Am Tue, 22 Aug 2017 18:13:52 +0200 schrieb kh djie <dji...@gmail.com>:
KH.: > Lha ini kan yang bung tulis : > > *Bung kayaknya keberatan untuk menghargai patriotisme R. Wijaya yang > berhasil mempertahankan tanahairnya terhadap agresor Kubilai-Khan * > Dari mana bung kok bisa ambil kesimpulan ini ? Di tulisan saya yang > mana? Lusi: Lho kalimat saya kok dipotong? Seandainya bung sebagaimana lazimnya kalau seseorang menstudi sesuatu pandangan secara ilmiah, terutama uraian dalam ilmu sosial seperti sejarah perkembangan nasion ini, mestinya tidak dengan cara memotong kalimat tulisan saya dng maksud merevisi hakekat substansi kalimat saya itu. Kalau mau menyusun kalimat yang autentik normalnya bung tidak akan mengemukakan jawaban spt pandangan bung di atas, yang tidak sesuai dengan hakekat kalimat asli saya seutuhnya. Berikut ini kalimat e-mail yang saya maksud yang berakhir dengan tandatanya. Sekali lagi - seutuhnya: Lusi: "Bung kayaknya keberatan untuk menghargai patriotisme R. Wijaya yang berhasil mempertahankan tanahairnya terhadap agresor Kubilai-Khan yang menganggap penguasa di Singhasari (Kertanegara), karena tidak mau tunduk pada kewajiban memberikan upeti sebagai tanda ketundukan, lalu kemudian menilainya sebagai barbar?" Lha kalau begitu, saya ingin bertanya pendapat bung: yang dilakukan oleh tentaranya si Jengis-Khan di Jawadwipa ini agresi atau bukan? KH: > Bung menulis patung Raden Wijaya harus didirikan di Tuban karena > agressor masuk dari sini dan enyah dari sini menurut sejarah. > Agressor masuk dari Tuban dan lari dari ujung Galuh, bukan dari Tuban. > Bung dapat info tidak betul. Saya masih ingat di pelajaran sejarah > waktu SMP-SMA, selalu dikatakan lari dari Ujung Galuh. Saya check > lagi, apa ada perubahan informasi dari hasil penyelidikan sejarah, > ternyata tidak. Masa di tempat agressor masuk, mau dipasang patung > Raden Wijaya. Alasannya apa ? > Tetapi kalau bung mau pasang, atau usulkan untuk dipasang, ya > silahkan. Kebiasaan negeri2 itu memperingati kemenangannya di medan > pertempuran terakhir yang sangat menentukan, seperti di Waterloo. > Mestinya di Daha perlu ada patung Raden Wijaya dan panglima2 > perangnya seperti Ronggo Lawe dll. dan ada cerita + gambar jalannya > perang.Kalau bisa dilengkapi Videorama. Patung Raden Wijaya perlu di > ibukota kerajaannya. Ternyata dari keterangan bung Jonathan sudah > dibangun. Di Google saya baca peresmiannya oleh Danrem di sana. > KH Lusi: Kalau bung mengingat-ingat pelajaran sejarah di SMP-SMA menyangkut penjelasan ttg ujung Galuh. Itu betul juga. Guru pelajaran sejarah saya ketika masih di Taman Dewasa juga mengajarkan tentang Kebengisan Kubilai-Khan. Saya masih ingat namanya Pak Karlan. Tapi saya merasa lebih luas dan mantap setelah mendapat penjelasan materi historisnya dipandang dari ilmu pengetahuan sejarah dunia dan sangkut-pautnya dengan sepak terjang Jengis-Khan dari bukunya Weatherford, Jack (2004), "Genghis khan and the making of the modern world", New York: Random House, p. 239, ISBN 0609809644. Terutama tentang penggambaran betapa besarnya pasukan dari kedua belah pihak. Seperti kita ketahui pada tahun 1293, Kubilai Khan, pendiri Dinasti Yuan, mengirim invasi besar ke pulau Jawa dengan 20,000 sampai 30,000 tentara. Dan saya masih ingat kata-kata pak Karlan: Di Tuban itulah invasi terakhir dari pasukannya Jengis-Khan di Asia Tenggara. Dalam menilai peristiwa wajibnya orang akan mendudukkan eksponen suatu peristiwa dlm sejarah itu di tempat yang mudah dijumpai khalayak ramai supaya mudah diketahui, dikenang jasanya dan juga untuk dijadikan pendidikan ideologi dan pelajaran bagi generasi yang akan datang. Itulah juga saya menilai tepatnya tempat patung R.Wijaya di Tuban seperti yang dikemukakan bung Sunny. Ini pertimbangan yang utama. Sementara pertimbangan berikutnya saya merasa tidak perlu terlibat pada kejadian sampingan. Kalau bung mempersoalkan pulangnya serdadu yang kalah perang itu dari Galuh, itu sih bisa saja. Kenapa tidak. Semua sisa serdadunya kan menuju ke kapal-kapal besar yang sebelumnya membawa mereka dari Tiongkok. Dan dalam keadaan lari tunggang-langgang, kocar-kacir, blingsatan dan bahkan kesasar-sasar itu anggap saja kejadian normal-normalnya orang kalah perang. Tapi tokh yang dituju pada pokoknya kan ke arah kapal samodranya yang berlabuh di pelabuhan Tuban itu. Karena itu sekali lagi, ini bagi saya msl kepemihakan dan penghargaan sikap patriotisme R. Wijaya yang menurut saya patut dihargai dalam peristiwa bersejarah itu dibandingkan dengan sikap agresor Jengis-Khan. Apa mungkin kita memiliki perbedaan sikap dalam masalah patriotisme? Lusi.- > > > 2017-08-21 12:50 GMT+02:00 'Lusi D.' lus...@rantar.de [GELORA45] < > GELORA45@yahoogroups.com>: > > > > > > > Bung kayaknya keberatan untuk menghargai patriotisme R. Wijaya yang > > berhasil mempertahankan tanahairnya terhadap agresor Kubilai-Khan > > yang menganggap penguasa di Singhasari (Kertanegara), karena tidak > > mau tunduk pada kewajiban memberikan upeti sebagai tanda > > ketundukan, lalu kemudian menilainya sebagai barbar? > > > > Am Mon, 21 Aug 2017 10:20:39 +0200 schrieb "kh djie > > dji...@gmail.com [GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com>: > > > > > Seperti e-mail dr. bung Jonathan, sudah didirikan di Trowulan, > > > pusat kerajaan Majapahit, dan diresmikan oleh Danrem setempat : > > > https://tniad.mil.id/2015/01/danrem-082cpyj-resmikan- > > patung-raden-wijaya/ > > > > > >