Pada Senin, 11 September 2017 18:44, "'tmaslam.2...@yahoo.com' via 
forumdiskusi" <diskusifo...@googlegroups.com> menulis:
 

  #yiv8972541870 v\00003a* {}
| 
| Historia.id:Surat dari Amsterdam
Tentang Mawie, Lili dan Romansa Perang Burma
Kisah kecil tentang orang Indonesia yang ikut perang Burma dan bertemu jodoh di 
tengah pertempuran.    Gerilyawan Partai Komunis Burma berjalan kembali ke 
markasnya setelah perundingan damai gagal, November 1963. 
Foto: Yangon Heritage Trust/wikimedia.org.            Bonnie Triyana Senin 11 
September 2017 WIB pengunjung 1.1k #yiv8972541870 #yiv8972541870codet 
img{width:100%;}A ATIGA generasi berkumpul pada rumah yang terletak di jantung 
kota Almere itu. Sebagian besar berbahasa Indonesia, sedikit di antaranya 
terdengar bercakap-cakap dalam berbagai bahasa: Belanda, Cina dan bahkan Rusia. 
Hari itu, Sabtu 9 September yang lalu, mereka berkumpul memperingati enam bulan 
wafatnya seorang suami, ayah, kakek juga kawan yang selalu bersama di dalam 
hari-hari terang maupun kelam hidup berpuluh tahun jauh dari tanah air.Mawie 
Ananta Jonie, seorang penyair sekaligus wartawan yang dikenang hari itu, 
berpulang pada 1 Maret yang lalu. Mungkin namanya tak banyak dicatat dalam 
narasi utama sejarah di Indonesia yang seringkali hanya mengisahkan tokoh-tokoh 
besar beserta drama kehidupannya. Tapi Mawie punya kisahnya sendiri.Terlahir 
sebagai anak Minang dua tahun sebelum Jepang datang menduduki Indonesia. Malang 
melintang sebagai aktivis Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), penyair dan 
wartawan. Pada 1964 berangkat ke Tiongkok untuk tugas belajar namun prahara 
politik 1965 mengubah jalan nasib dari benderang menjadi remang. Semenjak itu 
dia meniti jalan hidup sebagai orang terhalang pulang, mengembara mulai dari 
negeri Tiongkok, Burma dan sejak 1989 bermukim di Belanda.Di tengah-tengah 
acara, seseorang yang hadir dalam peringatan itu berbisik-bisik, “Mawie kuat 
karena ada Lili,” katanya ditingkahi anggukan setuju dari kawan di sebelahnya. 
Siapa Lili? Lili Salawati, istri Mawie, bukan perempuan biasa. Sampai ketika 
dia mengatakannya sendiri, saya tak menyangka kalau dia berasal dari Burma. 
“Maaf bahasa Indonesia saya kurang bagus,” katanya merendahkan diri. Lili 
Salawati nama Indonesia pemberian Mawie.Dalam sambutannya, Lili kembali 
mengenang masa-masa awal pertemuannya dengan Mawie. “Waktu itu dia sering 
datang ke tempat saya, numpang makan. Saya waktu itu tegur dia kok setiap kali 
datang selalu makan,” kata Lili. Rupanya di sanalah cinta Mawie bersemi.“Waktu 
dia bilang cinta sama saya, saya tidak membalas dan tak bisa mengerti itu. 
Bahkan sampai kemudian kami menikah, punya anak, saya belum pernah mengatakan 
cinta padanya,” kata Lili menambahkan.Kesempatan membalas ucapan cinta baru 
terjadi saat suami yang mendampinginya selama berpuluh tahun itu terbaring 
sakit. “Waktu seminggu sebelum dia meninggal, saya bilang sama Mawie, 
bap...saya cinta kamu,” ujarnya disambut riuh tepuk tangan.Lili melanjutkan 
ceritanya tentang sebuah insiden yang nyaris membunuh nyawa sepuluh orang saat 
mereka berada di pedalaman Burma. Kala itu setiap kali musim penghujan tiba, 
sungai mendadak meluap dengan cepatnya. “Orang-orang itu naik gerobak yang 
ditarik sapi hanyut disapu banjir. Mawie lempar bajunya ke arah saya lantas 
loncat sungai selamatkan orang-orang itu. Untuk itu saya berterima kasih betul 
padanya.” Sepuluh nyawa manusia berhasil lolos dari maut berkat Mawie.Lantas 
bagaimana sepasang anak manusia itu bisa bertemu jodoh di Burma? Cerita saya 
dapatkan dari tamu lain. Lili, katanya, komandan kompi tentara perempuan kiri 
yang berafiliasi kepada Partai Komunis Burma ketika pecah perang sipil semasa 
kediktatoran Ne Win. Sedangkan Mawie turut berjuang atas nama solidaritas kaum 
kiri, datang langsung dari Tiongkok yang saat itu baru saja melangsungkan 
revolusi besar kebudayaan proletar. Mereka bertemu di medan perang Burma.Saya 
melihat ini sebuah kisah yang sangat filmis: dengan gambaran letusan senjata 
dan suasana mencekam di sela-sela peperangan. Lukisan romansa masa pertempuran 
itu terekam juga di dalam sebuah puisi karya Mawie untuk memperingati 30 tahun 
pernikahannya yang berjudul Untuk Sebuah Mimpi dan Arti Kata Merdeka.Ketika 
luka luka itu masih terus meradang dengan sakitnya adikku,aku seberangi sungai 
dan panjati puncak puncak gunung negerimu.Ini untuk sebuah mimpi dan arti kata 
merdeka yang diperjuangkan,dan di sini aku pernah bikin janji jika aku mati 
kuburlah tanpa nisan.Waktu itu barisanmu berderap maju tanpa kata 
menyerah,bersemangat sumpah “hutang darah harus dibayar dengan darah”.Orang 
orang boleh saja bermimpi ya adikku tiada yang melarang,tapi kenyataan 
kenyataan lain dari apa yang dirancang.Hari ini adalah hari yang Ke 30 
pernikahan kitadibawah tenda dan senja dengan bunga merah kesumba.Sayup sayup 
terdengar suara tembakan senapan jauh,di lekuk siku jalan cinta kita 
bersauh.Amsterdam, 05/02/2006Usai perang pasangan ini menetap di Tiongkok, 
kemudian mendapatkan suaka politik dari Belanda. Mereka dikarunia dua anak. 
Semua berbahasa Indonesia. “Bapak selalu mengajarkan kepada kami bahwa orang 
Indonesia harus bisa bahasa Indonesia,” ujar anak sulungnya.Hari makin surut. 
Matahari perlahan tenggelam, mengganti hari yang hangat menjadi dingin di awal 
musim gugur. Semua tamu beranjak pergi meninggalkan rumah yang telah dihuni 
oleh “keluarga gerilya” itu selama berpuluh tahun. |
| 
|  |  |

 |

 |
| 
|  |  |

 |



   
  • [GELORA45] Trs: Kisah kec... Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co.id [GELORA45]

Kirim email ke