Eric Stover, Investigator HAM:

Masalah Menanti jika Kita Enggan Membahas Pelanggaran HAM Masa Lalu
Eric Strover telah lebih dari 40 tahun menginvestigasi pembantaian serius di 
pelbagai penjuru dunia, termasuk di Rwanda dan Kamboja. tirto.id/Teguh Sabit 
Purnomo  Reporter: Aulia Adam 19 Desember, 2017  7:30 menit  
"Kekuasaan itu korup," kata Stovler, "karena itu, penguasa enggan mengakui 
kesalahan pelanggaran HAM di masa lalu." Memang agak mustahil untuk mengadili 
pemerintah atas kesalahan pelanggaran HAM masa lalu, tapi Anda harus terus 
berupaya atas nama humanisme. tirto.id -  Nama besarnya tak dibangun dalam 
semalam. Eric Stover adalah penggiat hak asasi manusia yang dikenal karena 
totalitas kerjanya mengungkap pelanggaran HAM di sejumlah negara. Selama lebih 
dari 40 tahun terakhir ia menginvestigasi pembantaian serius di antaranya di 
Bosnia, Kroasia, Argentina, Yugoslavia, Rwanda, dan Guatemala.. Di Asia, ia 
memantau Kamboja, Filipina, dan Myanmar.

 Dalam dunia HAM, Stover dikenal atas sumbangsihnya lewat keahlian di bidang 
forensik dan psikologi. Selain fokus mengungkap kejahatan HAM di banyak negara, 
secara personal, ia juga punya ketertarikan personal untuk membantu keluarga 
korban melewati beban. Riset-risetnya membantu International Campaign to Ban 
Landmines mendapat Anugerah Nobel Perdamaian 1997.

 Senin pertama Desember ini, Aulia Adam dan M. Faisal Reza Irfan dari Tirto 
bertemu dengan Stover. Profesor kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, ini 
berbagi pengalamannya merawat HAM. Terutama bagaimana kita harus bersikap di 
era selentingan berita palsu dan hoaks yang memecah belah semua kelompok.

Well, sedang apa di Indonesia? Ada yang sedang diteliti?

 Oh, enggak, enggak. Kebetulan ada undangan jadi pembicara di sini. Besok saya 
bakal bicara di salah satu kampus di Aceh. Ya, tentang hak asasi manusia. Tapi 
tidak spesifik tentang yang terjadi sini.

Anda lahir di sini, di Palembang, tepatnya. Bisa ceritakan bagaimana orangtua 
Anda bisa sampai ke Indonesia?

Saya lahir di sini September 1952. Ayah saya bekerja sebagai ahli mesin untuk 
perusahaan minyak di Palembang. Yang menarik, waktu ibu saya hamil, ia sakit 
parah dan hampir mati. Tapi saya lahir dan ibu saya bertahan. Jadi, cerita 
tentang Indonesia selalu punya ruang sendiri di keluarga kami. Tapi, saya 
pindah ketika umur dua tahun. Jadi, bahasa Indonesia saya sama sekali enggak 
bagus. Tapi seenggaknya, saya sudah tiga kali kembali ke sini. Kerjaan paling 
banyak saya di Asia sebenarnya di Kamboja, Filipina, dan Myanmar.

Anda telah lama bekerja untuk isu hak asasi manusia. Berkunjung dan melihat 
keadaan banyak sekali negara, seperti yang Anda sebut: Filipina, Kamboja, 
Myanmar, bahkan Rwanda, Yugoslavia, dan lainnya. Adakah syarat tertentu yang 
Anda lihat ketika memutuskan mendatangi negara-negara itu?

 Pada dasarnya, pekerjaan saya adalah investigator kasus-kasus HAM. Kadang saya 
memang meneliti. Tapi saya lebih sering bekerja sebagai investigator. Sudah 
bekerja di bidang ini selama kurang lebih 40 tahun karena bermula ketika saya 
bergabung dengan Amnesty International di London pada pengujung 1970-an. 

Dari dulu yang paling membantu saya adalah organisasi-organisasi lokal. Mereka 
yang paling penting. Karena mereka yang merekam pertama kali kasus-kasus HAM di 
negara-negara itu. Misalnya, mereka dengar sesuatu, dan kau bisa datang 
membantu mereka. Jadi, biasanya saya datang dengan bantuan profesional untuk 
bantu mereka. Misalnya forensik. Itu area yang paling saya kuasai.

 Saya kasih contoh. Di New York, di penjara-penjara pada awal 1990-an, disebut 
holding station di Amerika Serikat—ketika orang-orang diangkut dari jalanan 
pada malam hari untuk dibawa ke holding station, lalu keesokan harinya mereka 
dikenakan sanksi. Holding station adalah tempat yang buruk karena isinya 
orang-orang mabuk, dan di sana mereka dirantai sampai pergelangan tangannya 
luka-luka, tubuh mereka jadi sasaran pukulan. 

Jadi, suatu ketika, ada seorang pendeta datang ke sana, dan dia melihat 
luka-luka itu. Dia melapor ke organisasi HAM lokal waktu itu, dan aku membawa 
ahli saraf ke sana. Kami melihat apa yang bisa dilakukan di sana, dan memeriksa 
orang-orang yang sudah dibebaskan untuk melihat sejauh mana kerusakannya. Kami 
menerbitkan laporannya, yang menyatakan bahwa praktik ini harus segera 
dihentikan. Sebulan kemudian, pemerintah mengeluarkan aturan untuk menutup 
praktik itu.

 Kebanyakan pekerjaan saya bermula di Argentina. Kalian mungkin tahu, cerita 
tentang orang-orang hilang di sana, diculik militer. Ada pembantaian 
besar-besaran di sana. Jadi, ketika pemerintah sivpil berkuasa pada 1983, aku 
diminta untuk datang membawa tim forensik untuk melatih mahasiswa di 
universitas untuk melakukan pemeriksaan, arkeologi, dan lainnya. Sehingga kau 
jadi punya bukti untuk dibawa ke pengadilan.

 Jadi itu yang saya lakukan di Argentina, Chili, Peru, Guatemala, dan 
lainnya—bekerja sama dengan organisasi lokal dan membawa ahli-ahli sains untuk 
menemukan bukti.

Bagaimana Anda mendapat informasi tentang kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM?

 Kebanyakan saya mendapatkan informasi dari organisasi lokal, yang adalah 
korban langsung. Dan harus memperoleh rekomendasi dari hakim untuk masuk dan 
mengusut kasus pelanggaran HAM. Karena kau tidak bisa masuk ketika pemerintahan 
militer berkuasa. Kau harus menunggu mereka tumbang. Tapi, pembantaian itu 
sudah jadi cerita rakyat. Dan investigasimu bisa mulai dari sana. Kau bakal 
menemukan peluru, bisa mengecek tengkorak-tengkorak. Dan ambil DNA dari tulang, 
lalu cocokkan dengan DNA keluarga.

 Bagi saya, yang menarik dari pekerjaan ini adalah bekerja sama dengan para 
keluarga. Yang kau lihat adalah: mereka sebenarnya tak pernah tahu apa yang 
terjadi pada putri atau putranya. Dan mereka hidup di dimensi penyangkalan, 
sebab mereka tak tahu apakah keluarganya memang benar-benar mati atau hanya 
hilang. 

Ketika tim masuk ke Guatemala, para penduduk desa membantu mereka menurunkan 
barang-barang, menyediakan makanan, dan berinteraksi dengan para mahasiswa ini. 
Mereka merasa lebih dekat dan terbantu karena sebelumnya militer lebih seram 
dan tak tersentuh. Dari keluarga ini, para mahasiswa juga bisa meminta rekaman 
kesehatan dari para korban, atau bahkan menanyakan kamarnya, dan menemukan 
sisir. Minta izin mengambil rambutnya dan melakukan tes DNA. Karena kini 
keluarga juga terlibat dalam proses ini, saya pikir pada akhirnya mereka juga 
terbantu melewati masa dukanya—masa untuk menemukan kebenaran tentang apa yang 
terjadi pada anak-anak mereka, suami-istrinya.

Apakah reaksi yang sama ditunjukkan semua negara-negara itu?

 Ya, di semua negara, keluarga-keluarga ini sama. Mereka ingin di sana, 
terlibat prosesnya, berpartisipasi.

Menarik, Anda menyebut bagaimana teknologi membantu pekerjaan Anda—bagaimana 
tes DNA menyuguhkan bukti baru. Selama 40 tahun ini, teknologi juga terus 
berkembang. Bagaimana Anda melihat perkembangan ini? 

 Saat ini, Amnesty International sudah punya digital verification 
court—pengadilan verifikasi digital. Isinya tim dalam kantor internasional 
mereka. Mereka punya enam universitas yang berkolaborasi dengan mereka. 

Di Universitas Berkeley di California, kita punya laboratorium investigasi hak 
asasi manusia; isinya enam puluh mahasiswa dari 20 negara—16 hingga 17 bahasa 
yang berbeda. Kami melatih mereka, (salah satunya) melihat video klip. Sebut 
saja di Suriah, sebuah rumah sakit yang diserang, seseorang merekam dan 
mengunggahnya di Facebook. Lalu, kami memverifikasi kota itu, dengan gambar 
dari video tersebut. Kau bisa meng-geolokasi objeknya, membandingkannya dengan 
foto-foto lama untuk menemukan kesamaan, lalu bisa pakai google maps pro, 
dan—whuzzz—memperbesarnya dan menemukan lokasi aslinya.

 Kami juga punya proyek Rohingya di Myanmar. Untuk memverifikasi foto-foto 
orang Rohingya yang mereka ambil dari ponsel mereka, dan kemudian menjadikannya 
bukti-bukti untuk pelanggaran yang terjadi di sana.

 Para mahasiswa ini sangat terlibat. Mereka jelas lebih canggih dari saya, 
karena saya sudah tua (Ha-ha-ha). Mereka sangat terlibat sebab merasa ingin 
melakukan sesuatu, khususnya karena iklim politik saat ini. Misalnya, mereka 
mencoba membuat linimasa dengan melacak ujaran-ujaran kebencian yang dilakukan 
para biksu radikal sejak 2012 dan mencoba mencari koneksinya dengan 
demonstrasi-demonstrasi besar yang terjadi di sana.

Jadi, teknologi pada dasarnya sangat membantu?

 Teknologi, seperti sains, bagi saya—karena saya bekerja sejak 1980-an—pasti 
sekarang sangat berbeda.

 Tapi, di saat bersamaan, teknologi juga bisa jadi masalah. Jika melihat 
Myanmar, kembali ke 1994-1995, ponsel belum jadi barang lazim seperti sekarang, 
hanya 40-45 persen yang punya. Sekarang, hampir 90 persen manusia zaman ini 
punya ponsel. Dan mereka punya Facebook di ponselnya. Di sana, pikiran-pikiran 
radikal tersebar mudah, dan orang-orang kini tidak lebih kritis tentang hal 
itu. Dan itu membuat penyebaran berita-berita palsu gampang dan tersebar cepat.

Hal itu juga terjadi di seluruh dunia, saat ini. Gelombang sayap kanan 
cenderung bangkit sekarang? Bukan cuma di Myanmar, di Indonesia pun terjadi. 
Bagaimana Anda melihat fenomena ini? 

 Kupikir itu terjadi karena ketakutan, dan tentu saja berita-berita palsu. 
Lihat saja Inggris dan Brexit. Dulu orang-orang ketakutan, dan lihat apa yang 
akan terjadi pada Inggris sekarang? Yang paling penting sekarang menurut saya 
adalah organisasi-organisasi lokal harus lebih gencar menyebar kesadaran bahwa 
fakta itu penting dan mengecek ulang fakta juga penting. Harus diperjuangkan, 
sekuat tenaga mungkin. Karena hal ini sangat bahaya sebenarnya.. Sosial media 
membuat kita tidak melihat ini.

 Ini sebenarnya yang terjadi di Myanmar. Untuk memahaminya, perlu diketahui 
bahwa mereka mengalami pergantian pemerintahan beberapa kali—dari kolonial ke 
militer selama 40 tahun. Jadi, orang-orang tidak terdidik. Saat saya pertama 
kali ke Burma, dan bicara tentang kondisi Afrika Selatan waktu itu, tidak ada 
yang mengerti. Jadi mereka semacam terinkubasi dan tertutup dari dunia luar. 
Saat mereka mulai terbuka, masuklah ujaran kebencian. Dan itulah kenapa 
organisasi lokal sangat penting, karena mereka bisa bilang: "Tidak, yang itu 
bukan fakta."

Kembali ke berbahayanya teknologi. Anda bekerja di banyak sekali negara, dan 
itu sangat berbahaya karena perbedaan hukum di setiap daerah. Dengan teknologi, 
pemerintah juga bisa memata-matai Anda dan pekerjaan Anda. Bagaimana menjaga 
diri tetap aman?

Well, para mahasiswa bekerja dari Berkeley jadi mereka sangat, sangat aman. 
Tapi kami punya program fellowship yag mengirim mahasiswa-mahasiswa ini ke 
seluruh dunia, dan kami sudah mengirim lebih dari 300 orang selama 22 tahun 
terakhir. Bagi saya sendiri, tahulah, kau akan belajar dengan sendirinya, 
karena ini bagian dari pekerjaanmu.

Pelanggaran HAM juga banyak terjadi di Indonesia. Hilangnya Wiji Thukul, 
pembunuhan aktivis Munir, kekerasan di Papua, pembantaian 1965, dan 
kelompok-kelompok minoritas yang disingkirkan secara paksa. Anda lahir di sini, 
bagaimana Anda memandang pelanggaran HAM di Indonesia?

 Sejujurnya, saya tak banyak tahu tentang situasi hak asasi manusia di 
Indonesia. Maksud saya, saya memang membacanya di koran, tapi jelas, saya butuh 
tahu lebih banyak dari itu. Berkaca dari  fokus saya, misalnya selama 3-4 tahun 
di Guatemala, 4-5 tahun di Kamboja, untuk mendokumentasikan pelanggaran di 
sana, saya sebenarnya punya tunnel vision tentang hal ini. Tapi saya memang 
tidak kapabel untuk bicara tentang Indonesia. Saya cuma tahu ada pembantaian 
masal di sini pada 1965. Tapi yang jelas, suatu hari, hal itu harus bisa 
dibicarakan secara damai di muka publik. 

Dalam pengalaman saya, hal ini memang terjadi di setiap negara, dan kalau kita 
tak berani melihat ke belakang, dan membahas hal yang memang tak mau kita bahas 
sebagai sebuah bangsa, akan ada masalah lebih besar di masa mendatang.

 Ini juga terjadi di AS untuk bertahun-tahun lamanya. Mereka tak mengakui apa 
yang terjadi pada suku asli Amerika, pembantaian terencana. Dan itu tidak 
diajarkan di sekolahan. Di Rwanda juga, misalnya dalam genosida pada 1994, 
pemerintah baru tak memperbolehkan hal itu didiskusikan di sekolah. Tapi itu 
berubah sekarang. Dan itu penting.

Dengan meningkatnya gerakan sayap kanan di seluruh dunia, ada isu-isu yang 
akhirnya jadi sensitif dan bahkan sangat mungkin menuai reaksi represif dari 
kelompok tersebut. Di Indonesia, misalnya isu komunisme dan LGBT. Dan hal ini 
bisa memicu pelanggaran HAM jika negara membiarkan. Adakah cara mencegah sebuah 
pelanggaran HAM sebelum hal ini terjadi?

 [Menghela napas] Ini pertanyaan yang susah. Ha-ha-ha. Tapi tetap bisa 
dilakukan. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain mengajarkan 
pluralisme. Interaksi jadi penting, menurut saya. Hal itu yang penting 
ditunjukkan pemerintah—sekalian menunjukkan imparsialitas pada kelompok 
manapun. 

Butuh banyak hal memang, tapi yang paling pertama dilakukan, menurut saya, 
adalah memecah gelembung-gelembung itu. Karena dari yang saya lihat di Amerika, 
sejak terpilihnya Donald Trump: yang konservatif tak lagi membuka diskusi 
dengan demokrat; dan sebaliknya. Karena sangat gampang untuk menghindar dari 
kelompok yang berbeda pandangan—itu psikologi sosial. Padahal, diskusi itu 
penting, agar tidak ada pihak yang merasa lebih benar dari pihak lainnya.

 Itu yang coba saya lakukan pada murid-murid saya. Ada suatu waktu kami harus 
mewawancara polisi, sebagian dari mereka langsung bilang, “Entahlah, kayaknya 
saya enggak mau ngomong sama polisi.” Tapi saya bilang, “Enggak boleh. Kamu 
harus. Dan kamu bakal belajar dari sana.” Mereka melakukannya, dan mereka bisa 
lihat bahwa polisi-polisi ini juga manusia biasa.

 Sangat penting untuk menembus gelembung-gelembung itu.

Akhir November lalu, Justin Trudeau menangis saat meminta maaf pada masyarakat 
LGBT Kanada karena penindasan yang dilakukan Kanada pada masa lalu. Tapi, tak 
banyak negara melakukan hal sama terhadap kasus HAM di tanahnya. Kira-kira apa 
yang membuat para pemimpin negara itu tak seberani Trudeau?

 Kekuasaan itu korup, kekuasaan itu menyeramkan. Sekali kau dapat kekuasaan, 
maka kau akan [sekeras mungkin] mempertahankannya. Tak peduli apa yang terjadi. 
Dari sini, tak heran apabila di Afrika banyak diktator yang muncul, menguasai 
pemerintah selama puluhan tahun, berperilaku korup, sampai menindas rakyatnya 
di samping memperkaya diri sendiri, keluarga, maupun kolega-koleganya. Ini hal 
yang sangat mengerikan.

 Lantas, kenapa pemerintah terkesan enggan mengakui kesalahan pelanggaran HAM 
di masa lalu? Ya, karena mereka tak mau diadili. Mereka tak ingin disalahkan 
atas apa yang dilakukannya. Mereka seolah suci walaupun rakyat sebenarnya tahu 
bahwa di tangan mereka, ratusan sampai ribuan orang merenggang nyawa, 
diperlakukan tidak adil, serta ditindas tanpa ampun. Mereka seolah suci 
meskipun rakyat paham siapa yang menghilangkan anggota keluarga mereka.

 Untuk itu, agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan merasa suci atas 
perbuatan yang dilakukan, diperlukan pengadilan. Kasus semacam ini sudah 
terjadi di Argentina ketika pengadilan membawa harapan saat rezim militer 
jatuh. Atau di Bosnia ketika si jagal Ratko Mladic diputus bertanggungjawab 
atas pembantaiannya kepada etnis muslim Bosnia. Memang terlihat sulit—jika tak 
ingin disebut mustahil—untuk menyeret pemerintah ke pengadilan. Tapi Anda harus 
terus berupaya atas nama humanisme.

Apakah pengadilan internasional hak asasi manusia benar-benar efektif?

 Saya pikir jawabannya: iya. Tapi, susah memang punya pengadilan demikian. 
Rwanda dan Yugoslavia pernah menghadapinya. Dan pengadilan ini dibentuk oleh 
Perserikatan Bangsa-Bangsa, jadi mereka punya kuasa cukup besar. Tapi 
sistemnya, kan, harus mendaftar—negara harus mendaftar. Dan mereka juga tak 
bisa menangkap (tersangka pelanggaran HAM), negaralah yang bisa. Tapi 
kebanyakan tak mau melakukannya. Jadi itu hambatannya. Menurut saya, dalam 
jangka panjang, pengadilan ini masih akan dibutuhkan, tapi memang perlu bantuan 
dari masyarakat pembela HAM.

Beberapa masyarakat kadang tak percaya apa itu HAM. Bagaimana pandangan Anda?

 Saya tidak bisa menyalahkan atas kondisi semacam itu. Tapi kita bisa melakukan 
banyak hal untuk menyampaikan pentingnya HAM kepada masyarakat. Kita bisa 
memanfaatkan platform-platform yang ada untuk mengedukasi masyarakat bahwa HAM 
bukan hal yang remeh. HAM adalah hal yang penting. 

 Baca juga artikel terkait  PELANGGARAN HAM atau tulisan menarik lainnya  M 
Faisal Reza Irfan  
(tirto.id - fri/fhr) 
SUMBER: 
https://tirto.id/masalah-menanti-jika-kita-enggan-membahas-pelanggaran-ham-masa-lalu-cBX1

Kirim email ke