From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] 
Sent: Monday, February 19, 2018 10:58 PM
  



https://hukum.tempo.co/read/1062328/sulardi-dpr-yang-merendahkan-kehormatannya-sendiri



Sulardi: 
DPR yang Merendahkan Kehormatannya Sendiri 
Reporter: 
Tempo.co
Editor: 
Lestantya R. Baskoro
Senin, 19 Februari 2018 21:03 WIB 
 
Ketua DPR Bambang Soesatyo (ketiga kiri) bersama Kapolri Jenderal Tito 
Karnavian (kedua kiri), Ketua MPR Zulkifli Hasan (kiri) dan Ketua DPD Oesman 
Sapta Odang (kanan) menunjukan Nota Kesepahaman (MoU) DPR dan Polri usai 
ditandatangani di Komplek Parlemen, Jakarta, 14 Februari 2018. Nota Kesepahaman 
tersebut dilakukan dalam rangka peningkatan pengamanan di Lingkungan DPR RI. 
TEMPO/Fakhri Hermansyah

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berlogika bahwa mereka dipilih oleh rakyat dalam 
kurun waktu sekali dalam lima tahun melalui mekanisme pemilihan umum. Logika 
berikutnya, anggota DPR mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat, maka 
kedudukan mereka sangat terhormat. Karena sangat terhormat, mereka perlu 
dilindungi.

Perlindungan terhadap DPR sebagai institusi dan para anggotanya itu tertuang 
dalam revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan 
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan 
Rakyat Daerah (UU MD3), yakni Pasal 122 (k). Pasal itu menyatakan bahwa 
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat mengambil langkah hukum terhadap orang 
atau kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan Dewan. Pasal itu 
menunjukkan bahwa DPR telah bermetamorfosis, tidak hanya mempunyai kewenangan 
sebagai lembaga legislatif, tapi juga menjadi lembaga penegak hukum, yang 
merupakan ranah kompetensi kepolisian, jaksa, dan hakim.

Padahal, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur soal penghinaan 
terhadap pemerintah. Pasal 207 dalam undang-undang itu menyatakan bahwa siapa 
pun yang menghina kekuasaan atau suatu majelis umum dapat dihukum 
selama-lamanya 1,5 tahun kurungan.

Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-I/2006 
menyatakan bahwa penghinaan terhadap pemerintah, termasuk DPR, hanya dapat 
diterapkan berdasarkan pengaduan dari penguasa. Demikian juga penghinaan 
terhadap pegawainya menjadi delik aduan berdasarkan Putusan MK Nomor 
31/PUU-XIII/2015. Sulit dimengerti bila revisi UU MD3 ini dimaknai sebagai 
ketentuan spesialis atas peraturan generalis yang termuat dalam KUHP. Inilah 
yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai kekacauan dalam ketatanegaraan kita.

Di samping itu, begitu terhormatnya anggota DPR ini, sampai-sampai polisi tidak 
bisa sembarangan memeriksa anggotanya. Menurut UU MD3 baru itu, pemeriksaan 
baru dapat dilakukan setelah dipertimbangkan oleh MKD dan mendapat izin 
presiden.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "merendahkan" bersinonim dengan 
"menghina". Masalahnya, apabila kata "merendahkan" itu diperluas, artinya bisa 
bermacam macam. Sebab, menghina itu juga berarti memburukkan nama baik orang 
dan menyinggung perasaan orang, seperti memaki-maki.

Baca: Bambang Soesatyo Akan Buat Lomba Kritik DPR

Padahal, institusi DPR dan anggota DPR sering mendapat sorotan khalayak karena 
apa yang mereka lakukan itu bukan hanya untuk kepentingan dirinya, tapi juga 
untuk kepentingan yang diwakilinya, yakni rakyat. Bila kinerja anggota DPR 
tidak mencerminkan aspirasi rakyat, tentu saja hal itu akan mendapatkan 
tanggapan dari berbagai kalangan. Tanggapan rakyat itu beraneka macam isinya, 
seperti kekecewaan kepada para wakilnya yang tidak bekerja secara optimal. 
Ekspresi kekecewaan itu bisa diwujudkan dengan demonstrasi, menduduki gedung 
DPR, menulis di media massa, menyeminarkan, membuat petisi, melakukan 
konferensi pers, dan sebagainya. Jangan-jangan ekspresi rakyat semacam inilah 
yang dimaknai sebagai "merendahkan kehormatan", sebagaimana tertuang dalam 
Pasal 122 UU MD3.

Baca: Aliansi Nasional Tetap Minta Pembahasan RKUHP Ditunda

Akan terjadi keanehan yang luar biasa bila anggota MKD melaporkan rakyat ke 
polisi karena dianggap merendahkan kehormatan anggota DPR atau DPR hanya karena 
telah mengekspresikan kekecewaan atas kinerja mereka. Terjadilah kriminalisasi 
oleh DPR terhadap rakyatnya. Ironis, bukan?

Sesungguhnya, anggota DPR pasti mendapat kehormatan yang sangat tinggi bila 
mereka bekerja sesuai dengan apa yang dimaui rakyatnya. Misalnya, menyusun 
undang-undang yang berpihak kepada rakyat yang telah memilih mereka. Pastikan 
produk undang-undang itu telah menghormati, mengayomi, memenuhi kebutuhan, dan 
berkeadilan bagi rakyatnya.

Demikian halnya dalam menjalankan kewenangan yang lain. Kewenangan itu di 
antaranya menyetujui rancangan anggaran belanja negara yang diajukan oleh 
presiden dan mengawasi kinerja presiden. Bila semuanya diorientasikan kepada 
rakyat, para anggota DPR itu telah memberikan yang terbaik untuk rakyatnya dan 
pantas mendapat kehormatan dari para pemilihnya.

Namun, apabila yang dilakukan DPR itu 180 derajat berbanding terbalik dengan 
apa yang dimaui rakyatya, tanpa rakyat berdemonstrasi, tanpa rakyat memprotes, 
tanpa rakyat mengkritik, sesungguhnya DPR telah merendahkan kehormatannya 
sendiri karena tidak mampu menjalankan amanah dan mandat dari para pemilihnya. 
Karena itu, rakyat sebagai pemilik mandat dapat melaporkan kepada kepolisian 
bahwa anggota DPR dan atau DPR telah secara sah melanggar Pasal 122 (k) UU MD3.

SULARDI

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang








  • Fw: [GELORA45] Sulardi: D... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]

Kirim email ke