Entah bagaimana cara memilih dan menemukan 2 KORBAN yang akan dipertemukan 2 
anak Pahlawan Revolusi ini, saya tidak tahu. Tapi, menurut saya, ada baguuusnya 
juga membuktikan KESERAMPANGAN Pemerintah ketika itu, bukan saja main FITNAH 
PKI DALANG G30S, tapi juga serampangan dalam menangkap orang! Jelas Soemini 
sekalipun anggota GERWANI, tapi saat 1 Oktober 1965 sedang berada di Bogor! 
Jadi, menangkapi orang hanya karena tokoh bahkan anggota GERWANI adalah 
KESALAHAN serius yang merupakan kekejaman kemanusiaan, ... menangkap Moh. Tarup 
yang bukan apa-apa tentu lebih salah lagi! Entah kekejaman apa namanya yang 
dilakukan Pemerintah jenderal Suharto ketika itu! Dan, ... ternyata setelah 
lewat 52 tahun Pemerintah berikut yang berkuasa boleh saja menghindari 
tanggungjawab yg harus dilakukan! 

Tanpa keharusan mengakui Pemerintah terdahulu pernah melakukan kejahatan, 
KESALAHAN pelanggaran HAM, bahkan TIDAK HENDAK menyatakan minta maaf pada 
KORBAN, ...! Dan, ... sampai sekarang BELUM PERNAH ada sikap TEGAS Pemerintah 
untuk MEREHABILITASI para KORBAN-KORBAN yg jumlahnya ratusan ribu kalau tidak 
hendak dibilang jutaan yang diperlakukan semena-mena, dianiaya, dipenjarakan 
bahkan dibantai, dan semua dilakukan TANPA proses hukum!

Sungguh KETERLALUUAAAN, ...!

Salam,
ChanCT



From: jonathango...@yahoo.com [GELORA45] 
Sent: Wednesday, October 4, 2017 12:34 AM

  




Dia memulai dengan memperkenalkan diri. Kemudian Moh Tarup menceritakan bahwa 
dirinya tahun 1965 hanyalah kuli. Kehidupannya sangat sederhana karena memang 
dulu hanya mengenyam Sekolah Rakyat. Dia ditangkap lantaran bosnya diduga 
anggota PKI hilang bersembunyi. Di rumah itu hanya ada Moh Tarup. Dia lalu 
ditangkap. Karena dituduh sebagai bagian dari PKI. 

Selama menjalani hukumannya, Moh Tarup menceritakan kerap disiksa dan disuruh 
bekerja secara paksa. Setelah dibebaskan, dia harus tetap wajib lapor tiap 
pekan ke Koramil. Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya pun diberi tanda ET, 
berarti mantan tahanan politik. Bahkan di usia senjanya, dia diawasi aparat 
negara.





...

Makan malam bersama Gerwani dan anak Pahlawan Revolusi
Minggu, 1 Oktober 2017 08:00Reporter : Anisyah Al Faqir, Angga Yudha Pratomo
Gerwani bertemu anak jenderal. ©2017 Merdeka.com/dwi narwoko


Merdeka.com - Pandangan Soemini sesekali menengok ke arah jendela. Dua 
tangannya mendekap. Diletakkan di atas paha. Jari-jemarinya tak bisa diam. 
Tatapannya agak sendu. Di dalam mobil lebih banyak diam. Hanya sesekali 
menanggapi pembicaraan. 

Dia mantan anggota Gerakan Wanita (Gerwani), organisasi dimiliki Partai Komunis 
Indonesia (PKI). Kami mengajaknya ke Jakarta dari Pati, Jawa Tengah. Tujuannya 
sederhana. Mempertemukan dia dengan anak Pahlawan Revolusi untuk rekonsiliasi. 
Pertemuan diatur rapih. Di sebuah restoran kawasan Jakarta Pusat. Kami 
memfasilitasi.

Soemini datang didampingi Moh Tarup, eks tahanan politik. Usia mereka sudah 
sepuh. Di atas 70 tahun. Kami menjemput mereka di Pati. Selanjutnya menuju 
Semarang, memakan waktu tiga jam. Kami lalu naik kereta dari Stasiun Semarang 
Tawang menuju Ibu Kota.

Dua anak jenderal Pahlawan Revolusi sebelumnya sudah bersedia menemui. Adalah 
Agus Widjojo dan Catherine Panjaitan. Mereka anak Brigjen Sutoyo Siswomihardjo 
dan Donal Issac (DI) Pandjaitan. Agus dan Catherine memang sudah dikenal lebih 
terbuka dalam masalah ini. Hari Kamis, 28 September 2017 pada jam 5 sore, 
akhirnya dipilih. Keduanya sepakat bertemu Soemini.

Tanggal 28 September 2017, pukul 4 pagi. Soemini dan Moh Tarup tiba di Jakarta. 
Kami menjemput di Stasiun Gambir. Mereka langsung kami antar ke hotel bintang 
dua bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Melanjutkan istirahat.

Pukul 1 siang, kami kembali menjemput Soemini dan Moh Tarup di hotel. Lalu 
mengajak keduanya ziarah ke Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan. 
Siang itu Soemini mengenakan batik cokelat dan celana panjang berwarna cokelat. 
Sebuah selendang dikalungkan ke lehernya. Rambutnya diikat sebagian. Meski 
sudah berusia lanjut namun tak banyak uban terlihat di rambutnya. Langkahnya 
pun pelan memasuki tempat pertemuan. Sedangkan Moh Tarup memakai batik hijau 
lengan panjang.

Tujuh makam Pahlawan Revolusi kami sambangi. Tangisan mendadak pecah dari mata 
Soemini di depan makam Jenderal Ahmad Yani. Dia mengirim doa. Lalu berdiri 
menaburkan bunga. Kemudian melanjutkan ke makam para Pahlawan Revolusi lainnya.

Ini pengalaman pertama mereka mendatangi makam para Pahlawan Revolusi korban 
peristiwa 30 September 1965. Selama ziarah, Soemini mengaku tak kuat menahan 
kesedihan. "Seperti merasakan ada sosoknya dekat di diri kita," ucap Soemini 
kepada kami.

Langkah Soemini sebenarnya mulai lemah. Dia sudah diingatkan dokter agar tidak 
berjalan terlalu lama. Tapi tidak ketika berziarah. Dia begitu semangat. Mesti 
harus dipandu bila tengah menaiki anak tangga.

Setengah jam kemudian, ziarah usai. Kami sengaja beristirahat sejenak. Mencari 
tempat makan di sekitar Tebet, Jakarta Selatan. Karena siang itu cuaca cukup 
cerah. Sambil menunggu waktu pertemuan dengan para anak jenderal Pahlawan 
Revolusi. Sekitar pukul 3 sore, kami langsung menuju lokasi pertemuan.



Soemini dan Moh Tarup tiba di lokasi setengah jam lebih awal. Kami kembali 
mengajaknya beristirahat. Sambil minum teh manis hangat. Wajah Soemini terlihat 
mulai gugup. Waktu pertemuan semakin dekat. Kami lantas mengajak mereka ruangan 
pertemuan. Naik lift ke lantai 3. Namun, keduanya tiba-tiba berpapasan dengan 
Agus Widjojo. Mereka kaget. Ini pertemuan pertama mereka. Kami memperkenalkan 
keduanya kepada Agus. Sedangkan Catherine sudah menunggu di ruangan.

Tepat pukul 5 sore pertemuan berlangsung. Tiba di ruangan, Soemini kembali 
kaget. Dia senang bisa bertemu dengan Catherine. Mereka berpelukan. Suasana 
semakin hangat dan cair. Dalam ruangan, Soemini dan Moh Tarup duduk 
bersebelahan. Mereka satu meja makan berbentuk bulat bersama Agus dan 
Catherine. Selain itu juga hadir Ketua Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) 
Suryo Susilo dan Mayang Pandjaitan, putri Catherine sekaligus cucu DI 
Pandjaitan. Hadir pula Pemimpin Redaksi merdeka.com, Wens Manggut di tengah 
mereka.

Soemini diberikan kesempatan pertama berbicara. Hanya satu keinginannya bertemu 
anak jenderal Pahlawan Revolusi. Menjelaskan bahwa dirinya tak pernah ikut 
membunuh Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya ketika peristiwa kelam 1 Oktober 
1965.

"Saya dituduh ikut membunuh jenderal, mencungkil mata dan menyayat penis 
mereka. Itu tidak benar," kata Soemini dalam pertemuan itu. Selanjutnya 
pembicaraan berlangsung santai. Soemini mengaku tak percaya bisa bertemu dengan 
anak para Jenderal. Suasana pun menjadi haru.

Dia melanjutkan menceritakan kehidupannya dulu dan sekarang. Masa kelamnya 
ketika itu, Soemini mengaku pernah ditahan tanpa diadili selama 6,5 tahun. 
Sebagai anggota Gerwani, dia pernah menjabat Ketua ranting Gerwani Desa 
Ngerandu, Pati.

Keterlibatannya dalam organisasi Gerwani membuatnya ikut dituduh sebagai pelaku 
pembunuhan enam jenderal dan satu perwira. Padahal saat kejadian, Soemini 
tengah berada di Bogor untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

"Saya memang ikut Gerwani, jujur. Saya ikut Gerwani itu tidak karena paksaan," 
ungkap Soemini.

Mendapatkan kesempatan bertemu dan berbincang dengan Agus dan Catherine, 
Soemini pun tak kuasa menahan air mata. Tangisannya kembali pecah. Sebab selama 
ini dia hanya bisa membayangkan bertemu sedekat ini.

Meski merasa korban, namun dari kaca matanya, Soemini merasa para anak jenderal 
senasib. Apalagi mereka menyaksikan bagaimana ayahnya dibunuh di depan mata.

"Mari kita bersama-sama mengisi kemerdekaan itu bersama-sama. Mari kita selalu 
bergandengan tangan, kita lepaskan dan kita merajut kembali kebersamaan dan 
kita lepaskan itu hal-hal yang dulu, itu harapan kami," ujar Soemini mengakhiri 
pernyataannya sambil mengelap tisu ke mata.

Selanjutnya satu per satu diberikan kesempatan berbicara. Moh Tarup giliran 
selanjutnya. Sebelum berbicara, Tarup membenarkan posisi duduk. Kedua tangannya 
mendekap di atas meja.

Dia memulai dengan memperkenalkan diri. Kemudian Moh Tarup menceritakan bahwa 
dirinya tahun 1965 hanyalah kuli. Kehidupannya sangat sederhana karena memang 
dulu hanya mengenyam Sekolah Rakyat. Dia ditangkap lantaran bosnya diduga 
anggota PKI hilang bersembunyi. Di rumah itu hanya ada Moh Tarup. Dia lalu 
ditangkap. Karena dituduh sebagai bagian dari PKI. 

Selama menjalani hukumannya, Moh Tarup menceritakan kerap disiksa dan disuruh 
bekerja secara paksa. Setelah dibebaskan, dia harus tetap wajib lapor tiap 
pekan ke Koramil. Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya pun diberi tanda ET, 
berarti mantan tahanan politik. Bahkan di usia senjanya, dia diawasi aparat 
negara.

"Kemarin-kemarin itu saya didatangi intel, katanya (punya) kaos palu arit. Saya 
bilang di desa saya tidak ada palu arit," cerita Moh Tarup. Meski terus 
mendapatkan pengawasan, namun dirinya sempat beberapa kali mendapatkan bantuan 
sembako dari tentara.

Usai Soemini dan Tarup menyampaikan pernyataannya, kini anak para jenderal 
mendapat giliran. Kesempatan pertama diberikan kepada Agus. Namun, dia menolak. 
Agus melempar kesempatan kepada Suryo Susilo untuk memberikan tanggapan.

Dalam kesempatan itu, Suryo menerangkan bahwa proses rekonsiliasi sebenarnya 
sudah berjalan dengan hadirnya FSAB. Forum ini digagas almarhum Taufik Kemas, 
suami Megawati Soekarnoputri saat menjabat sebagai ketua MPR. Suryo juga 
menjelaskan bahwa dalam proses rekonsiliasi sudah tak lagi mencari pihak salah 
atau benar.

Lalu giliran Catherine. Dia juga memberikan tanggapan dari kisah Soemini dan 
Moh Tarup. Putri DI Pandjaitan itu meminta keduanya tidak rendah diri lantaran 
pernah menjadi tahanan politik dan dituduh membunuh para jenderal. Dengan 
bijak, Catherine mengajak Soemini dan Tarup tak lagi kembali terjebak dengan 
masa lalu.

"Kalau menurut saya ibu sudah jangan terlalu rendah diri. Kita berpikirnya maju 
ke depan," ucap Catherine.



Catherine lalu menceritakan kehidupannya setelah menyaksikan ayahnya tewas di 
rumahnya sendiri. Dia menjelaskan bahwa kehidupannya pun hancur setelah 
kematian ayahnya. Bahkan dia mengaku sering berusaha untuk bunuh diri dengan 
cara menyilet kedua lengannya. Hingga mengalami depresi selama 20 tahun.

Trauma berkepanjangan itu membuat Catherine tak bisa mengendalikan diri. Dia 
kerap meledak-meledak. Bahkan lupa bahwa dirinya adalah seorang perempuan, 
seharusnya bersikap lemah lembut dalam bertutur kata dan bersikap. Sebab 
sebelum kematian ayahnya, Catherine muda dikenal periang. Dia pun membenci 
perubahan sikapnya itu. 

"Saya sendiri susah sama diri saya sendiri, mengontrol diri saya dan saya tahu 
saya menyakiti orang," kata Catherine sambil menepuk-nepuk dada.

Sebagai sulung, kata Catherine, belum semua adiknya telah selesai dengan masa 
lalu tersebut. Hingga kini salah satu adiknya itu masih memiliki luka dan 
kebencian terhadap para pelaku pembunuhan ayahnya. Catherine juga menceritakan 
bagaimana ibunya setiap pekan selama 10 tahun selalu mendatangi makam ayahnya 
dan menangis. Sebab, di rumah ibunya berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihan 
di hadapan semua anaknya. Meski begitu Catherine mengaku telah memaafkan masa 
lalunya.

Kini giliran Agus angkat bicara. Dia hanya menjelaskan bahwa dirinya berupaya 
untuk bersikap rasional setelah kematian sang Ayah, Brigjen Sutoyo 
Siswomihardjo. Sebab, putra sulung dan menggantikan posisi ayahnya di keluarga. 
Berbicara soal kabar penyiksaan dialami ayahnya di Lubang Buaya, Agus berusaha 
untuk rasional. Terlebih di awal tahun 2000 saat hasil visum et repertum 
menyatakan bahwa penyiksaan berupa pemotongan alat kelamin tidak pernah ada. 
Hanya ada luka tembak dan tusukan benda tajam di tubuh para Pahlawan Revolusi.

"Saya percaya itu, Saya percaya bahwa tidak ada pencukilan mata, pemotongan 
alat kelamin itu tidak ada," kata Agus. 

Hasil visum tersebut menurutnya sudah cukup untuk menggambarkan bahwa ayahnya 
mati karena pembunuhan. Agus mengaku tak perlu lagi mengetahui bagaimana 
kematian sang ayah 52 tahun silam. Termasuk mencari tahu siapa melakukan itu 
kepada ayahnya.

Di samping itu, Agus juga menjelaskan bahwa sebelum tragedi 1965, PKI pernah 
terlibat konflik berdarah. Menjadi dalang pelbagai pemberontakan. Seperti 
terjadi di Madiun, Jawa Timur pada tahun 1948 dan aksi sepihak di Aceh. 

Saat itu, kata Agus, PKI pernah bersikap sombong, mengintimidasi dan melakukan 
aksi teror kepada masyarakat. Sehingga PKI bersama gerakannya telah lebih dulu 
menanamkan kebencian kepada masyarakat. Hal ini lantas tercium tentara angkatan 
darat. Mereka tak ingin kecolongan di tengah kabar bahwa kesehatan Presiden 
Soekarno terus menurun dan diperkirakan akan meninggal dalam waktu dekat. 

Selain ada kepentingan politik, angkatan darat menilai PKI adalah anak emas 
Soekarno. Ini setelah diketahui adanya poros Jakarta-Beijing-Jogja. "Nah, ini 
masalahnya politik berebut kekuasaan. Kalau Bung Karno meninggal siapa yang 
akan merebutnya," ujar Agus.

Terlepas dari berebut kekuasaan di masa lalu, Agus menilai sudah tak perlu lagi 
memperdebatkan siapa harus bertanggung jawab atas praha telah menelan ribuan 
korban. Sebagai generasi penerus, Agus justru mengajak menatap masa depan dan 
menanggalkan perjalanan pahit masa lalu.

Agus mengaku sudah selesai dengan masa lalunya. Pelbagai upaya rekonsiliasi 
telah dilakukan. "Tantangannya sekarang adalah menggulirkan perdamaian ini 
untuk menjadi gerakan nasional. Rekonsiliasi harus menjadi gerakan 
sosiokultural."

Rekonsiliasi, dalam pandangan Agus, merupakan bentuk rasa saling percaya. 
Caranya dengan melakukan pengakuan dari tiap pihak tentang kesalahan pernah 
dilakukan dan mengambil tanggung jawab atas semua kejadian. Hal ini tidak akan 
mencapai titik temu bila semua masih menempatkan posisi sebagai korban tanpa 
mengakui kesalahan. 

Lebih kurang 1,5 jam mereka berbincang. Sambil menyantap hidangan pembuka roti 
cane kuah kari. Waktu menunjukkan pukul 18.30. Perbincangan mereka selesai 
untuk sementara. Sebagian izin melakukan ibadah salat Magrib.



Tepat pukul 7 malam, pertemuan dilanjutkan. Sekaligus menutup pertemuan mereka 
dengan menyantap hidangan utama. Mereka makan satu meja dengan menu nasi 
goreng, udang goreng, ikan kerapu hingga ayam. Hidangan malam itu terlihat 
menggugah selera.

Selama makan malam, mereka tampak berbincang ringan. Bahkan Catherine sempat 
memberikan resep obat herbal kepada Soemini untuk mengobati asam urat. Resep 
itu segera dicatat. Catherine mengaku sudah bertahun mengonsumsi ramuan herbal 
itu. Hasilnya tidak lagi mengalami penyakit tersebut.

Setelah itu mereka saling bertukar nomor telepon dan foto bersama. Pada sesi 
foto bersama, mereka tampak akrab. Bahkan Catherine dan Soemini berpose sambil 
rangkulan. Keduanya tampak bahagia. Hal serupa terlihat pada tamu undangan 
lainnya. Mereka menutup pertemuan ini dengan suasana hangat dan diselingi tawa 
antar mereka. [ang]





Kirim email ke