Tanggung jawabnya bisa jadi "Tanggung, pasti dijawab, dengan jawaban yang tanggung tanggung saja " Di Belanda, orang kerja selalu jelas TBV nya, taken, bevoegheden en verantwoordelijkheden, yaitu : tugasnya, wewenangnya dan tanggungjawabnya. Ini ditetapkan secara tertulis. Begitu menyimpang, ya dapat kartu kuning, dapat peringatan. 3 kali melanggar, dapat kartu merah. Dikeluarkan atau dipindahkan, bisa ke jabatan lebih rendah dengan gaji lebih rendah.
2017-11-04 7:09 GMT+01:00 Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co.id [GELORA45] < GELORA45@yahoogroups.com>: > > > > > ----- Pesan yang Diteruskan ----- > *Dari:* Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] < > GELORA45@yahoogroups.com> > *Kepada:* Yahoogroups <gelora45@yahoogroups.com> > *Terkirim:* Jumat, 3 November 2017 17.21.31 GMT+1 > *Judul:* [GELORA45] Tanggung Jawab Politik “Sang Pribumi” Anies Baswedan > > > > > Tanggung Jawab Politik “Sang Pribumi” Anies Baswedan > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/tanggung-jawab-politik-sang-pribumi-anies-baswedan/> > > by [image: Maman Suratman]Maman Suratman > <https://geotimes.co.id/author/maman-suratman/>Rabu, 18 Oktober 2017 > > > > - > > <https://www.facebook.com/sharer/sharer.php?u=https://geotimes.co.id/kolom/politik/tanggung-jawab-politik-sang-pribumi-anies-baswedan/&t=Tanggung+Jawab+Politik+%22Sang+Pribumi%22+Anies+Baswedan&redirect_uri=https://geotimes.co.id?sharing-thankyou=yes> > - > > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/tanggung-jawab-politik-sang-pribumi-anies-baswedan/#> > - > > <https://plus.google.com/share?url=https://geotimes.co.id/kolom/politik/tanggung-jawab-politik-sang-pribumi-anies-baswedan/> > - > > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/tanggung-jawab-politik-sang-pribumi-anies-baswedan/#> > - > > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/tanggung-jawab-politik-sang-pribumi-anies-baswedan/#> > - > > [image: alt]Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur > Sandiaga Uno melakukan salam commando seusai pelantikan, di Istana Negara, > Jakarta, Senin (16/10). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A > > Senin, 16 Oktober 2017, DKI Jakarta akhirnya resmi punya nakhoda baru. > Setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) digilas massa yang menggila-gila, > Jakarta untuk lima tahun ke depan ini selanjutnya akan dipimpin oleh > usungan para penggilas nakhoda sebelumnya itu, Anies Baswedan. > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/harga-sebuah-integritas-surat-terbuka-untuk-anies-baswedan-ph-d/> > > Sebagai nakhoda baru, tentu Anies > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/surat-kedua-untuk-anies-baswedan-meniti-jejak-langkah-pendahulu-kita/>punya > segudang tanggung jawab politik. Tak hanya untuk mengarahkan Jakarta > seperti citanya, yakni maju kotanya bahagia warganya, Anies pun harus > bertanggung jawab penuh atas apa yang telah dirinya perbuat di masa-masa > sebelum ia benar-benar jadi “manusia pilihan”. Apa itu? Yakni merajut > kembali tenun kebangsaan yang telah ia robek-robek sendiri tanpa ampun. > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/bukan-fundamentalisme-yang-menguat/> > > Memang, kursi Gubernur yang kini Anies duduki—bersanding mesra dengan > Sandi—di Ibu Kota, membuatnya harus niscaya menghadirkan wajah Jakarta > seperti citanya sendiri. Segala ragam bentuk janji kampanyenya > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/menagih-janji-janji-gubernur-anies/>yang > kurang lebih berjumlah 23 buah itu harus tertepati. Program plus-plusnya, > seperti KJP Plus dan KJS Plus, cepat atau lambat, harus segera ia > realisasikan tanpa syarat. Sebab, warga yang menitipkan amanah di pundaknya > memang butuh nasi, bukan janji. > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/anies-sandi-dan-mimpi-punya-rumah-tanpa-dp/> > > Itu baru janji. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah hadirnya > tenun kebangsaan kembali. Bukan hanya karena tanggung jawab Anies selaku > pemimpin politik di Ibu Kota, bukan hanya karena tanggung jawabnya sendiri > selaku penulis Merawat Tenun Kebangsaan, > <http://jakartamajubersama.com/merawat-tenun-kebangsaan>tapi karena ia > yang mengumandangkan dan lalu ia sendiri yang merobek-robeknya kembali. Itu! > > Bukan hanya Anies memang yang harus bertanggung jawab penuh atas ini. Akan > tetapi, ini perlu diingat, kehancuran keberagaman, rusaknya tenun > kebangsaan di Jakarta waktu itu yang mungkin masih mewabah hingga hari ini, > disadari Anies atau tidak, terjadi hanya demi pemenangan dirinya. Terlebih > bahwa Anies sendiri ikut merobeknya. Itu fakta yang saya kira sudah menjadi > rahasia umum bersama. > > Masih ingat, bukan, ketika rivalnya (Ahok) tersandung kasus penistaan > agama? <https://geotimes.co.id/kolom/penistaan-agama-dan-demokrasi-kita/>Di > sana, nuansa peran Anies begitu nyata. Alih-alih meredakan gejolak emosi > massa yang banyak orang harapkan darinya, ia justru terlibat-serta > memanaskan situasi, menyiraminya dengan minyak-minyak penuh kebencian. > Meminjam kata Burhanuddin Muhtadi dalam Anies dan Masa Depan Jakarta, > <http://www.mediaindonesia.com/news/read/127415/anies-dan-masa-depan-jakarta/2017-10-16>ia > membiarkan amarah itu menyala dan mengambil insentif elektoral darinya, > termasuk mengunjungi Rizieq Shihab > <https://geotimes.co.id/kolom/apa-salah-anies-baswedan-berkunjung-ke-fpi/>, > motor penggerak anti-Ahok. > Baca Juga : Menagih Janji-janji Gubernur Anies > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/menagih-janji-janji-gubernur-anies/> > > Saat menghadiri makan malam bersama sejumlah petinggi partai pengusungnya > di sebuah restoran di Jakarta Selatan (18/4), gejolak emosi massa ini kian > diperparah. Di hadapan para elite politik, dengan lantang ia mengandaikan > Pilkada DKI Jakarta (putaran dua) adalah “Perang Badar”. Sungguh > benar-benar memperkuat kesan bahwa Anies telah secara sengaja memelihara > sentimen agama demi kalahkan Ahok. > > Ya, data-data empiris memang tak mampu menolak fakta bahwa Anies mulus > melenggang ke Balai Kota melalui permainan licik isu-isu SARA, terutama > agama. Seperti ditunjukkan *exit poll* Indikator Politik Indonesia > sendiri, nyaris 60% pemilih Anies mendasarkan pilihannya pada kesamaan > agama. Pun sebagian besar lainnya menilai ucapan Ahok tentang Al-Maidah > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/tamasya-al-maidah-teror-politik-berkedok-tamasya-agama/>adalah > penistaan agama. > > Temuan-temuan itulah, sekali lagi, yang berperan besar mengantar Anies ke > pucuk pimpinan di DKI Jakarta, dibantu oleh Tamasya al-Maidah, tentu saja. > Hal yang sama ini jugalah yang menjebloskan rivalnya (Ahok) ke jeruji besi > penjara, dibantu penuh oleh rangkaian demi rangkaian Aksi Bela Islam & > Ulama. <https://geotimes.co.id/kolom/ongkos-ongkos-aksi-bela-islam/> > > > Entah fakta-fakta di atas itu jadi landasan Anies atau tidak, tetapi dalam > pidato pelantikannya, saya rasa ia telah menunjukkan tanggung jawab > politiknya sendiri. Ia telah menampilkan niat mulia itu untuk bertanggung > jawab penuh atas apa yang sudah dirinya perbuat di masa-masa genting dan > menyengat dengan berkata: > > *“Holong manjalak holong, holong manjalak domu*. Begitu pepatah Batak > mengatakan kasih sayang mencari kasih sayang, kasih sayang menciptakan > persatuan. Ikatan yang kemarin sempat tercerai, mari ikat kembali, mari > kita rajut kembali. Mari kita kumpulkan energi yang terserang menjadi > energi untuk membangun kota ini sama-sama.” > > Jelas. Di sana Anies sadar betul bahwa kondisi keterceraian kemarin adalah > buah dari pemenangan dirinya semata. Hari ini upaya pertanggungjawaban > dirinya telah ditunjukkannya, meski baru sebatas kata-kata. Dan kita pun > mesti mendukungnya-serta, seberapa pun bencinya kita pada sosok Muslim > moderat yang sudah cenderung bergerak ke arah “kanan” ini. > Baca Juga : Bahaya Pragmatisme dalam Pilkada Jakarta > > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/bahaya-pragmatisme-dalam-pilkada-dki/> > Dan Anies pun Kembali Merobek > > Baru beberapa detik saja kemuliaan itu muncul dari kata-kata Anies, entah > dengan alasan apa, ia pun kembali merobeknya lagi dengan lantang: > > “Dulu, kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, > kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta > ini seperti yang dituliskan pepatah Madura: *itik telor, ayam singerimi; > itik yang bertelur, ayam yang mengerami.*” > > Seperti video prosesi pencitraannya di Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta > Selatan kemarin (13/10), ungkapan Anies dalam pidatonya itu pun viral > hebat. Persis di kata “pribumi”, > <https://geotimes.co.id/kolom/sosial/di-indonesia-tak-ada-yang-pribumi/> Anies > dituding telah melontarkan visi politik yang tak ubah dengan rasisme, > seperti diungkapkan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi: > > “Pidato pertama Anies setelah dilantik membuat publik menjadi mafhum bahwa > visi politik Anies adalah rasisme. Politisasi identitas bukan hanya untuk > menggapai kursi gubernur, tetapi hendak dijadikan landasan memimpin dan > membangun Jakarta. Pidato yang penuh paradoks.” > > Saya sendiri pun bertanya-tanya: apa maksud Anies menyelipkan kata > “pribumi” itu dalam pidatonya? Terlepas dari tidak patutnya lagi kata > seperti itu dihembuskan di ruang publik menurut UU No. 40/2008 tentang > Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta Instruksi Presiden No. 26/1998 > tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, > menggandeng kata “pribumi” > <https://geotimes.co.id/kolom/hukum/ihwal-pribumi/>dalam prosesi > pelantikannya, hampir tak bisa disangkal lagi, adalah upaya dirinya untuk > membedakan kelompoknya dengan kelompok Ahok. > > Dengan kata lain, Anies berusaha mengklaim diri sebagai pribumi, sedang > Ahok diposisikan sebagai nonpribumi, pemberontak yang harus dimusnahkan. > > Paradoks? Tentu iya. Sebab, di satu sisi, Anies membingkai konsepsi negara > untuk semua, sebagaimana cita Bapak Proklamator Kemerdekaan Bung Karno. > Tetapi, di sisi lain, ia menghembuskan citra penuh benci atas ras-ras > tertentu—kalau kata Hendardi, Anies telah mengumandangkan supremasi > etnisitas melalui penegasan pribumi sebagai diksi pembeda dirinya > (pemenang) dengan yang lain (kelompok Ahok?). > > Maka, saya kembali bertanya: di mana letak pengupayaan Anies atas > pewujud-nyataan sila kelima itu? Jika benar Anies menjadikan rasisme > sebagai visi politiknya, maka itu sama saja dengan membangun peradaban dari > Jakarta untuk Indonesia melalui visi politik yang benar-benar mematikan. > Baca Juga : Selamat Bekerja, Pak Gub dan Pak Wagub! > > <https://geotimes.co.id/kolom/politik/selamat-bekerja-pak-gub-dan-pak-wagub/> > > Sudah. Tak perlu jauh-jauh melihatnya sampai ke negeri seberang, seperti > yang terjadi di Jerman atau Myanmar, misalnya. Di negeri ini sendiri, > Indonesia, hembusan visi politik berupa kebencian atas ras itu telah > menjadi sejarah kelam bangsa. Terutama di era rezim Orde Baru Soeharto, > visi yang lahir dari politik adu-domba sang diktator ini telah memakan > korban yang tak terhitung lagi jumlahnya. Masyarakat Tionghoa > <https://geotimes.co.id/kolom/sosial/menjadi-cina-di-indonesia/>untuk > melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka sebagai yang bukan > pribumi. > > Sesudah Soeharto jatuh, alih-alih redup, garis demarkasi itu pun justru > semakin menggila. Di mana-mana terjadi kerusuhan massal dengan target > masyarakat Tionghoa. Mereka nyaris jadi sasaran empuk kebencian melulu atas > nama ras. Semua karena visi politik rasisme yang dibangun secara > matang-matang oleh Bapak Pembangunan yang pernah berkuasan selama 32 tahun > kurang lebih ini. > > Visi politik seperti itu sendiri sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum > Soeharto, kebencian atas masyarakat Tionghoa sudah bercikal-bakal di > zaman-zaman kolonial Belanda. Maka, hadirnya pidato Anies Baswedan yang > berupaya mengidentifikasi kelompok pribumi bisa dikatakan kelanjutan > kembali visi politik rasisme di Indonesia. > > Maka, tak salah juga jika peneliti LIPI Amin Mudzakkir menggambarkan > fenomena ini dalam status Facebook-nya: Pribumi adalah mitos yang > diciptakan oleh kolonialisme, dijalankan oleh Soehartoisme, dan dipidatokan > oleh Anies Baswedanisme. > > Ya, begitulah kira-kira penggambarannya yang tepat. Lalu Anies pun mau tak > mau harus kembali bertanggung jawab pada polemik yang ia hadirkan sendiri > di tengah gejolak emosi massa yang belum usai-usai ini. Semoga tanggung > jawab politik ini mampu Anies tunaikan sebelum akhirnya beralih > merealisasikan semua janji-janji politiknya yang plus-plus itu. > > Selamat bekerja, Bang Anies! > > >