@Bila berkenan Gayung bersambut...
#Lihat 32 tahun perampasan kekayaan Bumi Pertiwi dan pencerdasan dan 
kesejahteraan rakyat, 

#Lihat 32 tahun Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,


#Lihat 2,5 tahun kerja,kerja kerja!
???????????????

Verzonden via Yahoo Mail op Android 
 
  Op zo, sep. 24, 2017 om 2:10 schreef 'Chan CT' sa...@netvigator.com 
[temu_eropa]<temu_er...@yahoogroups.com>:       


Mantap! Jokowi Uji dan Permalukan Gatot dengan Puisinya
 207 BY ASAARO LAHAGU ON  MAY 28, 2017POLITIK    
https://seword.com/politik/mantap-jokowi-uji-dan-permalukan-gatot-dengan-puisinya/
 
Panglima TNI Gatot Nurmantyo

Gatot Nurmantyo, Panglima TNI, berpuisi. Isinya sebuah kegelisahan maha 
dahsyat. Gatot menangisi sebuah realita terkini di negerinya. Ia selaku 
panglima TNI, risau luar biasa. Kini penduduk negeri zamrud di khatulistiwa 
yang bernama Indonesia itu, setengah terusir. Mereka bukan tuan di atas 
negerinya sendiri. Mereka telah terasing, tersingkir, terdepak dan menjadi 
penonton. Begitulah isi puisi Gatot.
 
Sebelum kita analisa dengan riang-gembira sambil seruput the lemon tanpa gula, 
mari kita simak sepenggal puisi Gatot karangan Denny JA itu.

 
“Lihatlah hidup di desa, sangat subur tanahnya. Sangat luas sawahnya, tetapi 
bukan kami punya. Lihat padi menguning, menghiasi bumi sekeliling. Desa yang 
kaya raya, tapi bukan kami punya. Lihatlah hidup di kota, pasar swalayan 
tertata. Ramai pasarnya, tapi bukan kami punya. Lihatlah aneka barang, dijual 
belikan orang. Oh makmurnya, tapi bukan kami punya”.


Apa arti puisi Gatot itu? Ketika disampaikan di Rapimnas Golkar dan keluar dari 
mulut seorang Panglima TNI, puisi itu bermakna politis. Gatot melempar sebuah 
realita kepada publik bahwa kini Indonesia yang kaya raya itu sudah tidak 
dimiliki oleh rakyatnya sendiri. Ada pihak lain, ada orang lain, yang telah 
menguasainya.
 
Kata ‘kami’ mewakili rakyat banyak, rakyat mayoritas. Rakyat banyak itu pada 
saat ini tidak memiliki lagi sawah subur, desa kaya, pasar ramai dan aneka 
barang yang di jual di bumi Indonesia. “Bukan kami yang punya”, begitu 
penegasan puisi Gatot. Artinya apa?

Rakyat banyak itu sekarang bukan pemilik. Mereka kini hanya sebagai penonton, 
sebagai kuli, buruh, pekerja yang terasing dan tersingkir di negerinya sendiri. 
Mereka sudah tidak punya apa-apa. Mereka bukan tuan atas negeri sendiri. Begitu 
kira-kira pesan filosofis dari puisi Gatot itu. Lalu mengapa hal itu terjadi?

Puisi Gatot itu menyiratkan pesan bahwa pemerintah sekarang ini, dalam hal ini 
Jokowi, tidak berpihak kepada rakyat kecil. Benarkah demikian? Jika pesan puisi 
Gatot ini benar dan diamini sendiri oleh Gatot, maka hal itu sebuah pemahaman 
yang keliru. Siapa yang memerintah selama 10 tahun dan mengabaikan kemakmuran 
rakyat dan hanya sibuk berutang menutupi defisit APBN demi subsidi BBM?

Jokowi sendiri baru 2,5 tahun memerintah. Dalam kurun waktu tersebut, Jokowi 
telah berhasil merebut kembali Freeport dan Blok Mahakam dari tangan asing. 
Jika kita melihat ke belakang, maka betapa Jokowi telah melakukan kebijakan 
yang amat berani ketika ia mengembalikan kedaulatan laut ke tangan Indonesia 
dari pencurian ikan. Lewat menteri Susi, Jokowi mengeluarkan perintah untuk 
menenggelamkan semua kapal pencuri ikan.  Jokowi juga berani melawan para mafia 
di Petral, PSSI, para mafia daging sapi, beras, gula dan seterusnya.
 
Apakah Gatot tutup mata bagaimana Jokowi mati-matian membangun infrastruktur 
yang hampir merata ke seluruh pelosok negeri agar rakyat dapat mengakses pasar 
lebih mudah? Terakhir bagaimana Papua dapat menikmati harga BBM yang sama 
harganya di Jawa. Lalu Jokowi terus membangun berbagai bendungan, membuka lahan 
pertanian yang baru untuk kembali memakmurkan negeri ini.

Setahun terakhir ini, untuk pertama kalinya dalam satu dasawarsa, Indonesia 
berhasil melakukan swasembada beras. Indonesia tidak lagi mengimpor beras. 
Seolah tak kenal lelah,  Jokowi kini sedang berusaha mati-matian untuk 
memberikan puluhan juta sertifikat tanah kepada rakyat Indonesia. Tujuannya 
agar mereka kembali memiliki lahan atas nama mereka sendiri.

Jika puisi Gatot memberikan pesan bahwa rakyat Indonesia yang bukan tuan atas 
negerinya sendiri dan oleh karena itu butuh pemimpin baru yang tegas, maka itu 
bisa dimaklumi. Mungkin Gatot ingin menjadi capres atau cawapres pada Pilpres 
2019 mendatang? Beberapa sinyal untuk itu menyatakan ya. Dan itu sah-sah saja. 
Setiap warga negara berhak menjadi presiden di republik ini karena dijamin oleh 
konstitusi.

Lalu seandainya Gatot menjadi Presiden di republik ini, apakah semudah 
membalikkan telapak tangan memakmurkan rakyat? Semudah membalikkan tangan kah 
menjadikan rakyat banyak memiliki sawah yang subur, desa yang kaya raya, pasar 
swalayan yang ramai dan mampu membeli barang-barang yang sekarang diperjual 
belikan itu?

Apakah seorang presiden bisa merampas begitu saja tanah, rumah dan harta milik 
orang kaya? Lalu mengusir pemilik sawah, pemilik pasar, pemilik aneka barang 
lalu sawah, pasar dan barang itu diberikan kepada rakyat banyak?  Bisa kacau 
negeri ini. Dunia sekarang sangat sensitif. Begitu ada gejolak sedikit saja, 
modal-modal dari dalam negeri langsung berhamburan keluar. Pasar langsung 
bereaksi, bahan-bahan pangan langsung melonjak. Ujung-ujungnya rakyat banyak 
semakin menderita. Hanya satu jalan seperti yang dilakukan Jokowi: bekerja 
keras.

Saya lebih percaya pada lingkaran setan kemiskinan di negeri ini. Ketika 
ditanya kepada seseorang, kenapa anda miskin? Jawabnya kKarena ayah saya 
miskin. Kenapa ayahmu miskin karena kakek saya miskin. Mengapa kakekmu miskin 
karena ayahnya si kakek miskin. Begitulah seterusnya. Penduduk negeri ini 
memang banyak namun tidak berkualitas. Ketika sebuah keluarga dililit 
kemiskinan, maka anak-anaknya kemungkinan besar dilanda juga kemiskinan sampai 
cucu-cicit.

Manusia-manusia Indonesia terkenal santainya, boros waktu dan uang, sibuk pada 
hal-hal yang tidak berguna. Mereka sibuk mengurusi SARA, sibuk 
mengkafir-kafirkan orang. Situasi bertambah parah ketika pada usia muda sudah 
gemar kawin, lalu cerai, kawin lagi, cerai lagi. Jika ada harta sedikit saja, 
maka manusia Indonesia mulai berpikir untuk menambah satu isteri. Ada duit 
lagi, nambah isteri. Begitu seterusnya. Lalu jika sudah sukses menjabat, maka 
mereka belajar korupsi, belajar menilap uang negara dengan berbagai cara.

Atas dasar situasi di atas, maka sebetulnya puisi Gatot itu bisa dimaknai telah 
menohok dirinya sendiri. Jika Indonesia sekarang bukan tuan atas negerinya 
sendiri, hal itu karena adanya mental korup bagi para pejabatnya. Mereka dengan 
mudah disuap, dibeli oleh asing dan aseng. Kolusi, korupsi dan nepotisme di 
antara para pejabat-pengusahapun ibarat cinta maut. Ada kerja sama antara 
pejabat dan pengusaha. Masih ingatkah isi percakapan Reza Chalid dan Setya 
Novanto yang akan membeli jet pribadi, lalu bersenang-senang main golf jika 
renegoisasi Freeport berhasil?

Mungkin kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Beberapa hari yang lalu para 
pejabat BPK tertangkap tangan oleh KPK karena memperjual-belikan opini WTP. Ini 
contoh mental pejabat yang membuat rakyatnya menderita. Biarpun banyak korupsi 
anggaran dan tidak dirasakan efeknya oleh rakyat, tetap saja lembaga yang 
dimaksud mendapat WTP dari BPK.

Maka sangat tepatlah jika Jokowi menguji kehebatan Gatot yang berani berpuisi 
itu. Bersihkan korupsi di tubuh TNI. Habisi permainan dalam pengadaan dan 
pembelian alutsista yang dikenal sebagai ‘lahan basah’ di masa lampau. Lakukan 
apa yang anda puisikan. Untuk mengembalikan rakyat menjadi tuan atas negerinya 
sendiri, habisi jenderal korup. Begitu kira-kira perintah Jokowi kepada Gatot. 
Lalu apa reaksi Gatot?

Gatot tak berdaya. Ia sudah berpuisi. Ia malu karena di tubuh TNI sendiri, ada 
korupsi besar. Kini setelah puisinya viral ditambah perintah dari Jokowi agar 
Gatot menerjemahkan sendiri puisinya itu di tubuh TNI, Gatotpun dipaksa garang. 
Tak ada pilihan lain. Puisi telah dilantukan.

Kini Gatot harus bekerja sama dengan KPK menghabisi oknum para jenderap yang 
korup dan mengusut keterlibatan beberapa perwira TNI yang terlibat dalam 
pembelian helicopter Apache dan jet tempur F-16. Untuk sementara, sudah ada 
tiga tersangka dari kalangan perwira TNI dengan kerugian negara sebesar Rp 220 
miliar. Ini jelas memalukan.

Untung Gatot berpuisi. Lewat puisinya, Jokowi langsung menguji kehebatan Gatot 
untuk menerjemahkan puisi itu sendiri dengan membersihkan TNI dari korupsi. 
Mantap.

Salam Seword,
 
Asaaro Lahagu
  #yiv8822359332 #yiv8822359332 -- #yiv8822359332ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-mkp #yiv8822359332hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-mkp #yiv8822359332ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-mkp .yiv8822359332ad 
{padding:0 0;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-mkp .yiv8822359332ad p 
{margin:0;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-mkp .yiv8822359332ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-sponsor 
#yiv8822359332ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-sponsor #yiv8822359332ygrp-lc #yiv8822359332hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-sponsor #yiv8822359332ygrp-lc .yiv8822359332ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv8822359332 #yiv8822359332actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv8822359332
 #yiv8822359332activity span {font-weight:700;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv8822359332 #yiv8822359332activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv8822359332 #yiv8822359332activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv8822359332 #yiv8822359332activity span 
.yiv8822359332underline {text-decoration:underline;}#yiv8822359332 
.yiv8822359332attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv8822359332 .yiv8822359332attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv8822359332 .yiv8822359332attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv8822359332 .yiv8822359332attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv8822359332 .yiv8822359332attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv8822359332 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv8822359332 .yiv8822359332bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv8822359332 
.yiv8822359332bold a {text-decoration:none;}#yiv8822359332 dd.yiv8822359332last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv8822359332 dd.yiv8822359332last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv8822359332 
dd.yiv8822359332last p span.yiv8822359332yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv8822359332 div.yiv8822359332attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv8822359332 div.yiv8822359332attach-table 
{width:400px;}#yiv8822359332 div.yiv8822359332file-title a, #yiv8822359332 
div.yiv8822359332file-title a:active, #yiv8822359332 
div.yiv8822359332file-title a:hover, #yiv8822359332 div.yiv8822359332file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv8822359332 div.yiv8822359332photo-title a, 
#yiv8822359332 div.yiv8822359332photo-title a:active, #yiv8822359332 
div.yiv8822359332photo-title a:hover, #yiv8822359332 
div.yiv8822359332photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv8822359332 
div#yiv8822359332ygrp-mlmsg #yiv8822359332ygrp-msg p a 
span.yiv8822359332yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv8822359332 
.yiv8822359332green {color:#628c2a;}#yiv8822359332 .yiv8822359332MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv8822359332 o {font-size:0;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332photos div {float:left;width:72px;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332photos div div {border:1px solid 
#666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv8822359332
 #yiv8822359332reco-category {font-size:77%;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332reco-desc {font-size:77%;}#yiv8822359332 .yiv8822359332replbq 
{margin:4px;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-mlmsg select, #yiv8822359332 input, #yiv8822359332 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-mlmsg pre, #yiv8822359332 code {font:115% 
monospace;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-mlmsg #yiv8822359332logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-msg 
p#yiv8822359332attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-reco #yiv8822359332reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-sponsor 
#yiv8822359332ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-sponsor #yiv8822359332ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-sponsor #yiv8822359332ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv8822359332 #yiv8822359332ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv8822359332 
#yiv8822359332ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv8822359332   

Kirim email ke