https://www.antaranews.com/berita/671852/mantan-dirjen-hubla-akui-
kontrak-kerja-penuh-rekayasa
Mantan Dirjen Hubla akui
kontrak kerja penuh rekayasa
Senin, 18 Desember 2017 17:05 WIB
Mantan Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Kemenhub Antonius Tonny Budiono
tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis
(5/10/2017). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
.... saya tertibkan itu, tapi saya khilaf masih terima uang."
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut
Antonius Tonny Budiono mengakui bahwa kontrak yang dibuat antara
Kementerian Perhubungan dengan kontraktor terkait pekerjaan di
Direktorat Perhubungan Laut penuh rekayasa.
"Saat saya jadi direktur memang namanya kontrak di perhubungan laut
penuh rekayasa evaluasi," katanya, saat bersaksi di pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Tonny bersaksi untuk terdakwa Komisaris PT Adhiguna Keruktama Adi Putra
Kurniawan yang didakwa menyuap Direktur Jenderal Perhubungan Laut
Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono senilai Rp2,3 miliar
karena terkait pelaksanaan pekerjaan pengerukan pelabuhan dan Surat Izin
Kerja Keruk (SIKK).
"Saya melihat proyek pengerukan sudah ada kavling-kavlingnya, makanya
sejak saya menjadi Dirjen Hubla, saya tertibkan itu, tapi saya khilaf
masih terima uang," ungkap Tonny.
Dalam dakwaan disebutkan Adi Putra Kurniawan membuka beberapa rekening
di Bank Mandiri menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) palsu dengan nama
Yongkie Goldwing dan Joko Prabowo,
Dalam periode 2015--2016, Adi membuat 21 rekening di bank Mandiri cabang
Pekalongan, Jawa Tengah, dengan nama Joko Prabowo agar kartu transaksi
otomatis di mesin bank (/automatic teller machine//ATM)-nya dapat
diberikan kepada orang lain.
Adi memberikan kartu ATM itu, antara lain kepada anggota lembaga swadaya
masyarakat (LSM), wartawan, preman di proyek lapangan, rekan wanita dan
beberapa pejabat di Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Tonny juga mengakui ada pegawai di Ditjen Hubla Kemenhub yang
mengumpulkan uang untuk diberikan kepada auditor dari Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), termasuk yang menjabat selaku pejabat pembuat komitmen
(PPK) proyek.
"Siap, PPK Agus Widoyoko sebagai PPK Pengerukan Kapal datang ke ruangan
saya, menghubungi beberapa galangan kapal dan minta uang satu persen
dari harga total untuk keperluan tim BPK. Saya katakan jangan layani
karena bukan kelaziman. Itu laporannya 2017, tapi sebelumnya juga sudah
dimintai uang satu persen," ungkapnya.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Tonny juga diakuinya bahwa menjadi
staf ahli Menteri Perhubungan, ia pernah dilapori oleh Yance (PT Dumas)
dan Abi (PT Citra Shiyard) bila mereka dimintai uang oleh Fini senilai
satu persen dari nilai proyek,
Fini, yang disebut Tonny, kini Kepala Bidang Logistik atau Kepala Bidang
Operasi Distrik Navigasi Bitung.
Tonny lalu menyarankan Yance dan Budi agar tidak memenuhi permintaan
Fini, yang saat itu menjabat sebagai PPK mengadaan kapal di Direktorat
Navigasi Kemenhub.
Ia mengemukakan mengetahui jika permintaan uang untuk memenuhi
permintaan BPK itu agar Kementerian Perhubungan mendapat opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP) dari Fini sendiri.
Fini, dikemukakannya, sering menceritakan kepada beberapa orang, seperti
Agus Widoyoko (PPK sekarang) maupun kepada kontraktor langsung jika
pihak BPK minta uang.
Orang BPK yang melakukan audit pada Kementerian Perhubungan adalah Yudi
Bawono, Yasrul, Agung Firman Sampurna. Fini biasa meminta kepada
kontraktor proyek dengan nilai di atas Rp10 miliar.
Selain pemberian ke BPK, Tonny juga mengakui ada pemberian uang kepada
Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres) senilai Rp100 juta hingga Rp150
juta.
"Ada kegiatan yang tidak ada dana operasioanlanya, termasuk untuk
Paspampres, setiap peresmian oleh Presiden harus dikawal oleh
Paspampres, dan kita berkewajiban menyediakan dana operasioanl untuk
Paspampres," katanya.
Dalam BAP no 34, Tonny mengakui ada pemberian kepada Paspampres senilai
Rp100 juta hingga Rp150 juta per kegiatan. Pada 2017 ada dua kali acara,
dan Tonny menyerahkan uang kepada Direktur Kepelabuhan Mauritz dan
stafnya bernama Rasyid.
"Ini uang yang saya kumpul-kumpulkan dari kontraktor, yang saya simpan
di rumah," demikian
Antonius Tonny Budiono.
Adi Putra Kurniawan didakwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf b atau
pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya,
yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling
singkat suat tahun dan paling lama lama tahun ditambah denda paling
sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2017