesia dan mereka yang mengelola hanya diberi kedaulatan oleh rakyat (summa 
potestas, sive summum, sive imperium dominium). 

Karena itu esensi dari negara demokrasi maka satu-satunya cara untuk 
memperbaiki bangsa ini adalah distribusi keadilan (distribution of justice) 
melalui distribusi kekuasaan (distribution of power) dan distribusi pembangunan 
( distribution of development) di seluruh Indonesia. Dan itu hanya bisa 
dilakukan melalui pemimpin yang dipilih secara rasional dan masyarakat Madani 
yang kritis tanpa pendukung fanatis, militan dan cenderung destruktif. [***]

Wamena, 2017

Penulis adalah Komisioner Komnas HAM
  • ... Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
    • ... 'Karma, I Nengah [PT. Altus Logistic Service Indonesia]' ineng...@chevron.com [GELORA45]

Reply via email to