*Apakah ada kekuatan politik yang sanggup membendung klik neo-Mojopahit
kembali ke oder baru a la Soeharto? *

https://kolom.tempo.co/read/1057720/jangan-kembali-ke-orde-baru?utm_source=Digital%20Marketing&utm_medium=Partnership&utm_campaign=Dable


Jangan Kembali ke Orde Baru

Selasa, 6 Februari 2018 06:30 WIB

0 komentar
<https://kolom.tempo.co/read/1057720/jangan-kembali-ke-orde-baru?utm_source=Digital%20Marketing&utm_medium=Partnership&utm_campaign=Dable#comments>

311123317

   -

   [image: Jangan Kembali ke Orde Baru]
   
<https://kolom.tempo.co/read/1057720/jangan-kembali-ke-orde-baru?utm_source=Digital%20Marketing&utm_medium=Partnership&utm_campaign=Dable>
   
<https://kolom.tempo.co/read/1057720/jangan-kembali-ke-orde-baru?utm_source=Digital%20Marketing&utm_medium=Partnership&utm_campaign=Dable>

Pangkostrad Mayjen Soeharto memberikan komando via RRI dalam penumpasan
Gestapu. Foto: Buku Kostrad, Sejarah dan Pengabdiannya

Setahap demi setahap tentara terkesan hendak kembali mengatur persoalan
masyarakat sipil. Nota kesepahaman yang diteken Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian dan Panglima Tentara Nasional
Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto semakin menguatkan kecenderungan itu.

Perjanjian enam lembar bertajuk "Perbantuan Tentara Nasional Indonesia pada
Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Rangka Memelihara Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat" tertanggal 23 Januari 2018 itu, antara lain,
menyebutkan perbantuan tentara dalam menangani unjuk rasa, mogok kerja,
kerusuhan, dan konflik sosial. TNI juga dilibatkan untuk "menjaga kegiatan
masyarakat dan pemerintah yang rawan ricuh".

Butir perjanjian pemimpin kedua institusi bersenjata itu mengancam
kebebasan menyampaikan pendapat, yang membolehkan adanya unjuk rasa dan
mogok kerja. Poin yang sama juga menyalahi prinsip pemisahan fungsi TNI dan
Polri. Konstitusi memberi kewenangan menjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat kepada kepolisian. Sedangkan militer bertugas mempertahankan
kedaulatan negara dari serangan luar.

Undang-Undang TNI pun jelas menyebutkan, tugas pokok TNI adalah menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, serta melindungi
bangsa. Pemisahan kedua institusi itu merupakan salah satu hasil terpenting
dari reformasi 1998. Aturan yang jelas tersebut semestinya tidak
ditafsirkan seenaknya dengan nota kesepahaman antara Panglima TNI dan
Kepala Polri, yang tidak memiliki kekuatan hukum.

Keterlibatan tentara dalam urusan sipil telah meruntuhkan kehidupan
demokrasi sepanjang Orde Baru. Dengan konsep Dwi Fungsi, militer masuk ke
birokrasi, politik, dan berbagai kehidupan sipil. Hak-hak asasi manusia
diberangus atas nama stabilitas. Kita semestinya tidak kembali ke zaman
kegelapan itu.

Dalih bahwa kerja sama dibuat untuk mengantisipasi tiga peristiwa besar
sepanjang 2018 bisa diabaikan. Kepolisian semestinya mampu mengamankan
pemilihan kepala daerah serentak, perhelatan Asian Games, dan pertemuan
Dana Moneter Internasional. Tentara sepatutnya berfokus pada fungsi
utamanya.

Pelibatan tentara dalam operasi non-perang hanya bisa dilakukan dalam
situasi darurat, misalnya dalam bencana alam besar. Pelibatan tersebut
merupakan keputusan pemerintahan sipil dan hanya berlaku sementara. Nota
kesepahaman jelas tidak boleh merusak pakem dan tatanan itu.

Usaha memasukkan tentara ke wilayah sipil telah berkali-kali dilakukan. Dua
tahun lalu Kementerian Pertahanan dan Markas Besar TNI menyusun draf
peraturan presiden yang berisi perluasan wewenang TNI. Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo-pendahulu Marsekal Hadi-melibatkan tentara dalam
urusan pangan melalui kerja sama dengan Menteri Pertanian. Marsekal Hadi
pun mengirim surat ke Dewan Perwakilan Rakyat, meminta agar tentara
dilibatkan dalam usaha pencegahan terorisme.

Presiden Joko Widodo, yang terpilih dengan dukungan luas masyarakat sipil,
sebaiknya menghentikan usaha memperluas kewenangan militer ini.

Kirim email ke