http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/11/29/p06od2393-sanderasandera-itu-tiputipu


Kamis , 30 November 2017, 06:00 WIB

‘*Sandera-Sandera itu Tipu-Tipu’*

Red: Fitriyan Zamzami

Dok TNI

[image: Masyarakat asli Kimbeli dan Banti, Tembagapura, Mimika, Papua
dievakuasi ke Gedung Emeneme, Timika, Papua.] Masyarakat asli Kimbeli dan
Banti, Tembagapura, Mimika, Papua dievakuasi ke Gedung Emeneme, Timika,
Papua.


*Pertengahan November lalu publik dikejutkan oleh pernyataan aparat polisi
soal situasi penyanderaan di lokasi pertambangan ilegal di Tembagapura,
Mimika, Papua. Jumlah sandera mencapai seribuan, menurut klaim polisi. Yang
disandera adalah warga pendatang dan tempatan. Penyandera adalah kelompok
separatis Papua Merdeka. Pemberitaannya, pada saat itu, akhirnya bergantung
dari pernyataan polisi dan pernyataan kelompok separatis. Sukarnya akses ke
Mimika membuat peristiwa tersebut masih kelabu. Wartawan *Republika *Mas
Alamil Huda** di Timika dan **Fitriyan Zamzami** berkesempatan menggali
kejadian itu, sejak pekan lalu. Berikut tulisannya.*

REPUBLIKA.CO.ID, MIMIKA -- Di kaki pegunungan Jayawijaya, Papua, ada sebuah
danau. Wanagon dia punya nama. Airnya dahulu jernih, bersumber dari lelehan
salju di puncak gunung.

Bagi suku Amungme yang bermukim di sekitar lokasi itu, Wanagon juga semacam
tempat keramat. Danau ini adalah titik berkumpulnya arwah para leluhur.
Arwah-arwah tersebut nantinya membalas kebaikan alam dengan membawa
kelestarian dan keberkahan bagi warga Amungme melalui aliran sungai-sungai
besar, salah satunya Aijkwa.

Sungai-sungai besar itu kemudian bercabang lagi menjadi sejumlah kali. Di
Distrik Tembagapura, membelah Kampung Utikini, Kampung Kimbely, dan Kampung
Banti, Aijkwa bercabang menjadi Kali Kabur yang mengular sepanjang lima
kilometer.

Sudah sejak lama, yang mengalir dari Wanagon bukan lagi air jernih. Ini
karena limbah bekas pengayakan bebatuan di pertambangan PT Freeport
Indonesia di Grasberg menimbun danau tersebut. Wanagon kini jadi salah satu
danau paling kritis di Indonesia.

Residu pertambangan yang menimbun itu kemudian ikut mengalir ke
sungai-sungai di bawahnya. Termasuk ke Kali Kabur yang bentangan awalnya
bermula dari Mile 37 dari pusat pertambangan di Tembagapura hingga Banti.

Masyarakat Mimika menamai wilayah Utikini-Kimbely-Banti dengan sebutan
‘Atas’. Ini berkaitan dengan kondisi geografis dua daerah tersebut. Dua
kampung itu membelah bukit-bukit dan dataran tinggi. Ketika warga
berpelesiran ke tengah Kota Mimika, mereka disebut sedang ‘turun ke Bawah’.

Terlepas posisi itu, Utikini-Kimbely-Banti bukan wilayah yang sepi betul,
terlebih di tepian Kali Kabur. Limbah tambang dari PT Freeport yang masih
mengandung sekutip emas mengundang penambang ilegal ke lokasi tersebut tak
lama selepas Reformasi pada 1998.

Demam emas dari limbah tambang itu membuat warga dari luar Papua memepaki
tepian sungai dan kali di Mimika, termasuk Kali Kabur. Mereka mendulang
emas dari kali yang airnya kini kerap tak lebih dari satu meter. Kegiatan
ilegal itu, meski berkali-kali sempat ditertibkan, akhirnya menciptakan
ekosistem tersendiri.

Banyak warga pendatang tak hanya mendulang emas. Beberapa lainnya
berjualan. Mereka berdagang bahan makanan dan bahan pokok lainnya guna
kebutuhan pendulang.

Tempat dagangan atau kios-kios ini berdiri di sepanjang jalan di Kampung
Banti dan Kimbely di tepi Kali Kabur. Berjejeran dengan tenda-tenda
sederhana para pendulang.

Kegiatan mendulang tersebut juga akhirnya dicontoh warga lokal. Etty Waker
(29 tahun) seorang warga Kimbely, salah satunya. Lelaki suku Amungme itu
menuturkan, ia biasa mencari emas bersebelahan dengan warga pendatang dari
Sulawesi dan Jawa di Kali Kabur.

Menurut dia, selama ini jarang ada perselisihan di antara mereka. “Kita ini
masyarakat biasa-biasa saja. Kita ini mereka punya saudara,” kata Etty saat
ditemui *Republika* di Mimika, pekan lalu.

Hal serupa disampaikan Obaja Lawame (30 tahun). Ketika ditanyai soal
hubungan mereka dengan pendatang, ia lekas menyela. “Tidak-tidak, mereka
tinggal dengan kita. Mereka kita punya saudara,” katanya di Gedung Graha
Eme Neme Yauware, Mimika.

Lelaki yang juga tokoh masyarakat di Kimbely ini mengatakan, selama
beberapa tahun terakhir sejak para pendatang ke kampung halamannya,
kehidupan bermasyarakat di antara mereka terjalin cukup baik. Mereka saling
mengisi kebutuhan satu sama lain.

Ketua Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB) di Mimika, Imam Pradjono,
menuturkan, ada 90 warga suku Jawa yang mencari nafkah di dua kampung
tersebut. Sebagian besar pendulang, beberapa lainnya berjualan.

“Kita bukan orang baru di sana, sudah cukup lama. Ada yang satu tahun, ada
yang lebih dari lima tahun. Mereka ini bersahabat, keluarga kita yang
pendatang dengan masyarakat putra daerah yang di Banti dan Kimbely itu
keluarga, berbaur. Dengan orang Toraja dan sebagainya juga,” kata dia
kepada *Republika* di Mimika.

Hingga kemudian terjadi insiden pada 21 Oktober 2017. Aparat kepolisian
yang sedang berpatroli ditembaki saat melintas di Bukit Sanger, Kampung
Utikini. Dua anggota Brimob terluka. Penembakan kembali terjadi keesokan
harinya di lokasi yang sama. Kali ini, baku tembak mengakibatkan anggota
Brimob Yon B Mimika bernama Briptu Berry Permana Putra kemudian gugur.
Empat anggota Brimob yang mengevakuasi Briptu Berry juga menjadi korban
luka.

Pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka
(TPNPB-OPM) mengklaim sebagai dalang penembakan tersebut. Bukan itu saja,
mereka juga menjanjikan akan meningkatkan penyerangan di wilayah
Tembagapura dengan dalih merongrong keberadaan PT Freeport serta sebagai
upaya pembebasan Papua dari NKRI.

Sayap militer OPM tersebut sudah sejak lama beroperasi di pegunungan tengah
Papua. Pada 2014-2015, serangan-serangan kian terkonsentrasi di wilayah
pedalaman sekitar areal tambang PT Freeport. Kepolisian melansir, selain
sejumlah pasukan tewas dari kedua sisi, sebanyak 32 senjata api juga
dirampas kelompok bersenjata dari pihak kepolisian pada periode itu.

Komandan Operasi TPNPB-OPM III Timika, Hendrik Wanmang, menyatakan dalam
pernyataan resmi, mereka telah menyepakati pada 21 Oktober 2017 untuk
membalas perlakuan aparat keamanan Indonesia atas warga Papua. Wanmang jadi
salah satu yang menandatangani kesepakatan itu.

Bersamaan itu pula, Imam Pradjono mengklaim, ia kerap mendapat laporan via
telepon dari warga Jawa yang berada di Banti dan Kimbely bahwa mereka
disatroni kelompok bersenjata. “Kemudian orang Jawa ada yang sempat kena
pukul, dompet dirampas, uang diambil, HP diambil dengan tujuan agar tidak
bisa komunikasi dengan dunia luar,” ujar Imam.

Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom tak menampik ada perampasan telepon
genggam. Menurut dia, tentara-tentara TPNPB-OPM menyita sementara telepon
genggam itu agar para pendulang emas tak menghubungi kepolisian soal
keberadaan pasukan mereka.

Terlebih, mereka mendengar kabar bahwa pendulang dari luar disusupi aparat
keamanan. “Kami kumpulkan semua HP dan harta sementara saja,” ujarnya
kepada *Republika* via sambungan telepon.

Bagaimanapun, situasi terus memanas. Muncul isu adanya pemerkosaan terhadap
seorang perempuan warga pendatang. Pada Sabtu (4/11) hingga Ahad (5/11),
terjadi pembakaran terhadap kios-kios warga yang berada di seputaran asrama
Polsek Tembagapura di Mile 68.

Tenda-tenda rumah darurat para pendulang emas di pinggiran Kali Kabur, juga
dibakar. Polsek Tembagapura, sekira 500 meter dari Utikini-Kimbely-Banti
ditembaki. Bendera Bintang Kejora berkibar di salah satu bukit di Banti.

Suasana mencekam di Tembagapura dan sekitar lokasi tambang. Saling buru
antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata lalu menjadikan akses utama
menuju Utikini-Kimbely-Banti tertutup. Bahan makanan tidak bisa masuk.
Warga tempatan tak berani keluar.

Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar menyatakan, pada 11 November 2017,
Utikini-Kimbely-Banti telah dikuasai kelompok bersenjata. Sekitar 1.300
warga, menurut kepolisian, disandera kelompok bersenjata yang berkekuatan
sekitar 100 petempur dibekali 35 senjata api. Namun, benarkah ada
penyanderaan saat itu?



*Tentara mengevakuasi warga pendatang dari Kampung Kimbely ke Timika, Jumat
(17/11). (Jeremias Rahadat/Antara)*

*‘Mereka Kita Amankan’*

Raut-raut wajah menampakkan ketegangan dan kelelahan begitu turun dari bus.
Sejumlah 344 jiwa, mulai dewasa, perempuan, hingga anak-anak kala itu
diangkut dengan 10 bus milik PT Freeport Indonesia dari Kampung Banti dan
Kimbely.

Ratusan warga yang dievakuasi Satgas Terpadu TNI-Polri pada Jumat (17/11)
itu nyaris seluruhnya pendatang. Mereka gabungan dari banyak suku, mulai
Jawa, Toraja, hingga Batak dan beberapa lainnya. Hanya seorang pria dan
delapan anak-anak asli Papua dalam rombongan itu.

Tak sampai sepekan di Timika, pusat Kota Mimika, mereka langsung
dipulangkan ke daerah masing-masing. Kepolisian dan TNI mengklaim, ratusan
warga pendatang itu dibebaskan dari penyanderaan oleh kelompok kriminal
bersenjata alias KKB.

Namun, ada versi lain yang didapat *Republika* dari warga tempatan.
“Sandera-sandera itu tipu-tipu,” kata Soli Alom kepada *Republika* di Graha
Eme Neme Yauware, Timika, akhir pekan lalu. Lelaki 28 tahun itu terus
mengunyah buah pinang dan kapur sirih sepanjang berbicara dengan *Republika*
.

Soli mengernyitkan dahi mengingat-ingat, warga pendatang yang sebagian
berdagang bahan makanan dengan mendirikan kios-kios di tepian jalanan
kampung terus menerima ancaman sejak pertengahan bulan lalu. Beberapa
melaporkan ada perampasan bahan makanan, uang, hingga telepon genggam.
“Mereka takut terus lari ke kita (warga lokal). Mereka juga kita punya
saudara,” kata Soli.

Tak jauh dari Soli berdiri, Obaja Lawame ikut menimpali. Warga Kimbely ini
menyebut, krisis di Kimbely-Banti dimulai dari kontak senjata aparat
TNI-Polri dengan kelompok bersenjata sejak 8 Oktober.

Praktis sejak saat itu, menurut dia, akses utama menuju kampung di sana
terblokir. Pedagang tidak bisa mendapat bahan makanan dari “bawah”, sebutan
untuk Distrik Timika, dan warga terisolasi tidak bisa ke mana-mana.

Warga bertahan dengan makanan yang tersisa. Pada 22 Oktober, lelaki yang
ditokohkan di Kimbely ini mendapat kabar ada anggota Brimob bernama Briptu
Berry Permana Putra gugur tertembak.

Sejak saat itulah, menurut dia, keadaan kian tak aman dan semua warga
pendatang diajak untuk tinggal bersama warga lokal demi alasan keamanan.
“Kita kumpulkan jadi satu tempat, tapi bukan disandera. Kita kasihan
mereka, makanya kita amankan di kita punya rumah sambil kita tunggu jalan
buka,” ujar Obaja.

Dia mengatakan, situasi itu terus terjadi hingga beberapa pekan
selanjutnya. Persediaan makanan kian menipis sehingga mereka harus bertahan
berpekan-pekan dalam keterbatasan.

Obaja juga mengiyakan kelompok bersenjata merampas barang dagangan
masyarakat di kios, uang, hingga emas hasil pendulangan yang belum dijual.
Sebagian warga pendatang, menurut dia, tinggal di daerah yang kerap disebut
Longsoran di tepi Kali Kabur. Sementara perkampungan warga tempatan agak
masuk ke dataran yang lebih tinggi.

“Orang-orang ini, mereka punya tempat jualan itu, jualan itu di pinggir
jalan. Jadi orang OPM naik turun itu selalu ganggu-ganggu. Mereka naik
turun ada orang kios dipukul, ditodong, jadi mereka (pendatang) takut. Jadi
300 berapa orang itu kita tampung di rumah kita di dalam,” kata Obaja lebih
lanjut.

Ketua majelis gereja di Kimbely, Natanbagai (35 tahun) menekankan, yang
terjadi adalah warga asli di Kimbely-Banti ikut mengamankan para pendatang
dari gangguan kelompok bersenjata. Selama beberapa pekan dalam situasi yang
tidak kondusif, menurut dia, para pendatang bisa merasa cukup aman.

Situasi jadi pelik saat kios-kios warga yang berada di seputaran asrama
Polsek di Mile 68, Tembagapura, dibakar. Beberapa kios yang sudah tak
berpenghuni dibakar pada Ahad (5/11) dini hari. “Kalau tidak bawa ini semua
bahaya, (persediaan) makanan habis. Masyarakat minta turun karena ada
kontak senjata dan bahan makanan habis,” ujar Natanbagai.

Kisah lain pula muncul dari sisi para pendatang. Salah satunya, Desi Rante
Tampang (33). Wanita asal Toraja, Sulawesi Selatan, itu mengklaim telah
berjualan kelontong di areal pendulangan emas sejak 2014. "Puji syukur
kepada Tuhan karena kami sudah berada di tempat yang aman sehingga tidak
lagi ketakutan dan terintimidasi," kata Desi setelah dievakuasi pada Jumat
(17/11) seperti dilansir *Antara*.

Ia mengatakan, selama sebulan di “Atas”, kelompok bersenjata senantiasa
berpatroli dari rumah ke rumah dengan membawa senjata api dan senjata
tajam. Ibu tiga anak itu menuturkan, wajah para anggota kelompok bersenjata
tak bisa dikenali karena dilumuri cat hitam.

"Bila malam tiba kami semua dikumpulkan di satu rumah dan bila siang kami
kembali ke rumah masing- masing. Bila mereka datang, kami langsung masuk ke
dalam ruangan atau kamar karena takut," kata Desi.

Versi Polda Papua, tak hanya intimidasi, warga pendatang juga mendapatkan
pelecehan seksual. Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Mustofa Kamal
menuturkan, warga yang mengalami pelecehan seksual oleh KKB di area
Longsoran sebanyak lima perempuan atas nama EK, T, HY, D, dan L. Sementara
korban kekerasan seksual di kampung Kimbely atas nama R, MM, LL, S, RK, I,
dan ML.

Data warga yang dianiaya dan ditodong dengan senjata api sebanyak 19 orang.
Warga yang dirampas telepon genggamnya sebanyak 74 orang dengan jumlah
barang bukti 200 unit telepon.

Total uang yang dirampas kelompok bersenjata senilai Rp 107,5 juta. Jumlah
paling kecil yang dirampas senilai Rp 500 ribu milik pendatang berinisial
P, dan yang paling besar Rp 30 juta miik pendatang berinisial B. Sedangkan
total emas yang dirampas seberat 254,4 gram. Yang paling ringan, milik YP
seberat 5,4 gram, dan paling banyak milik YM seberat 100 gram.

Situasi yang lebih kompleks disampaikan Ketua Kerukunan Keluarga Jawa
Bersatu (KKJB) di Mimika, Imam Pradjono. Dalam tamsil, ia mengatakan, ada
sentimen tertentu juga di warga lokal Kimbely dan Banti.

Sejumlah saksi mata juga mengatakan, simpatisan Papua merdeka tak sekadar
20-an orang seperti yang diklaim kepolisian. Jumlahnya ratusan dan sebagian
berbaur dengan warga lokal.

“Orang-orang yang di seberang sana, yang sehati, tapi berseberangan
pandangan itu menyandera orang kita,” ujar dia kepada *Republika*. Menurut
dia, nyaris sebulan penuh warga pendatang tak boleh bekerja. Tak boleh
keluar dari perimeter yang ditetapkan kelompok bersenjata di Kimbely-Banti.

Komandan Operasi TPNPB-OPM III Timika, Hendrik Wanmang mengklaim, yang
mereka lakukan hanyalah menjaga agar warga Kimbely-Banti tak masuk dalam
wilayah tempur dengan TNI-Polri. Pihak TPNPB-OPM juga menyatakan, kios-kios
yang disatroni juga milik mereka yang terindikasi bekerja sama dengan
TNI-Polri. Menurut mereka, tak ada pemerkosaan.

Bagaimanapun, pada Jumat (17/11), pihak TNI-Polri merasa cukup. Operasi
penyerbuan digelar. Operasi yang kemudian memunculkan versi berbeda pula.

*Para tentara anggota operasi penyerbuan ke Kimbely-Banti saat menerima
penghargaan, Ahad (19/11). (dok. Puspen TNI)*

*Misteri Dua Jenazah di Bukit Kimbely*

Pernak-pernik khas suku-suku di pegunungan Papua menggantung di leher
Kamaniel Waker. Mulai dari taring babi hutan hingga tas rajut kecil
menghiasi dada pria berumur 49 tahun itu. Ia ditemui *Republika* ketika
tengah mengordinasi para pengungsi di Graha Eme Neme Yauware, Distrik
Timika, Mimika, pekan lalu.

Tangannya liat dan berotot sewarna kayu jati, genggamannya keras saat
bersalaman. Sorot matanya yang tajam, jenggot lebat di wajah, memunculkan
kesan tegas. Namun, ketika diajak berbinjang, keramahannya muncul. Ia
beberapa kali tertawa di sela-sela pembicaraan.

 “Kalau mereka lapar, saya lapar. Kalau mereka mati, saya mati.” Kamaniel
mengingat bagaimana ia harus terus mengulangi kata-kata itu di hadapan
saudara-saudara satu sukunya yang telah menggabungkan diri dengan
TPNPB-OPM.

Ada keponakannya dan sepupu di antara mereka. Ayub Waker yang disebut
memimpin para petempur TPNPB-OPM di Mimika, kata Kamaniel, adalah pamannya.

Sambil pasang badan, Kamaniel mengatakan, ia harus dibunuh dulu sebelum
para pendatang beretnis  Jawa, Toraja, Buton, Bugis, dan Batak, yang ia
lindungi di Kampung Kimbely dan Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Mimika,
dihabisi kelompok bersenjata.

“Lebih saya mati sama kamu orang, dari pada sama orang lain,” kata Kamaniel
kepada kelompok bersenjata. Ia berupaya meyakinkan petempur-petempur
TPNPB-OPM, para pendulang emas ilegal tersebut warga biasa. “Mereka kamu
orang punya masyarakat, tentara (Indonesia) punya masyarakat.”

Baku buru antara TNI-Polri dengan kelompok bersenjata TPNPB-OPM telah
membuatnya dalam posisi sulit sejak pertangahan Oktober lalu. Sebagai
kepala suku umum yang melingkupi suku-suku di Mimika, ia wajib melindungi
puaknya.

Kamaniel juga merasa berkewajiban melindungi warga pendatang pendulang emas
di Kali Kabur yang belakangan kerap diganggu kelompok bersenjata.

Ia meyakini, perang semestinya hanya antara para petempur dari kedua sisi.
Warga sipil tak boleh diganggu. Kamaniel mengklaim sempat dicap pengkhianat
oleh anggota kelompok bersenjata terkait sikap itu. “Dia orang tembak saya
empat kali,” kata Kamaniel kepada *Republika*.

Kemudian datang pagi hari itu. Pada Jumat (17/11), pukul 07.00 WIT, pasukan
TNI memasuki desanya saat anggota TPNPB-OPM yang berjaga-jaga di pintu
masuk menuju Utikini dan di dalam Kimbely-Banti mundur ke pos-pos mereka di
bukit-bukit yang mengitari kampung.

“Mereka (TNI) kasih tahu masyarakat tidak boleh lari dan harus pasang
Merah-Putih,” kata Kamaniel. Pukul 08.00 WIT, kata Kamaniel, sekitar 300
warga pendatang diminta keluar dari rumah-rumah di Kimbely. Warga lokal
juga dikumpulkan di lapangan kampung.

Sementara itu, serangan dilancarkan. Kamaniel bersaksi, tentara melepaskan
tembakan dengan senjata api ke arah gunung-gunung hingga sekitar pukul
09.00 WIT. “Mereka juga tembak bom pakai meriam,” kata Kamaniel.

Ketakutan, warga kampung tetap di posisi mereka hingga serangan selesai.
Aparat kemudian menguasai lokasi sekitar pukul 11.00 WIT. Sebanyak 335
warga non-Papua di Kimbely-Banti beserta satu pria dan delapan anak Papua
lalu dievakuasi berjalan kaki keluar kampung dan dijemput menggunakan
sejumlah bus di Polsek Tembagapura.

Versi resmi dari Komando Daerah Militer (Kodam) XVII/Cendrawasih, sekira
lima hari sebelum evakuasi 13 personel Kopassus dan 10 personel Kostrad
sudah mengintai lokasi. Hadir juga Peleton Intai Tempur Kostrad bersama
Batalyon Infanteri 754/Eme Neme Kangasi yang masing-masing berkekuatan 10
personel.

Mereka mengendap dan memantau pergerakan kelompok bersenjata yang disebut
membaur dengan warga lokal. Pada Jumat (17/11) pagi, saat anggota kelompok
bersenjata naik ke pos masing-masing di bukit, tentara merangsek masuk ke
Kimbely dan Banti sembari menghalau kelompok bersenjata dengan
tembakan-tembakan.

Sehari setelah evakuasi, aparat kemudian melakukan penyisiran. Dua jenazah
di temukan di gunung-gunung yang ditembaki sehari sebelumnya. “Ada dua
orang mati ditembak pakai bom,” kata seorang warga Kimbely, Soli Alom (28
tahun), kepada *Republika* di Timika, pekan lalu.

Pihak Kodam XVII/Cendrawasih mengklaim keduanya anggota kelompok kriminal
bersenjata. "Satu orang menggunakan kaos loreng TNI celana hitam sampai
lutut, pakai sepatu *boot*, dan ikat kepala Bintang Kejora. Yang satu lagi,
celana selutut tanpa baju, sepatu *boot* karet, noken Bintang Kejora,"
tutur Kepala Penerangan Kodam XVII/Cendrawasih Letnan Kolonel Infantri M
Aidi.

Sedangkan Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom berkeras, keduanya adalah
warga sipil. “Kami mengklarifikasi bahwa mereka adalah warga sipil yang
berada di Kimbely.  Itu adalah pelanggaran HAM dan Indonesia harus
bertanggungjawab,” ujar Sambom dalam pernyataan resmi, pekan lalu.

Menurut Kamaniel, kenyataannya berada di tengah-tengah. Salah satu yang
tewas, seingat Kamaniel, adalah Ilame Waker. Ia berusia sekitar 20 tahun.
“Dia *bapak ade* (paman) punya anak,” kata Kamaniel. Menurutnya, Ilame
memang petempur TPNPB-OPM. “Dia pegang senjata.”

Lain halnya dengan korban lainnya, Berina Waker yang seumuran dengan Ilame.
Seperti Ilame, Berina juga sepupu Kamaniel. Ia menuturkan, Berina sedianya
seorang pendulang emas yang kerap bekerja bersisian dengan para pendatang.

Saat krisis di Kimbely-Banti, Berina beberapa kali naik ke bukit-bukit
menemui saudara-saudara anggota kelompok bersenjata. Saat terjadi
penyerangan dan evakuasi warga oleh TNI, Berina kebetulan berada di lokasi
yang jadi sasaran tembak. “Dia tidak bisa turun.”

Pihak TNI mengklaim, kedua jenazah kemudian diserahkan ke suku mereka untuk
dibakar sesuai adat tempatan. Sedangkan menurut Kamaniel, bukan karena
ritual jenazah mereka dibakar. “Kulit sudah terkupas semua, tulangnya
kelihatan,” kata Kamaniel merujuk kondisi jenazah.

Selepas penemuan jenazah itu, perburuan kelompok bersenjata masih terus
dilakukan. Suara-suara tembakan masih kerap terdengar dari Kimbely dan
Banti. Tak mau ambil resiko, Kamaniel merayu sekitar 800-an warganya turun
mengungsi ke Timika, pusat kota Mimika.

”Babi sama kebun kita tinggal semua,” ujarnya. Meski begitu, ada sebagian
yang tak hendak turun dengan dalih menjaga ternak.

Sebagian mengungsi di Graha Eme Neme Yauware, lainnya di ke Kampung Damai
di Distrik Kwamki Narama. Mereka menempati Gereja GKII wilayah II
Pegunungan Tengah Papua Jemaat Anugerah.

Kamaniel mengatakan, sebagian pengungsi yang tidak memiliki keluarga di
Timika akan direlokasi ke lahan di Mile 32, Distrik Kuala Kencana. Situasi
di atas yang tak menentu membuat Kamaniel merasa perlu adan tempat baru
untuk penghidupan yang lebih layak dan keberlanjutan pendidikan anak-anak
Banti, Kimbely, dan sekitarnya.

Namun tak semua warga suku membagi keinginan itu. Belum sepekan, pengungsi
sudah merindukan dataran tinggi yang lebih sejuk. “Saya *su* (sudah) tidak
kuat panas di sini,” kata Agustina, seorang warga Kimbely kepada *Republika* di
halaman Gedung Eme Neme Yauware pekan lalu.

Kehidupan di Kampung Kimbely, kata perempuan Amungme berusia 40 tahun itu,
adalah surga meski penuh kekurangan. Dia juga memikirkan kelanjutan
pendidikan empat anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, yang
juga ikut turun ke pengungsian.

Harapannya sederhana, agar kedamaian di kampungnya bisa dipulihkan kembali
dengan cara sebaik-baiknya. “Tuhan kasih saya tempat ini (Kampung Kimbely).
Tuhan yang kasih kau jaga saya punya gunung,” ujar dia. n

Kirim email ke