Julia Suryakusuma: Dulu Ibuisme Negara, Sekarang Ibuisme Agama
Ilustrasi Julia Suryakusuma. tirto.id/Sabit
Reporter: Aditya Widya Putri28 November, 2017dibaca normal 5 menit   
   - "Meski ibu saya diskriminatif, saya tumbuh dengan identitas ingin membela 
dia."
Intinya adalah kontrol terhadap perempuan, penentunya saja yang 
bergeser.tirto.id - Julia Suryakusuma dikenal dengan karyanya Ibuisme Negara 
yang dianggap mampu melampaui pemikiran saat itu mengenai "kelas perempuan" 
dalam hierarki kenegaraan. Perempuan hanya eksis dan dilihat dalam relasi 
dengan kepentingan karier suaminya. Ia menyebut hirearki perempuan saat itu 
bersifat kemiliteran. 

Para perempuan menempati posisi kedharmawanitaan berdasar jabatan yang dimiliki 
suaminya. Sebaliknya, keaktifan mereka di organisasi itu pun mempengaruhi 
posisi sang suami. Sejatinya, posisi mereka tetap berada di lingkungan domestik 
dan hanya dibalut peningkatan kelas yang palsu.

Kini, sudah lebih 30 tahun buku tersebut dibicarakan sebagai karya klasik. 
Apakah konsep "ibuisme negara" masih relevan dalam konteks dunia perempuan era 
kini?

Aditya Widya Putri berkesempatan mengupas pemikiran sang penulis secara 
langsung di kediamannya di Cinere, Kamis, 23 November 2017 lalu. Berikut adalah 
petikan wawancaranya:

Apa pengalaman dan kesadaran yang membuat Anda menjadi seorang feminis?

Saya sudah menjadi feminis mungkin sebelum lahir sudah ada bibitnya. Yang 
paling terlihat dari nenek, meski kakek saya kepala sekolah, tapi nenek yang 
seperti pegang kendali. Hanya saja itu tidak terjadi di generasi ibu saya, ayah 
sangat patriarki.

Dan yang betul-betul saya sadar waktu umur 6 tahun dan adik laki-laki saya 
lahir. dia seketika menjadi anak laki-laki kesayangan, putra mahkota. saya di 
situ ibarat putri yang tiba-tiba kehilangan kasih sayang. Di samping juga ada 
kecemburuan antar saudara, saya tiba-tiba tidak nomor satu lagi karena ada 
pendatang baru. Tapi unsur gendernya saya baru menyadari belakangan.

Di situ saya bilang "Saya tunjukkan saya lebih berharga ketimbang anak 
laki-lakimu yang spesial." Dan ternyata itu tidak susah buat saya, karena saya 
lebih pintar dari dia. Sewaktu sekolah di Italia juga saya sempat loncat dua 
tahun dari kelas tujuh ke kelas sembilan. Saya merasa tertantang dan selalu ada 
di sepuluh terbaik. 

Setelah masa pembuktian itu, apakah pandangan keluarga jadi berubah?

Tidak, karena anehnya ayah saya tidak terlalu mementingkan ilmu. Tapi justru di 
situ saya melihat ibu saya yang Dharma Wanita sekali, sangat patriarkis dengan 
[perbedaan] kasih sayang yang sangat mencolok. Semangat feminisme saya muncul 
dari keluarga yang konsepnya begitu. 

Meski ibu saya diskriminatif, saya tumbuh dengan identitas ingin membela dia. 
Saya jadi semacam ingin ngomporin dan itu akhirnya jadi kesadaran yang meluas. 
Di umur sekolah dasar saya sudah berpikiran untuk mengubah Indonesia untuk jadi 
lebih baik. Tapi namanya anak-anak, saat itu mikirnya mengubah dalam arti 
fisik, ya jadi insinyur-lah.

Kini sesudah Anda menjadi seorang yang vokal menyuarakan gender, masih adakah 
diskriminasi itu dirasakan?

Enggak terlalu, karena orang lihat saya sudah takut. Apalagi kalau lagi enggak 
senyum cetakan mukanya memang begini, pose judes, tulang pipinya tinggi, dari 
segi face reading tulang tinggi ini berani dan ada di garda depan. Ada seorang 
kaisar yang pilih serdadu garda depannya itu yang bertulang pipi tinggi. 

Kalau saya, auranya memang seperti ada benteng, seperti serdadu, lempeng saja. 
Sepertinya orang sudah tahu, apalagi saya sekarang saya sudah senior.

Hanya, kalau dulu saat muda memang saya seperti harus membuktikan. Apalagi saya 
cukup cantik dan pernah jadi peragawati saat umur 17-19 tahun. Ya persepsi 
orang kan kalau perempuan cantik itu... [Julia menggerakkan jari telunjuk dan 
jari tengah membuat tanda petik. Ia ingin mengatakan stereotip bahwa perempuan 
cantik otomatis bodoh]. 

Nah, di umur 20 sampai 30 tahun itu masih harus membuktikan diri dobel karena 
itu. Karena saya dianggap cantik, maka harus membuktikan karya intelektual saya 
juga mumpuni. 

Tadi Anda mengatakan, sedari kecil sudah ingin mengubah Indonesia dan membela 
ibu Anda dari sistem patriarki keluarga. Mulai kapan aksi konkret tersebut 
dilakukan?

Saya bukan seperti Dewi Fortuna Anwar, orang Minang yang sedari kecil memang 
diminta bicara di forum-forum dan akhirnya tumbuh menjadi seorang feminis yang 
dibentuk oleh lingkungan. Saya dulu sangat pemalu dan bisa dibilang kutu buku, 
nerd. Secara formal saya tidak pernah belajar [kajian] gender, cuma dari 
membaca saja.

Bagaimana perjalanan seorang Julia yang kurang didukung keluarga dan lingkungan 
sampai bisa dipandang sebagai seorang aktivis gender dan melahirkan buku 
Ibuisme Negara?

Saya kuliah psikologi di tahun pertama sudah menikah, itu sebenarnya salah satu 
cara saya melarikan diri dari rumah. Suami pertama saya, Pak Ami Priyono yang 
lebih tua 15 tahun dari saya adalah orang yang paling mendukung saya. Dialah 
cinta tak bersyarat.

Meski ego kita suka bertentangan, tapi banyak simbiosisnya. Dialah partner 
intelektual dan bertukar pikiran untuk saya. Orang yang suportif, karena dia 
pernah bilang "Saya mendukung kamu bukan karena kamu istri saya, tapi memang 
kamu patut didukung."

Dan sampai saya melanjutkan kuliah ke Inggris saja dia yang dukung. Padahal 
saat itu saya sudah melahirkan anak pertama, saya melanjutkan master, 
meninggalkan dia dan anak saya. Di situlah titik mula pencarian jati diri saya.
Saya berpikir, saya ini jadi anak seseorang, saya adalah istri seseorang, dan 
saya waktu itu sudah menjadi ibu dari seseorang. Tapi, saya ini siapa?

Makanya saya ke luar itu untuk cari jati diri. Meskipun naluri saya juga 
ketarik-tarik karena [ada] naluri keibuan juga. Ditambah omongan orang yang 
macam-macam karena saya meninggalkan suami dan anak. Tapi saya kembali 
mengukuhkan hati, karena jika tidak tahu jati diri, nanti akan jadi ibu seperti 
apa saya?

Saat meninggalkan suami dan anak untuk melanjutkan kuliah, bagaimana pandangan 
keluarga besar terhadap Anda?

Saya memang dari dulu dianggap aneh, apa yang saya inginkan tidak seperti 
perempuan konvensional yang cukup menjadi istri seseorang yang mapan, punya 
anak, sudah. Jadi nenek juga sudah katakan: "Biar saja dia mah memang begitu." 

Saya juga bilang kepada ibu saya, bahwa apa yang membuatnya happy, belum tentu 
bisa bikin saya happy. Terlebih, ini bukan cuma soal happiness, tapi jati diri.

Dari masa pendidikan di Inggris itulah Anda mantap mendedikasikan diri di 
masalah sosiologi, kegenderan, dan melahirkan buku Ibuisme Negara?

Sekembalinya dari Inggris, Pak Ami yang sedang bekerja sama dengan Yayasan 
Indonesia Sejahtera, sebuah LSM yang bergerak di bidang pengembangan desa dan 
masyarakat. Memberi tahu saya tentang LSM itu dan saya coba aktif di dalamnya. 
Tapi tidak lama, saya terlalu revolusioner makanya dikeluarkan.

Saat itu tahun 1980-an dan umur saya 27 tahun, dan saya kembali ke cinta 
pertama, menulis. Kebetulan saya ditawari oleh Pemred Majalah Prisma untuk 
menjadi editor tamu tentang perempuan. Saya senang bukan main karena sebelumnya 
belum pernah menjadi editor-editor apalah. Tapi percaya diri saja bahwa saya 
bisa.

Di situ akhirnya tulisan pertama saya mendapat perhatian karena dianggap 
menjadi yang pertama kali memberikan analisis yang sifatnya kelas. Analisis 
struktural yang mengubah tataran masyarakat, di mana perempuan dan laki-laki 
egaliter. Bukan sekadar peningkatan peranan perempuan yang sebenarnya 
penerapannya hanya gitu-gitu saja,
di mana perempuan tetap kerja di bidang domestik hanya dibuat seakan meningkat 
saja. 

Seperti saat Orde Baru, Dharma Wanita kan mengurusi masalah domestik juga yang 
jadi ibuisme negara. Memang konsep perempuan jadi konco wingking. Jadi gabungan 
antara ideologi borjuis belanda dan feodalisme jawa. Belum lagi budaya militer 
ke perempuan benar-benar mereka yang paling patriarkis. 

Nah, lalu ada akademisi Belanda yang baca, dia katakan, kok ada tulisan dari 
scholar Indonesia yang analisisnya kelas. Akhirnya saya diajak dia ke India 
untuk penelitian bersama negara-negara lain seperti Sudan, Karibia, Peru, dan 
India negara-negara yang cukup represif. Mereka memberi kesempatan negara 
tersebut untuk melakukan penelitian mengenai masalah perempuan di negaranya.

Lalu muncullah usul penelitian mengenai Dharma Wanita dari akademisi Belanda 
tersebut. Dia sendiri membuat penelitian tentang Gerwani. Itu proyek 
pertengahan 80-an, selama dua tahun dengan tiga kali pertemuan para pesertanya. 
Itulah cikal bakal Ibuisme Negara lahir.

Bukankah Ibuisme Negara itu tesis Anda?

Ya, saat itu penelitiannya tidak selesai karena ada ketegangan dari para 
pesertanya. Akhirnya saya ajukan untuk penelitian lanjutan. Sebelum selesai dan 
dia masih berupa naskah memang sudah difotokopi kemana-mana. Tapi baru 
dibukukan tahun 2011, itu pun tidak sengaja.

Saya memang pernah mencoba mengirimkannya ke sebuah penerbit di luar, tapi 
ditolak dan setelah itu menyerah. Tak diduga, ada seorang teman yang 
mengalihbahasakannya tanpa sepengetahuan saya. Di situ saya sadar, seharusnya 
dulu saya tidak menyerah.

Bagaimana konsep "ibuisme" saat ini, apakah masih relevan?

Ibuisme Negara telah menjadi karya yang monumental sekali, sudah lebih dari 30 
tahun dan itu masih terus dibicarakan hingga sekarang. Dulu saya tak pernah 
menyangka ini akan menjadi karya yang dikenang lama. Saya bikin, ya bikin saja. 
Tidak merasa menjadi great thinker, tapi orang-orang yang mengatakan ini karya 
yang bisa terus diaplikasikan, bahkan hingga kini.

Negara masih mengintervensi kehidupan kita hingga ranah privat seksualitas, 
yang diaplikasikan pada peraturan seperti pegawai negeri tak bisa nikah lagi, 
atau macam keluarga berencana. 

Sampai sekarang masih dianggap relevan tapi bukan lembaganya bukan negara 
melainkan agama. Mulai dari cara berpakaian, cara berperilaku sama seperti 
ibuisme negara. Hanya, sekarang [yang ada adalah] ibuisme agama. Konsepnya itu 
bisa lama karena berlaku terus dan bisa diimplementasikan ke banyak lini. 

Tetap itu [intinya] adalah kontrol terhadap perempuan, hanya bergeser saja 
penentunya. Tapi sekarang agama juga dipolitisir, jadi sebetulnya nyambung juga 
ke negara. Misal lagi pilkada jadi pada pakai jilbab, atau seperti pemilihan 
gubernur Jakarta kemarin, benar-benar seperti atribut.

Melihat kebijakan gender saat ini, apa yang menurut Anda perlu diperbaiki dari 
Kementerian PPA?

Saya rasa kementerian ini tak terlalu terlihat juga programnya ya? Seharusnya 
kebijakan gender bisa diterapkan di semua lini, di semua kementerian. Jangan 
ada pengklasifikasian, karena dengan begitu, sama saja mendikotomisasi. 

Kirim email ke