Pada Kamis, 22 Juni 2017 17:34, "Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com 
[GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> menulis:
 

     
...sebetulnya warga SAD sendiri lebih suka tinggal di dalam hutan dengan segala 
kesederhanaannya, karena bagi mereka hutan adalah ‘rumah’ sekaligus tempat 
mereka mencari nafkah selama ratusan tahun. Yang menjadi masalah, kini ‘rumah’ 
mereka terancam punah akibat pembalakan hutan maupun serbuan perkebunan kelapa 
sawit. 
...Pak Peneto mengakui, ia dan kelompoknya memang tidak bisa kembali hidup di 
hutan, karena hutan tidak bisa lagi memberi mereka kehidupan. “Kami ingin 
menetap di sini, tapi kalau babi makin susah ditemukan, dengan apa lagi kami 
harus hidup?”
...Menjenguk 'Orang Rimba' di Jambi

  
|  
|  
|  
|   |    |

  |

  |
|  
|   |  
Menjenguk 'Orang Rimba' di Jambi
 By FDVS Ratusan tahun Suku Anak Dalam hidup tenang di tengah rimba. Namun 
pembalakan hutan dan serbuan kebun sawit membu...  |   |

  |

  |

 



Sebenarnya sejak dahulu kala keberadaan Suku Anak Dalam –selanjutnya disebut 
SAD– sudah menyatu dengan kehidupan warga Pulau Sumatra, khususnya yang tinggal 
di wilayah Jalur Lintas Tengah– meliputi Jambi, Sumatra Barat, Sumatra Selatan. 
Menjadi salah satu ‘dongeng’ yang kerap diceritakan oleh almarhumah ibu saya 
–yang berdarah Minang— kepada anak-anaknya. Saya sebut ‘dongeng’, karena 
kisahnya berbaur antara nyata dan khayal, antara manusia betulan dan mahluk 
siluman, sehingga saya menarik kesimpulan, ibu saya juga belum pernah bertemu 
langsung dengan warga SAD.
    
Ada banyak versi tentang asal-usul (salah satu) suku asli Sumatra yang hidup 
nomaden di hutan ini. Salah satunya, versi Departemen Sosial (1988) dalam seri 
masyarakat terasing di Nusantara.  Disebutkan, pada pertengahan abad 17 terjadi 
perang antara Kerajaan Jambi yang dipimpin Puti Selaras Pinang Masak dengan 
Kerajaan Tanjung Jabung pimpinan Rangkayo Hitam. Raja Pagaruyung di tanah 
Minang, yang merupakan ayahanda dari Puti Selaras Pinang Masak, memutuskan 
untuk mengirim pasukan bantuan ke Kerajaan Jambi. Namun karena jarak yang 
ditempuh terlalu jauh, medannya sangat berat, dan kehabisan persediaan makanan, 
para prajurit itu tidak mampu mencapai Kerajaan Jambi. Tapi karena tak ingin 
menanggung malu bila pulang kembali ke Pagaruyung, mereka memutuskan untuk 
tinggal selamanya di hutan. Mereka itulah yang kemudian menjadi SAD.

Versi lain (Van Dongen, 1906) mengatakan, SAD adalah salah satu kelompok Melayu 
Tua dari rumpun Melanesia, sama seperti suku Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, 
Toraja, Sasak, Batak pedalaman, dan Papua. Kelompok masyarakat Melayu Tua ini 
merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (Cina selatan) yang masuk ke 
wilayah Nusantara sekitar tahun 2000 SM. Mereka kemudian lari dan tersingkir ke 
hutan ketika datang kelompok Melayu Muda yang mengusung peradaban lebih tinggi.

Keberadaan SAD –mereka sendiri lebih suka menyebut diri ‘Orang Rimba’ atau 
‘Orang Sanak’— baru mulai terangkat ke permukaan dan menjadi kepedulian banyak 
pihak setelah Butet Manurung mendirikan ‘Sokola Rimba’ (sekolah rimba) bagi 
anak-anak SAD di Jambi dan diberitakan oleh banyak media, sekitar tahun 2004. 
Apa yang dilakukan Butet seolah membukakan mata sekaligus menyadarkan kita 
bahwa di tengah teknologi informasi canggih yang membuat Indonesia dan dunia 
tak lagi berbatas ini, masih ada saudara kita yang tinggal di tengah rimba, 
dengan teknologi primitif, dan tak bisa baca-tulis-hitung sama sekali.

Sepintas lalu sepertinya kondisi itu tidak adil bagi mereka –yang notabene 
warganegara Indonesia juga. Namun, menurut M. Sutono atau Tono, Project Officer 
PNPM Peduli di Jambi, sebetulnya warga SAD sendiri lebih suka tinggal di dalam 
hutan dengan segala kesederhanaannya, karena bagi mereka hutan adalah ‘rumah’ 
sekaligus tempat mereka mencari nafkah selama ratusan tahun. Yang menjadi 
masalah, kini ‘rumah’ mereka terancam punah akibat pembalakan hutan maupun 
serbuan perkebunan kelapa sawit. 

Nyaris tanpa bekal keahlian dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat modern untuk 
bertahan hidup, mereka ‘dipaksa’ keluar dari hutan dan hidup membaur dengan 
masyarakat ‘terang’ –sebutan warga SAD bagi masyarakat di luar hutan. 
Akibatnya, nasib mereka justru makin menyedihkan, karena kini mereka menghadapi 
berbagai masalah sosial dan ekonomi yang tak mereka kenal sebelumnya. Mulai 
dari kehilangan identitas, belum adanya pengakuan dari negara maupun komunitas 
sekitar, hilangnya sumber penghidupan, hingga ketidakberdayaan menghadapi 
perubahan drastis dalam kehidupan mereka –termasuk menghadapi serbuan 
konsumerisme.

Sementara itu, masyarakat ‘beradab’ juga belum sepenuhnya menerima kehadiran 
mereka, bahkan hingga sekarang. Buktinya, masyarakat masih sering menyebut 
mereka sebagai ‘Orang Kubu’ (kubu berarti jorok, primitif, kafir) –sebutan yang 
dibenci oleh warga SAD. “Bahkan masih banyak orang yang lari ketakutan bila 
kebetulan bertemu dengan warga Suku Anak Dalam di jalan,” ujar Tono.

Hasil Sensus Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi dan WARSI (2010) menyebutkan, 
populasi SAD sekitar 2.196 jiwa, yang tersebar dalam 17 rombong atau kelompok 
(satu rombong terdiri dari beberapa keluarga) di Bukit Dua Belas, Bukit Tiga 
Belas, dan wilayah sepanjang Jalan Lintas Tengah Sumatra, meliputi Kabupaten 
Merangin, Kabupaten Surolangun, Kaupaten Bungo, Kabupaten Batanghari, dan 
Kabupaten Dharmas Raya – yang terakhir ini termasuk Provinsi Sumatra Barat. 
Sulitnya melakukan  pedataan ( karena sebagian dari mereka hidup di dalam hutan 
dan terpencar-pencar) serta perkiraan tingginya angka kematian ibu dan bayi 
akibat kondisi kesehatan yang jauh dari memadai, membuat keberadaan SAD kini 
terancam punah.

Kami mengawali perjalanan dari Kabupaten Merangin, untuk menemui sebuah 
kelompok SAD dari Rombong Peneto (Peneto adalah nama ketua rombong tersebut). 
Kami tak perlu jauh-jauh mencari, karena kini mereka sudah menetap di 
tengah-tengah perkebunan sawit, tak jauh dari kampung penduduk.

Pak Peneto mengakui, ia dan kelompoknya memang tidak bisa kembali hidup di 
hutan, karena hutan tidak bisa lagi memberi mereka kehidupan. “Kami ingin 
menetap di sini, tapi kalau babi makin susah ditemukan, dengan apa lagi kami 
harus hidup?” ia menambahkan. Karena itu, ia mendukung upaya PNPM Peduli dan 
sejumlah LSM lain untuk mengajarkan baca-tulis-hitung kepada anak-anak kecil 
dalam rombong-nya. “Supaya mereka tidak bodoh seperti kami yang sudah tua ini, 
dan supaya kami tidak gampang dibohongi terus,” kata Pak Paneto sambil mengusap 
kepala dua bocah lelaki usia 9-10 tahunan di dekatnya. Siapa nama bocah-bocah 
itu? Ternyata yang satu bernama Ariel, dan satunya lagi Andra. Seorang bocah 
perempuan kecil diberi nama Cantik. Pokoknya, nama-nama populer yang kerap 
mereka dengar di sinetron.
    
Kami melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi Rombong Syargawi. Saat kami tiba 
di sana, proses belajar mengajar sedang berlangsung di sebuah bangunan kayu 
yang dibuat jadi semacam aula. Puluhan anak usia 7–12 tahun duduk ngedeprok di 
lantai kayu, mengelilingi papan tulis dan seorang relawan dari PNPM Peduli yang 
sedang mengajarkan mereka baca-tulis.
    
Dalam hal pendidikan, rupanya Rombong Syargawi sudah selangkah lebih maju. 
Empat anak dari rombong ini sudah bersekolah di SD di pemukiman transmigrasi. 
Bukan hanya diajari baca-tulis-berhitung, mereka juga diajari untuk menjaga 
kebersihan badan dengan mandi dan gosok gigi setiap hari. Bagusnya, mereka 
mengaku tidak mengalami perlakuan diskriminatif  dari teman-teman sekolah 
maupun guru-guru mereka. “Awalnya mereka tak mau ke sekolah karena takut, tapi 
terus saya dorong. Dulu hampir setiap hari saya antar-jemput mereka ke sekolah, 
tapi sekarang sudah bisa pergi sendiri. Mereka senang sekolah,” kata Pak 
Syargawi. Sayangnya, sudah beberapa bulan ini mereka susah mandi akibat kemarau 
panjang yang mengeringkan semua sumber air di sekitar mereka – sungguh ironis, 
karena hanya seminggu kemudian, saya melihat berita di TV bahwa Jambi terendam 
banjir.



Tina Savitri
  #yiv3632867621 #yiv3632867621 -- #yiv3632867621ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-mkp #yiv3632867621hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-mkp #yiv3632867621ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-mkp .yiv3632867621ad 
{padding:0 0;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-mkp .yiv3632867621ad p 
{margin:0;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-mkp .yiv3632867621ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-sponsor 
#yiv3632867621ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-sponsor #yiv3632867621ygrp-lc #yiv3632867621hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-sponsor #yiv3632867621ygrp-lc .yiv3632867621ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv3632867621 #yiv3632867621actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv3632867621
 #yiv3632867621activity span {font-weight:700;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv3632867621 #yiv3632867621activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv3632867621 #yiv3632867621activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv3632867621 #yiv3632867621activity span 
.yiv3632867621underline {text-decoration:underline;}#yiv3632867621 
.yiv3632867621attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv3632867621 .yiv3632867621attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv3632867621 .yiv3632867621attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv3632867621 .yiv3632867621attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv3632867621 .yiv3632867621attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv3632867621 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv3632867621 .yiv3632867621bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv3632867621 
.yiv3632867621bold a {text-decoration:none;}#yiv3632867621 dd.yiv3632867621last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv3632867621 dd.yiv3632867621last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv3632867621 
dd.yiv3632867621last p span.yiv3632867621yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv3632867621 div.yiv3632867621attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv3632867621 div.yiv3632867621attach-table 
{width:400px;}#yiv3632867621 div.yiv3632867621file-title a, #yiv3632867621 
div.yiv3632867621file-title a:active, #yiv3632867621 
div.yiv3632867621file-title a:hover, #yiv3632867621 div.yiv3632867621file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv3632867621 div.yiv3632867621photo-title a, 
#yiv3632867621 div.yiv3632867621photo-title a:active, #yiv3632867621 
div.yiv3632867621photo-title a:hover, #yiv3632867621 
div.yiv3632867621photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv3632867621 
div#yiv3632867621ygrp-mlmsg #yiv3632867621ygrp-msg p a 
span.yiv3632867621yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv3632867621 
.yiv3632867621green {color:#628c2a;}#yiv3632867621 .yiv3632867621MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv3632867621 o {font-size:0;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621photos div {float:left;width:72px;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621photos div div {border:1px solid 
#666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv3632867621
 #yiv3632867621reco-category {font-size:77%;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621reco-desc {font-size:77%;}#yiv3632867621 .yiv3632867621replbq 
{margin:4px;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-mlmsg select, #yiv3632867621 input, #yiv3632867621 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-mlmsg pre, #yiv3632867621 code {font:115% 
monospace;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-mlmsg #yiv3632867621logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-msg 
p#yiv3632867621attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-reco #yiv3632867621reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-sponsor 
#yiv3632867621ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-sponsor #yiv3632867621ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-sponsor #yiv3632867621ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv3632867621 #yiv3632867621ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv3632867621 
#yiv3632867621ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv3632867621 

   
 
|  | Virusvrij. www.avg.com  |

  • [GELORA45] Menjenguk 'Or... Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
    • Trs: [GELORA45] Men... Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co.id [GELORA45]

Kirim email ke