Peristiwa berdarah G30S 52 tahun silam itu masih banyak pertanyaan misteris 
yang sulit mendapatkan jawaban pasti, ... dan, tentunya makin lama tertunda 
akan makin kesulitan mendapatkan data-data kuat untuk membuktikan keakuratannya!

Kalau saja dikatakan PENCULIKKAN 7 jenderal itu atas perintah Presiden 
Soekarno, tentu harus lebih dahulu dijawab KENAPA Soekarno harus keluarkan 
perintah penculikkan itu? Kalau saja Soekarno TIDAK SUKA atau tidak percaya 
pada Yani, bukankah Soekarno bisa menggantikan dengan prosedur sah? Kenapa 
harus gunakan jalan menculik! Apalagi melihat jiwa Soekarno yang lemah, takut 
pertumpahan darah itu agak sulit rasanya penculikan itu keluar dari mulut 
Soekarno, ... sedang dari anak-anak jenderal Yani, kita dengar suara justru 
presiden Soekarno memberi kepercayaan penuh pada jenderal Yani, dan dari 
ayahnya itu mereka dengar ayah nya sudah disiapkan jadi Presiden untuk 
menggantikan Soekarno, ...!

Kedua, kalau saja masalahnya hanya pada jenderal Yani yg dianggap “PENGHALANG” 
utama pembentukan Angkatan ke-5, dan Dwikora, kenapa pula tidak merasa CUKUP 
dengan menculik Yani seorang, tapi harus menculik 6 jenderal lainnya? Apa 
dengan diperluas menculik 7 jenderal itu, Dwikora baru bisa melaju lancar? 

Rasanya masih lebih mantap analisa Soebandrio, ... G30S itu merupakan langkah 
kudeta-merangkak yang dijalankan jenderal Soeharto. Penculikkan 7 jenderal, 
yang lebih senior dari dirinya itu, merupakan langkah pembuka jalan lapang bagi 
dirinya utk naik jenjang tertinggi di TNI! Sedang penculikan terjadi 
“kecelakaan” 3 jenderal terbunuh disaat menculikkan dirumah masing2, dan 4 
jenderal dibunuh di sumur Lubang Buaya itu diakui Syam atas perintahnya! Lalu, 
pertanyaannya, siapa sesungguhnya orang diatas Syam itu? Soeharto atau Aidit? 
Kalau Aidit, kenapa pula Syam bisa memerintahkan Aidit tetap melanjutkan 
rencana perjalanan terbang ke Jogya, saat Aidit juga akan batalkan setelah 
mengetahui Soekarno tidak hendak terbang ke Jogya?

Bukankah ini akan mendekatkan dugaan sebenarnya ditangan jenderal Soeharto 
itulah KOMANDO tertinggi G30S! Hanya dengan dugaan TONGKAT KOMANDO ditangan 
jenderal Soeharto lah, bisa menjawab terjadi kejanggalan mengapa letkol. Untung 
bisa membawahi kol. Latief dan Berjen Supardjo yang lebih tinggi pangkat 
kemiliterannya. Bagaimanapun juga G30S merupakan gerakan militer, bukan gerakan 
politik lagi, agak sulit menerima alasan karena posisi Untung di PKI yang lebih 
menentukan, ... sebagai komisari politik tetap tidak memimpin operasi militer!

Dan, ... melihat KEDEKATAN jenderal Soeharto dengan Syam dan Untung sejak jaman 
Revolusi Jogya itu, apa yang dinyatakan Soebandrio dalam wawancara dengan 
Majalah Adil ada BENARNYA, jenderal Suharto memang PKI! Jenderal Suharto itulah 
DALANG G30S sesungguhnya! Dan karena G30S merupakan gerakan militer, sedang 
Aidit sepenuhnya mempercayakan dan menyerahkan tangkat komando pada jenderal 
Suharto yg juga PKI itu! Dan, karena jenderal Suharto berada dibelakang layar, 
semua komando dikeluarkan melalui Syam, ... terjadi lah keanehan yang kita 
lihat, Aidit yang ketua PKI tetap TUNDUK pada perintah Syam untuk meneruskan 
rencana terbang ke Jogya.

Kemudian juga ada suara cukup kencang, itu tokoh-tokoh PKI yang dipenjarakan 
merasa bergembira, mereka memperkirakan segera akan dibebaskan, ... saat 
mengetahui di MPRS tahun 1967, jenderal Suharto dinobatkan pejabat Presiden, 
BUKAN jenderal Nasution! Bahkan letkol Untung masih berilusi, vonis HUKUMAN 
MATI yang dijatuhkan MAHMILUB tidak akan dieksekusi, akan dapatkan GRASI 
Presiden Suharto! Ternyata TIDAK! Semua tertipu! Tertipu oleh jenderal Suharto 
yang licik dan ternyata bermuka dua itu! Bermain diatas 2 perahu! Disatu sisi 
jenderal Suharto bersimpati pada G30S, bahkan menjadi PENDUKUNG dibelakang 
(begitu yang diketahui umum) yang jelas mendatangkan 2 batalyon atas perintah 
nya sendiri, yaitu Yon-454 dan Yon-530 dengan perlengkapan senjata lengkap 
SIAP-TEMPUR ke Jakarta, ... dan ternyata dari 2 batalyon inilah kekuatan induk 
G30S itu!

Dan, ... ada juga suara dari penjara yang lebih PENTING, seorang tokoh PKI yang 
sempat bertemu dengan Aidit dalam pelarian/persembunyian di Jateng sesaat 
sebelum tertangkap, disamping menyampaikan kesan melihat DN Aidit dalam 
kebingungan tidak tahu apa yang harus diperbuat, juga menyatakan “Kita tertipu, 
...!” Tentu maksud Aidit, kita tertipu jenderal Suharto!

Yaa, ... semua dugaan-dugaan sebagai kemungkinan, makin lama akan menjadi lebih 
SULIT menemukan data akurat untuk membuktikan kebenarannya, inilah TUGAS BERAT 
dipundak pekerja sejarah anak bangsa untuk bergerak lebih CEPAT meneliti lebih 
lanjut secepat mungkin, syukur masih bisa menemui tokoh-tokoh terlibat yang 
bisa memberikan keterangan lebih konkrit.

Salam,
ChanCT


From: ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45] 
Sent: Monday, October 2, 2017 12:31 AM
To: GELORA45@yahoogroups.com 
Subject: Re: [GELORA45] Nasib Buntung Letkol Untung Usai G30S

  

Lama tidak terdengar pertanyaan berani ini. 



Dulu, banyak teori yang dibangun untuk mengungkap misteri 

perintah kepada Untung. Diantaranya dari Salim Said yang 

cenderung melihat perintah untuk menculik jenderal AD memang 

datang dari presiden / Pangti. Argumennya sederhana tetapi 

cukup logis, tidak ada yang bisa memerintah satuan kawal presiden 

selain komandan satuan dan presiden sendiri. Sedangkan tujuan 

penculikan, menurut banyak teori, adalah untuk menekan para 

jenderal AD terutama A. Yani, agar tetap setia kepada presiden 

dan AD mendukung penuh Dwikora.


Menurut Salim, dalam operasi penculikan terjadi "kecelakaan" 

yang menyebabkan beberapa jenderal terbunuh. Banyak teori sejenis 

dengan berbagai varian termasuk teori kebocoran itu hanya saja 

tidak ada yang bisa berteori siapa sebenarnya yang memerintahkan 

untuk sekalian menghabisi jenderal yang masih hidup ketika 

tiba di Lubang Buaya. 



Yang masih misteri sebenarnya, kapan persisnya Bung Karno 

mengungsi ke Halim, kenapa tidak bertahan di istana atau di 

rumah Dewi? Apa betul Halim / Lubang Buaya memang disiapkan 

sebagai tempat untuk mengintimidasi jenderal AD? Apa iya 

Bung Karno seceroboh itu, mau memarahi jenderal AD di wilayah 

angkatan lain (AU)? 



--- zeta_roza@... wrote:


#PERTANYAANYA ADALAH MISTERI... 


@LetKol Untung BRRTINDAK atas "perintah" SIAPA;  Tentu dari atasannya..hingga 
yang tertinggi kah? PangTI.,,
@LetKol Untung  AD Cakrabirawa Pengawal Presiden RI sudah "MELSPORKAN TUGAS 
MISInya" kepada SIAPA;  Tentu kepada atasannya../lalu ke "pada" siapa lagi kah? 
Kemudian ke- yang -tertinggikah.? 
@Misi Letkol Untung UNTUK Penyerahan kepada Presiden Soekarno sebagai "USAHA" 
menyelamatkan para Jendral [??] hingga dapat "bertemu" dengan Presiden RI 
Soekarno [???], karena para jendral tsb sebagai pelindung teratas Presiden RI, 
presiden adalah Kepala Negara simbolis keamanan warga negeri sebagai PangTi..
@Apakah Misi LetKol Untung tsb TELAH TERJADI KEBOCORAN SEHINGGA "Telah 
didahului" "oleh" untuk tujuan di-eksekusi-kan? [....????] 

MISTERI.. 


≥>>>>>>>>>>>>>>

Verzonden via Yahoo Mail op Android


  Op zo, okt. 1, 2017 om 10:22 schreef SADAR@...:
  Nasib Buntung Letkol Untung Usai G30S
  https://tirto.id/nasib-buntung-letkol-untung-usai-g30s-cxuD
  Letkol Untung Syamsuri dibawa ke Mahmilub. FOTO/Wikimedia Commons

  Reporter: Petrik Matanasi

  01 Oktober, 2017

  · Letnan Kolonel Untung penerima Bintang Sakti itu membawa pasukannya di 
Cakrabirawa untuk G30S

  · Setelah G30S Untung apes, dia sempat digebuk massa dan diringkus Hansip 
lalu dihukum mati

  Letnan Kolonel (Letkol) Angkatan Darat Untung bin Sjamsuri adalah penerima 
Bintang Sakti atas aksinya dalam Operasi Trikora di Irian. Setelah memimpin 
G30S dia bernasib apes dan menemui ajal di depan regu tembak.
  tirto.id - Sersan Mayor Bungkus masih ingat apa yang dialaminya pada 30 
September 1965. Seperti diakuinya dalam artikel The World of Sergeant-Major 
Bungkus: Two Interviews with Benedict Anderson and Arief Djati—yang dimuat di 
jurnal Indonesia edisi Oktober 2004 volume 78 terbitan Universitas Cornell, 
“Sore hari tanggal 30 September (1965), saya diberi pengarahan oleh komandan 
kompi saya.” 

  Sang komandan kompi C dari Batalyon Kawal Kehormatan (KK) I Cakrabirawa, yang 
sangat dikenal Bungkus itu, adalah Letnan Satu Dul Arif. Dalam apel malam, Dul 
Arif hanya bisa memperoleh 60 anggota. Pasukan itu lalu bergerak ke kawasan 
Lubang Buaya, Jakarta Timur. 

  “Komandan Batalyon kita (Letnan Kolonel Untung) telah menugaskan saya 
memegang unit Cakra berangkat dalam sebuah misi. Ada kelompok jenderal yang 
disebut Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Presiden Sukarno,” kata Dul Arif 
seperti ditirukan Bungkus. 

  Tugas Cakrabirawa tak lain melindungi Presiden Sukarno. Dari ucapan Dul Arif 
itu, para pasukan tentu merasa bahwa para jenderal itu musuh besar mereka. 
Sehingga tak heran saat dalam penculikan, yang dikenal sebagai peristiwa 
Gerakan 30 September 1965 (G30S). Pasukan Cakrabirawa tidak ragu menembak 
jenderal yang mereka bawa. 

  Baca Juga: Cerita Seputar Para Penculik G30S

  Pada malam 30 September 1965 itu, Letnan Kolonel Untung sang komandan 
Batalyon KK I Cakrabirawa ikut mengawal Presiden Sukarno di acara musyawarah 
nasional ahli teknik di Senayan. Presiden berada di Senayan hingga pukul 23.00 
malam. Setelah itu, Untung berangkat ke Lubang Buaya, dekat Pangkalan Udara 
Halim Perdanakusuma untuk melihat pasukan. 

  Dini hari 1 Oktober 1965, pasukan pun berangkat menculik jenderal-jenderal 
Angkatan Darat yang dianggap sebagai Dewan Jenderal. Ada enam jenderal dan satu 
Letnan berhasil ditangkap hingga berakhir di sebuah sumur tua di Lubang Buaya.

  Paginya, pada 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Untung yang pendiam dan dianggap 
buta politik itu, dalam siaran Radio Republik Indonesia (RRI, tersebut sebagai 
Ketua Dewan Revolusi. Di mana anggota-anggota Dewan Revolusi itu adalah 
orang-orang terkemuka yang tak semuanya komunis. Untung menjadi satu-satunya 
penandatangan dokumen Dewan Revolusi itu. Aksinya tak hanya soal malam jahanam 
itu, karena sebelumnya Untung menorehkan sejarah soal dirinya.

  Letnan Kolonel Untung adalah pemegang Bintang Sakti, seperti juga Benny 
Moerdani, atas aksinya pada 1962 dalam Operasi Trikora melawan tentara Belanda 
di Papua Barat. Intinya, Untung sempat punya nama baik sebelum 30 September 
1965. 

  Baca Juga: 

  a.. Bintang Sakti Untung Sjamsuri dan Benny Moerdani 
  b.. Soepardjo Jenderal Angkatan Darat dalam G30S

  Untung memang tak seberuntung namanya, ia jadi pemimpin gerakan kudeta yang 
gagal. “Untung bertubuh pendek kekar dan berleher gemuk, memperlihatkan 
stereotip seorang prajurit,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal 
(2008). 

  Ia hanya bisa diandalkan bertempur seperti di Sumatera waktu menghajar PRRI 
dan di Papua Barat dalam Trikora, tapi tidak untuk berpolitik. Audrey Kahin 
dalam karyanya Dari Pemberontakan ke Integrasi(2005) menyebut orang-orang di 
Sumatera Barat, heran mengetahui Untung yang pendiam dan tidak populer memimpin 
sebuah kudeta G30S itu. 

  Untung memang dilahirkan untuk menjadi tentara. Laki-laki bernama asli Kusman 
ini, seperti ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & 
Petualang (2010), pernah jadi pembantu tentara Jepang (Heiho) di zaman Jepang, 
waktu umurnya belum 20 tahun. 

  Ketika Peristiwa Madiun 1948, ia masih berpangkat Sersan Mayor. Pada 1950-an, 
ia pernah jadi bawahan Suharto sebagai Letnan dalam Batalyon Sudigdo di Kleco, 
Solo. Pangkatnya naik bertahap sejalan jam tugasnya sebagai prajurit. Waktu 
penumpasan PRRI, sekitar 1958, pangkatnya masih Letnan Satu. Ia langsung naik 
jadi Kapten usai tugas pulang dari Sumatera. Ia kemudian jadi Mayor pada 1962 
dan jelang 1965 sudah berpangkat Letnan Kolonel. 

  Saat bertugas ke Irian Barat, ia memimpin pasukan Banteng Raider dari 
Batalyon 454 Srondol Kodam Diponegoro Jawa Tengah. Untung sempat jadi Komandan 
Batalyon di sana, menggantikan Letnan Kolonel Ali Ebram, yang dianggap pengetik 
Supersemar. Sebagian pasukan Raider dari Srondol ada yang ditarik sebagai 
Resimen Cakrabirawa. 

  Pasukan yang sempat di Banteng Raider masuk dalam Batalyon KK I Cakrabirawa 
yang dipimpin Untung. Banteng Raider adalah pasukan elit yang didirikan Ahmad 
Yani yang juga menjadi korban penculikan G30S. Di antara pasukan penculik G30S 
sebagian berasal dari Banteng Raider. 

  share infografik

  Baca Juga: Kiprah dan Tragedi Para Perwira Banteng Raider

  Bintang kehidupan Untung mulai suram sejak 1 Oktober 1965. Sebagai sosok yang 
sangar secara militer, Untung tergolong apes terkait peristiwa penangkapannya. 
Untung yang menghilang setidaknya sejak 2 Oktober 1965. Pada 11 Oktober 1965 
berusaha kabur ke sekitar Jawa Tengah dan dia berada dalam sebuah bus. Di 
Tegal, bus yang ditumpangi rupanya dimasuki tentara yang tak dikenal olehnya. 

  Namun, ia tak mau kena ciduk oleh tentara yang naik, ia memutuskan melompat 
dari bus. Sialnya tubuhnya menghantam sebuah tiang listrik. Kesialannya makin 
bertambah, saat orang-orang di sekitar tempat mengira dirinya adalah copet. 
Untung sempat digebuki massa. Menurut Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan 
Orang Bandel (2009), Untung tetap mencoba menunjukkan gengsi sebagai perwira. 
Untung memposisikan diri sebagai orang yang tak takut pada siksaan yang akan 
menimpanya. 

  Awal 1966, Untung diadili oleh sebuah pengadilan luar biasa dalam sejarah 
Indonesia, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Ruang sidangnya pun bukan di 
gedung pengadilan Kementerian Kehakiman melainkan Gedung Badan Perencanaan 
Pembangunan Nasional (Bappenas) di dekat Taman Suropati, Menteng, Jakarta 
Pusat. 

  Dalam pengadilan Untung, Gumuljo Wreksoatmodjo SH bertindak sebagai pembela. 
Ketua Mahmilub yang mengadili Untung adalah Letnan Kolonel CHK Soedjono 
Wirjohatmodjo SH dengan hakim anggota: Letnan Kolonel Udara Zaidun Bakti; Ajun 
Komisaris Besar Drs Kemal Mahisa SH; Mayor AL Hasan Basjari SH; Mayor tituler 
Sugondo Kartanegara. Oditur yang menuntut perkara itu adalah Letnan Kolonel 
Iskandar SH. Mitzi Tendean, kakak dari Kapten Pierre Tendean hadir dalam 
persidangan. 

  Berkas-berkas pengadilan dibukukan dan jadi sebuah karya yang berjudul 
Gerakan 30 September di hadapan Mahmilub: Perkara Untung (1966). Dalam laporan 
ini, pekerjaan Untung adalah Letnan Kolonel Infanteri (Angkatan Darat) Komandan 
Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa dan berdasar Keputusan Presiden/Pangti 
ABRI/KOTI/nomor 171/KOTI/1965 per 4 Desember 1965 diberhentikan tidak hormat 
dari pangkat dan jabatannya dalam dinas ketentaraan terhitung mulai 30 
September 1965. 

  Dalam persidangannya, Untung sempat menyebut: “Kolonel Latief yang menyatakan 
tentang kesulitan daripada ekonomi prajurit, dan pada umumnya 
keterangan-keterangan itu dibenarkan oleh yang hadir yakni saya sendiri 
(Untung), Kapten Wahjudi dan juga Mayor Udara Sujono termasuk Sjam 
(Kamaruzaman) dan Pono.” Itu yang ingat Untung dalam rapat terkait G30S pada 19 
Agustus 1965. 

  Semula, menurut Subandrio dalam buku Kesaksianku tentang G-30-S (2000), 
Untung yang sempat ditahan di Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Cimahi, punya 
keyakinan dia tak bakal dihukum mati. Ia yakin Soeharto bakal membebaskannya. 

  Namun, pada 6 Maret 1966, Mahmilub memberi vonis: Hukuman Mati kepada Untung. 
Esoknya dibuat surat keputusan dari Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan 
Jenderal Soeharto, menyetujui keputusan dan eksekusi mati terhadap Untung. 
Pembelanya sempat minta grasi agar tak dihukum mati. Grasi tak datang padanya 
tapi hukuman mati yang menghampirinya. 

  Menurut Subandrio, “Saat itu dia sudah selesai ditanya permintaan 
terakhirnya, seperti lazimnya orang-orang yang akan menjalani eksekusi mati. 
Mungkin karena sedang panik, dia malah tidak minta apa-apa.” 

  Baca juga artikel terkait G30S PKI atau tulisan menarik lainnya Petrik 
Matanasi 

  (tirto.id - pet/dra)





Kirim email ke