Tiada Imlek Tanpa Simbol-Simbol Hoki 
https://tirto.id/tiada-imlek-tanpa-simbol-simbol-hoki-cESC Tongkat 
keberuntungan yang digunakan di kuil-kuil dalam ritual budaya Cina. Getty 
Images/iStockphoto 14 Shares    
mailto:?subject=Tiada%20Imlek%20Tanpa%20Simbol-Simbol%20Hoki&body=https://tirto.id:443/tiada-imlek-tanpa-simbol-simbol-hoki-cESC
 Reporter: Patresia Kirnandita 
https://tirto.id/author/patresiakirnandita?utm_source=internal&utm_medium=topauthor

 16 Februari, 2018dibaca normal 3:30 menit

 Hoki dan nasib baik adalah salah satu kunci perayaan Imlek
 Ada angpau merah dan pelbagai makanan yang menjadi simbolisasi hoki dan nasib 
baik dalam tradisi Imlek.

 
 
 tirto.id https://tirto.id/?utm_source=internal&utm_medium=Article - Tahun ini, 
Iboi (26) belum memastikan apakah ia akan kembali ke rumah orangtuanya atau 
tidak pada hari Imlek. Pasalnya, perayaan dari tradisi Cina ini tidak lagi 
memiliki makna mendalam bagi dia. Sudah seperti perayaan ulang tahun yang diisi 
makan-makan saja segelintir anggota keluarga saja kata Iboi.  

“Perayaan Imlek di keluarga gue udah nggak seintens 10-15 tahun lalu. 
Saudara-saudara yang jauh tinggalnya sampai datang ke rumah orangtua gue karena 
Oma dari keluarga nyokap tinggal di sana. Oma-lah yang cukup kuat megang 
tradisi ini karena dia asli keturunan Tionghoa, beda sama orangtua Bokap yang 
udah campuran [etnisnya]. Sekarang, cuma Om dan Tante anak-anaknya Oma ini yang 
suka dateng pas Imlek meski nyokap gue sendiri udah nggak ngerayain-ngerayain 
amat,” jelas mahasiswa jurusan Cultural Studies UI ini.

Ada alasan mengapa Imlek bagi Iboi atau ibunya tak dimaknai mendalam. Iboi 
bercerita, semenjak anak-anak Omanya menjadi penganut Kristen imbas belum 
diakuinya Konghucu sebagai agama, ritual tradisional Cina mulai ditinggalkan. 
Tidak ada lagi yang ke kelenteng atau membakar hio untuk berdoa, tidak ada lagi 
keyakinan teguh bahwa hal-hal tertentu membawa hoki.

“Kalaupun ada, itu cuma formalitas aja. Misalnya, makan ikan pas Imlek karena 
dianggap bawa hoki sama orang-orang generasi Oma. Macam sebagian orang Amerika 
merayakan Natal aja, buat kumpul-kumpul. Jadi ngerayain budaya makan dan 
ngumpulnya, bukan ngerayain kepercayaan,” imbuh laki-laki penggemar basket ini.

 Tahun Baru dan Nasib BaikMeski demikian halnya bagi Iboi, bukan berarti apa 
yang terhidang dalam perayaan Imlek sungguh-sungguh hidangan biasa. Ada makna 
di balik pilihan-pilihan makanan dan aktivitas yang biasa muncul kala Imlek. 
Hidangan ikan adalah salah satu contohnya. 

Menurut Agni Malagina, pengajar di Departemen Sastra Cina, Universitas 
Indonesia, kata “yu” digunakan untuk menyebut ikan, dan “yu” ini mirip dengan 
“yu” yang berarti melimpah.

Tidak hanya ikan, beberapa makanan lain 
http://uk.businessinsider.com/chinese-new-year-good-luck-foods-2017-1/?IR=T/#pomelos-2
 seperti mi, jeruk, ikan, dumpling, kue beras (niangao), lobak, dan 8 jenis 
manisan/permen juga diyakini mendatangkan nasib baik. 

Sederet kepercayaan terkait hoki lainnya mencakup aktivitas memberikan angpao 
http://www.xinhuanet.com/english/2018-02/12/c_136969947.htm, membakar kembang 
api dan petasan, membereskan rumah, serta menghiasi jendela dan pintu dengan 
ornamen merah 
http://www.aljazeera.com/news/2018/02/chinese-year-welcoming-year-dog-180212113347405.html.

Tradisi memasang ornamen merah dan membakar kembang api dipercaya berhubungan 
dengan legenda tentang makhluk jahat bernama Nian. Pada Tahun Baru, Nian akan 
meneror warga desa dan memakan hasil panen, ternak, bahkan anak-anak mereka. 
Untuk mengenyahkan makhluk separuh banteng dan berkepala singa ini, warga 
menggunakan api, membuat suara bising, dan memajang hal-hal berwarna merah 
https://www.rd.com/culture/color-red-chinese-new-year/.

Kekalahan Nian yang artinya kebahagiaan dan kemakmuran warga lantas diteruskan 
dalam tradisi Imlek dan simbol-simbol seperti warna merah dan api (yang 
diwakili petasan dan kembang api) dilekatkan dengan makna keberuntungan.

Sehubungan dengan konsep keberuntungan, Agni menyatakan bahwa hal ini merupakan 
bagian dari kebudayaan Tionghoa yang sangat erat dengan simbol-simbol harapan. 
Salah satu wujud pengungkapan harapan adalah ucapan “gōngxǐ fācái” yang artinya 
“semoga Anda bahagia dan sejahtera di tahun baru ini”.

Lebih lanjut Agni menjelaskan, ritual atau praktik budaya terkait keberuntungan 
dilakukan orang-orang Tionghoa pada saat beribadah. Di kuil, ada kebiasaan 
mencari tahu peruntungan di tahun baru dengan mendatangi peramal atau berdoa 
menggunakan kumpulan stik bambu yang disebut kau cim 
https://www.youtube.com/watch?v=kF78YrHiV7s. Stik-stik bertuliskan ramalan 
keberuntungan ini ditempatkan di satu wadah seperti gelas dan digoyangkan, lalu 
salah satu stik yang menonjol ditarik. Apa pun yang tertulis di stik yang 
menonjol tersebut akan mengisyaratkan nasib si pendoa.

Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul inisiatif membuat kau cim 
elektronik http://accesschinese.com/divination/kaucim/stick.php di internet. 
Bahkan di Hongkong, ada kuil yang menyediakan mesin kau cim otomatis  
http://www.scmp.com/news/hong-kong/education-community/article/2065697/fortune-telling-machines-underused-hong-kongbagi
 yang ingin diramal nasibnya.  

Selain dalam ibadah, konsep keberuntungan juga disematkan dalam puisi-puisi 
Cina yang digantung pada pintu-pintu rumah, demikian ditambahkan Agni. 
AngpauAngpau merah yang diberikan saat Imlek kepada keluarga yang belum menikah 
tidak hanya dianggap berhubungan dengan keberuntungan. Hal ini juga 
mengisyaratkan perhatian dan kemurahan hati si pemberi.

Sebagaimana pada Idul Fitri, sanak famili dari dua keluarga jauh yang merayakan 
Imlek dapat bertemu dan bertukar angpau untuk anak-anak mereka. Tidak semua 
keluarga berstatus ekonomi tinggi, karenanya muncul kemungkinan variasi jumlah 
isi angpau yang diterima anak-anak dan sikap membanding-bandingkannya.

Walau demikian, menurut Ira Lin (21), perempuan asal Fuzhou, Fujian, 
orang-orang sesungguhnya tidak membandingkan uang yang didapatkan. Namun, 
mereka tetap mengingat kira-kira seberapa besar isi angpau yang diterima dari 
pihak keluarga lain supaya nantinya bisa membalas dengan jumlah serupa. “Ini 
dilakukan untuk menghindari rasa malu,” ucap Lin yang biasanya menerima angpau 
Imlek sekitar 200-2000 yuan kepada South China Morning Post 
http://www.scmp.com/news/china/society/article/2133353/chinas-most-generous-lunar-new-year-gift-givers-stuff-us1900-each.
     

Sementara pengalaman He Li (22) dari Guangdong menunjukkan, isi angpau-angpau 
Imlek yang ia terima tergantung pada level kedekatan dengan pemberinya. Paman 
dan bibi dari garis keturunan ibu Li yang cukup intim dengannya biasanya 
memberikan angpau berisi uang 2000-3000 yuan, sedangkan orang-orang lainnya 
hanya 100-200 yuan.

Bila ada anggota keluarga yang tidak memberikan angpau, mereka tetap 
menunjukkan kepedulian dan semangat merayakan Imleknya dengan cara lain, kata 
Lin, misalnya dengan turut patungan membayari makanan yang dihidangkan dalam 
pesta keluarga.    

 share infografik

 Imlek dalam Perayaan Umat KristianiJika pengalaman Iboi menunjukkan pengaruh 
kepercayaan Kristen terhadap perayaan Imlek di keluarganya, lain cerita dengan 
yang terjadi di beberapa gereja, baik di Indonesia maupun di luar negeri. 
Mereka membawa perayaan Imlek dalam salah satu agenda misa tahunannya, seperti 
yang diadakan di Gereja St. Paulus, Bandung 
https://www.youtube.com/watch?v=ZMY3hMwX3SM pada tahun 2017 ().

Dalam situs katolisitas.org http://www.katolisitas.org/misa-imlek-bolehkah/, 
Ingrid Listiati mengatakan, ada gereja-gereja yang tidak mengadakan misa Imlek 
dengan alasan kebijakan uskup setempat berdasarkan interpretasinya atas ajaran 
Katolik. Sementara gereja-gereja lain yang tetap mengadakan misa semacam ini 
berlandaskan pada pemikiran bahwa misa Imlek semata- mata hanya perayaan syukur.

“Apalagi di Cina sana, Imlek itu juga berkonotasi dengan musim semi. Jadi, 
datangnya musim semi ini dirayakan sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Jika ini 
motivasinya, maka tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik, karena 
perayaan Ekaristi intinya juga adalah ucapan syukur,” tulis alumnus program 
magister Teologi Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, 
Amerika Serikat ini.

Imlek yang dikenal pula sebagai Spring Festival di Cina memang telah menjadi 
salah satu dari lima festival yang paling banyak dirayakan di dunia. Lazimnya, 
festival ini diadakan antara Januari-Februari, tergantung pada pergerakan bulan.

Spring Festival diyakini bermula sejak Dinasti Shang (1600-1100 SM). Kala itu, 
orang mempersembahkan sesuatu kepada para dewa dan leluhur di pengujung musim 
dingin. Baru pada tahun 1914, ketika Cina sudah menjadi republik, perayaan ini 
ditetapkan sebagai hari libur nasional di Cina. Tahun 1967, Spring Festival 
sempat dilarang https://www.livescience.com/61773-chinese-new-year.html selama 
Revolusi Budaya.

Kendati misa Imlek sebatas perayaan syukur umat Katolik, Ingrid tidak 
memungkiri ada kemungkinan pertentangan ketika gereja mengadakannya, khususnya 
terkait simbol budaya yang dibawa ke dalam gereja. Perayaan Imlek lekat dengan 
barongsai atau tarian naga, sementara dalam tradisi Katolik, naga berasosiasi 
dengan iblis. Karenanya, membawa tarian naga ke dalam gereja dipandang Ingrid 
tidak sesuai pada tempatnya. 

Baca juga artikel terkait PERAYAAN IMLEK 
https://tirto.id/q/perayaan-imlek-gJB?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword 
atau tulisan menarik lainnya Patresia Kirnandita  
https://tirto.id/author/patresiakirnandita?utm_source=internal&utm_medium=lowauthor
 (tirto.id - ita/msh)

 

Kirim email ke