https://www.gatra.com/ekonomi/makro/296742-churchill-mining-minta-kemenangan-indonesia-dibatalkan
Churchill Mining Minta Kemenangan Indonesia Dibatalkan

GATRAnews  -
Friday, 24 November 2017 20:40    | Makro

Kondisi wilayah konsesi tambang di Kalimantan (isds.bilaterals.org)

*Jakarta, Gatra.com* – Kemenangan Pemerintah Indonesia atas gugatan
Churcill Mining (perusahaan tambang batu bara Inggris) yang diputus
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) pada
Desember 2016 lalu kembali mendapat tantangan.



Pasalnya Churcill mengajukan pembatalan putusan (annulment award) atas
kekalahannya di ICSID. Mekanisme itu memang dimungkinkan dalam skema ISDS.
Investor yang kalah dalam sidang masih punya hak untuk mengajukan
pembatalan.

Menurut Koordinator Riset dan Advokasi IGJ, Budi Afandi, kasus Churchill
ini seharusnya bisa jadi pelajaran untuk Indonesia tentang betapa
berbahayanya klausul ISDS (Investor-State Settlement Dispute).

Sebab klausul ISDS sangat menguntungkan bagi investor. Dengan klausul itu,
investor posisinya setara dengan negara dan bahkan dapat menuntut negara.

Budi mengharapkan pemerintah berpikir ulang dan memperbaiki sistem kerja
sama dengan investor dalam menegosiasikan perjanjian bilateral maupun
perjanjian perdagangan bebas (FTA).

"Jangan hanya karena ingin mendapat investasi sebesar-besarnya, pemerintah
lalu memudahkan segalanya tanpa mempertimbangkan resiko hukum di kemudian
hari," katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (24/11).

Sekadar catatan, kasus ISDS Churchill vs pemerintah Indonesia itu dimulai
pada 2010 ketika Churchil melayangkan gugatan ke Pengadilan Pengadilan Tata
Usaha Samarinda atas surat pembatalan izin usaha pertambangan yang
dikeluarkan Bupati Kutai Timur, Isran Noor.

Namun, PTUN Samarinda memutuskan pembatalan izin tersebut sudah sesuai
prosedur. Churcill lalu mengajukan banding dan kasasi, tapi baik keputusan
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah AGung tidak berubah, tetap mendukung putusan
PTUN Samarinda. Churchill akhirnya menggunakan mekanisme ISDS dan membawa
sengketa ini ke ke ISCID pada 2012.

Dalam sidang di ISCID, Churchil menuntut pemerintah Indonesia membayar
ganti rugi sebesar US$ 1,95 milyar (setara Rp 26,3 trilyun) karena
pencabutan izin tambang tersebut.

Obyek sengketa dalam kasus tersebut adalah konsesi lahan tambang seluas 35
ribu hektare di Kecamatan Busang, Muara Wahau, Telen, dan Muara Ancalong,
Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Lahan itu sebelumnya dikuasai Grup
Nusantara (2006-2007), kemudian PT Ridlatama yang diakuisisi Churchill.

Reply via email to