Daripada melantur soal tulah lebih baik digali saja isi kesepakatan Soekarno-Kennedy tentang bercokolnya Belanda di Papua terkait dengan situasi Asia Tenggara, khususnya Indocina saat itu. Sejauh mana kebenaran cerita seputar Freeport Sulphur yang lebih suka kasak-kusuk dengan Belanda di Papua? (konon FS ini perusahaan yang terlibat dlm rencana membunuh Fidel Castro). --- jetaimemucho1@... wrote: Saya tidak tahu pandangan Chan tentang Papua. Yang saya maksud pandangan anda sama dengan Chan adalah yang bersangkutan dengan gerakan rakyat dengan ormas-ormasnya. Chan jelas beberapa kali memperlihatkan sikap yang mencemooh dan meremehkan gerakan rakyat dan ormasnya. Anda juga pernah memperlihatkan sikap yang skeptis tentang gerakan dan ormas (anda menggunakan sebuah kata sifat yang sekarang saya lupa). Soal nation building sudah saya jelaskan pendapat saya. Yang saya komentari adalah hubungan antara nation building dengan resistensi.Dan resistensi itu cukup besar karena didukung oleh Belanda. Saya tidak bermaksud memperluas diskusi sampai soal Maluku, Aceh dsb. Tapi saya singgung itu untuk menunjukkan bahwa resistensi itu besar karena didukung kaum imperialis. Itulah yang saya tekankan. Dengan Papua juga sama. Anda melihat seolah-olah gerakan separatisme Papua besar karena propaganda dan lobby di parlemen negeri-negeri imperialis. Misalnya, tokoh Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn, menjadi pendukung besar Papua Merdeka. Di AS juga ada beberapa anggota Senat atau Kongres yang mendukung.Ah, soal tulah atau bukan tulah, tidak perlu didiskusikan. On Wednesday, April 4, 2018 6:24 PM, Jonathan Goeij wrote: Sekarang anda katakan saya sejenis Chan ha ha ha ha, biarpun mungkin ada persamaan pandangan pada beberapa hal tetapi khusus dalam kasus Papua ini saya rasa kok anda dan Chan pandangannya lebih mirip satu sama lain dibandingkan saya. Pembicaraan kita tentang Papua bukan yg lain shg pada saat saya menyinggung nasional building (dalam merespon bung Lusi) saya cukup memberikan kata "perkecualian beberapa" tanpa harus merinci daerah mana saja. Apakah anda juga bermaksud berdiskusi tentang Maluku, Aceh, dlsb itu? Menyinggung tentang Pembebasan Irian Barat, apakah bung Karno kena tulah perbuatannya sendiri, mengingat pembentukan Komando Mandala dgn Panglima-nya Jendral Soeharto, yg seperti membesarkan macan yang pd akhirnya memangsa tuannya sendiri.
On Wednesday, April 4, 2018, 2:55:17 AM PDT, Tatiana Lukman wrote: Nation building itu sebuah proses panjang, bukannya ces pleng, seperti goreng pisang. Nation building diperlukan karena memang Indonesia yang batas-batas wilayahnya diwarisi dari kolonialisme Belanda terdiri dari ratusan suku dengan adat, tradisi, kepercayaan, dan bahasanya sendiri. Bukan karena tidak adanya resistensi... Dan resistensi yang ada juga dikipasi Belanda. Anda rupanya tidak tahu RMS (Republik Maluku Selatan)? anda juga tidak tahu bahwa ketika KMB, Belanda bawa wakil dari negara-negara kecil yang diciptakannya.. Kemudian pemberontakan PRRI-Permesta. Jadi setiap separatisme di Indonesia, selalu ada imperialis di belakangnya...Sekarang anda berdalih Papua Barat tidak ikut nation building. Anda harus ingat pada tahun 60-an , Indonesia masih harus berjuang membebaskan Irian Barat. Dan tahun 65 terjadi kudeta militer Suharto. Itu fakta sejarah yang harus dipertimbangkan. Kedua, perkembangan kesadaran politik rakyat Indonesia tidak sama, maka itu partisipasinya pun tidak sama. Itu berkaitan dengan perkembangan ekonomi yang sejak semula berpusat di pulau Jawa. Kemudian ke Sumatra. Jawa dan Sumatra merupakan pusat kegiatan ekonomi dan juga politik. Jadi bukan hanya Papua yang terbelakang dalam ekonomi, kesadaran dan partisipasi politik... PIkiran anda hanya terpancang pada Papua, karena propaganda para intelektual yang memperjuangkan Papua Merdeka, apalagi di luar negeri. Padahal masih banyak sekali suku bangsa-suku bangsa di pulau besar dan kecil yang masih "ketinggalan", karena oleh para penguasa memang ditinggalkan melalui tidak adanya perkembangan yang berpihak kepada rakyat. Hanya perkembangan yang berpihak kepada rakyat yang dapat meningkatkan dengan cepat kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Pada jaman Sukarno, PKI dan ormas-ormas progresif dan kiri lainnya melakukan banyak pekerjaan pendidikan dan dengan demikan kesadaran politik rakyat meningkat. Ketika itu Indonesia dikenal sebagai negeri dimana rakyat relatif tinggi partisipasinya dalam politik. Sejak ORBA berkuasa, melalui massa mengambang, rakyat dibikin bodoh, tidak boleh berpikir, hanya ngekor pada versi resmi Suharto, dan sampai sekarang rakyat selalu dibodohkan... buruh kasar saja "import" dari Tiongkok, bukannya ditingkatkan ketrampilannya... Akhirnya hanya ormas-ormas yang progresif yang mengerjakan peningkatan kesadaran rakyat! Itupun tidak didukung oleh orang-orang seperti anda atau sejenis Chan. Bisanya hanya mencemooh dan mengejek! On Wednesday, April 4, 2018 5:50 AM, jonathangoeij@... wrote:Tidak disangkal memang adanya nasion building karena itu tidak ada resitensi berarti diberbagai daerah (dgn pengecualian beberapa) yg artinya memang benar daerah2 itu ingin membentuk kesatuan. Cuman yg jadi pertanyaan besar adalah apakah nasion building itu juga meliputi Papua? melihat sedemikian besar penolakan rakyat Papua bahkan sampai sekarang biarpun telah sekian puluh tahun menjadi bagian Indonesia kelihatannya nasion building itu tdk meliputi Papua, yg tertinggal hanyalah klaim kosong wilayah bekas jajahan sbg satu negara itu saja. Kalau kita lihat diseluruh dunia sebagian besar negara/kerajaan awal mulanya berdasarkan etnisitas, ada yg kemudian ekspansi menguasai negara lain yg berlainan etnis shg jadilah multi etnis, ada juga terjadi pendatang/imigran dari negara lain yg kemudian menetap for good shg ada istilah naturalisasi sedemikian juga warga negara itu yg pindah kenegara lain. Jadi ada asas ius soli atau ius sanguinis, kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran atau berdasarkan keturunan.keturunan. Kasus orang Tionghoa di Indonesia adalah kasus imigran dan keturunannya seperti yg umumnya terjadi diberbagai negara, sebagai contoh saya yg imigran di US melakukan naturalisasi sedangkan anak2 saya sejak kelahirannya sdh merupakan warga US. Jadi disini biarpun benar pada awalnya negara2 itu berdasarkan etnisitas, tetapi pd perkembangan berikutnya ada etnis2 lain yg ikut menjadi warga. Indonesia pd waktu lahir telah ada berbagai etnisitas didalamnya, karena itu didalam UU Warga Negara 1946 sifatnya inklusif mereka yg ada diwilayah Indonesia adalah warga Indonesia terkecuali menyatakan menolak. --- lusi_d@... wrote : Nimbrung sedikit: Kutipan kalimat Bung Jonathan di bawah: " . . . fakta sejarah pada dasarnya hanyalah klaim sepihak Bung Karno tanpa ada bukti apapun bahwa Papua adalah bagian Indonesia sebelum penguasaan Belanda". Atas dasar fakta sejarah apa dan darimana argumen bung pelajari hingga bisa menyimpulkan pengertian seperti itu? Sejarah kata Indonesia itu sendiri pun baru diucapkan orang pada periode zaman imperialisme, dalam wujud adanya kolonialisme Belanda di wilayah yang sekarang ini menjadi geografi Indonesia. Karena itu siapa saja yang bermukim di wilayah bekas koloni Hindia-Belanda itu, dalam perkembangan selanjutnya dan perjuangan sejarah rakyatnya untuk menentang kolonialisme Belanda telah melahirkan suatu nasion atau bangsa baru yang disebut Bangsa Indonesia atau dlm istilah ilmu bangsa-bangsa dinyatakan sebagai Nasion Indonesia, yang terdiri dari siapa saja yang bermukim di Indonesia, termasuk yang di Irian Barat yang disebut suku-suku bangsa atau rakyat Papua-Barat. Kalau kita mengikuti pendapat bung tentang teori etnis dalam memandang suku-suku bangsa di wilayah Papua-Barat, kesimpulannya pasti akan bertentangan sendiri dengan pandangan bung. Lalu mengapa suku bangsa Tionghoa yang bermukim di wilayah Indonesia juga disebut orang Indonesia? Itu jugalah sebabnya mengapa kita memiliki filsafat Bhineka Tunggal Ika disamping Pancasila. Salam Lusi.- Am Mon, 2 Apr 2018 20:48:26 +0000 (UTC) schrieb Jonathan Goeij : > Yang anda sebut fakta sejarah pada dasarnya hanyalah klaim sepihak > Bung Karno tanpa ada bukti apapun bahwa Papua adalah bagian Indonesia > sebelum penguasaan Belanda. Coba anda berikan analisa kelas anda yang > membawa kepada kesimpulan Papua bagian Indonesia, yg saya lihat dari > berbagai sudut seperti etnisitas, bahasa, budaya, dlsb orang2 Papua > tidak sama dgn Indonesia. Rakyat Papua pada dasarnya menganut sistem > komunisme, property adalah milik bersama, milik ulayat, masyarakat > tanpa kelas. Sedang Indonesia penganut sistem kelas, sistem kapitalis > murni, tanah adalah milik pribadi, makanya akan di-petak2 dikasih > sertifikat yg kemudian dgn gampang dgn duit ala kadarnya dipindah > tangankan. Transmigrasi memang salah pemerintah, para transmigran > sendiri adalah orang2 yang berusaha memperbaiki nasib. Tetapi apakah > adanya transmigrasi itu kemudian menjadi pembenar kolonialisasi > Papua? Mengapa anda sedemikian keras menolak referendum di > Papua?Bagaimana kalau para transmigran itu juga ikut referendum? Anda > masih menolak? > > > On Monday, April 2, 2018, 1:22:47 PM PDT, Tatiana Lukman wrote: > Anda tetap > tidak bisa menjawab dan memberi alternatif sebagai akibat > dari tidak mau mengakui fakta sejarah yang anda sepelekan dan > remehkan itu. Fakta sejarah bahwa Belanda tidak mau meninggalkan > Papua Barat juga ingin anda lupakan!! Yang menjadi pegangan anda > hanya "free choice" a la amerika!! Anda tidak pernah mendasarkan diri > pada analisa kelas. Makanya kita berada di dua barisan yang > bertentangan... Di samping itu, anda sendiri mengakui tidak ada > jaminan "kemerdekaan" Papua akan membebaskan rakyatnya dari > cengkeraman modal asing. Lantas buat apa mengorbankan nyawa bagi > sebuah gerakan yang tak tentu program dan perspektif hari depan bagi > rakyatnya sendiri... Dan juga harus diingat , sekarang ini di Papua > sudah ditinggali orang dari berbagai suku bangsa. Ini akibat politik > transmigrasi pemerintah. Jangan salahkan orang yang transmigrasi. > semua orang berusaha untuk memperbaiki hidupnya.. Pemerintahlah yang > tidak pernah dapat menyediakan pekerjaan bagi semua tenaga kerja. > Untuk itu diperlukan perjuangan untuk melahirkan perubahan yang > sesuai dengan kepentingan rakyat. Saya tahu orang semacam anda sangat > meremehkan gerakan rakyat karena masih kecil. Ya begitulah memang > potongan orang yang bisanya hanya mencela gerakan, dirinya sendiri > hidup mapan; mengeluarkan simpati dengan menandatangani petisi pun > tidak bersedia!! > > On Monday, April 2, 2018 8:41 PM, Jonathan Goeij wrote: > > Setiap orang didunia mempunyai godaan besar waktu di-iming2in > harta besar, sedemikian juga yg terjadi dgn para kepala suku ataupun > para pejabat Papua itu. Hal yang manusiawi. Dan makin lama jadi > wilayah Indonesia makin menular sikap korupsi itu, apalagi bagi para > kepala suku itu dgn gampang diframing sebagai pengikut Papua Merdeka > kalau menolak "pembangunan" yang artinya "harta atau nyawa" menolak > harta akan kehilangan nyawa. Tidak ada jaminan tidak akan diserahkan > kemodal asing, tetapi setidaknya itu atas pilihan sendiri free > choice, juga baik pembagian hasil ataupun pajak akan diterima orang > Papua sendiri tidak dijadikan bancakan Jakarta. > > On Monday, April 2, 2018, 11:15:45 AM PDT, Tatiana Lukman wrote: > Kalau sudah dimulai dengan mengabaikan fakta sejarah dan tidak mau > mengakui wilayah yang diwarisi dari jaman kolonial, ajukan pikiran > genial anda untuk membuat batas-batas wilayah sesuai dengan fakta > sejarah sebelum kolonialisme Belanda!! Dan apa jaminannya Papua yang > "merdeka" tidak diserahkan oleh para pemimpinnya kepada modal > asing??? Anda lihat di antara kepala suku Papua , ada yang sadar akan > bahaya modal asing, tapi ada juga yang pro modal asing dan dengan > senang hati menyambut investasi dan "pembangunan" yang akhirnya akan > menghabiskan seluruh hutan seperti halnya di Jawa, Sumatra dan > Kalimantan. Apa anda sudah meneliti watak kelas dari para pemimpin > gerakan kemerdekaan yang anda dukung itu?? Barangkali anda cukup > senang dengan melihat Papua "merdeka" dan dikuasai oleh kaum > komprador dari suku bangsa Papua sendiri??? Hanya ganti suku bangsa > saja!!! Persis seperti di Afrika Selatan yang dikuasai oleh ANC yang > sama sekali tidak peduli pada nasib rakyatnya sendiri menghisap dan > menindas seperti dulu pada jaman apartheid.. Hilangnya tanah dan > hutan papua sama sekali TIDAK tergantung pada merdeka atau tidaknya > Papua dari Indonesia!!! Ia bergantung pada perjuangan seluruh rakyat > Indonesia termasuk Papua melawan pemerintah neo-liberal yang mengabdi > sepenuhnya kepada kepentingan para pemodal asing dan kaum > imperialis!!! > > > > On Monday, April 2, 2018 6:15 PM, Jonathan Goeij wrote: > > Bila tetap bersama Indonesia yang terjadi jelas sekali, orang2 > Papua akan kehilangan tanah mereka, hutan beralih rupa jadi > perkebunan kelapa sawit, industri pertanian, dan pertambangan. Hutan > hilang, tanah ulayat hilang. Bila tidak musnah hanya akan jadi kuli > dan homeless ditanah sendiri. Kesemuanya itu hanya demi "fakta > sejarah" semu omong kosong klaim sak enak udele dewe nan geragas akan > wilayah. > > --- jetaimemucho1@... wrote : > > Nah, ini orang-orang suku Papua yang ngerti akan bahayanya > "pembangunan" yang digenjot pemerintah Jokowi-JK. Di kalangan > orang-orang Papua sendiri diperlukan usaha untuk meningkatkan > kesadaran untuk melindungi tanah dan hutannya sendiri. Pikiran kepala > suku yang menentang Green Peace itu harus diluruskan. Rakyat papua > tidak bisa berjuang sendirian untuk membela hak hidupnya. Harus > sama-sama dengan rakyat di segala pelosok Indonesia lainnya yang juga > mengalami penindasan yang sama. Itulah tugas yang mendesak. Bukannya > "berjuang" untuk memisahkan diri dari Indonesia. Yang mendesak adalah > berjuang untuk reforma agraria sejati dan pembangunan industri > nasional. > > On Monday, April 2, 2018 4:20 AM, Everistus Kayep wrote: > > perkebunan skala besar (sawit) di selatan papua bikin rakyat pribumi > menderita. saat ini pemerintah rencana bikin bendungan plta utk > memasok listrik dan air bersih ke perkebunan sawit. > https://tribun-arafura.com/2018/02/13/forpa-bd-tolak-rencana-pembangunan-bendungan-plta-sungai-kao/FORPA-BD > Tolak Rencana Pembangunan Bendungan PLTA Sungai KaoPosted > pada 13/02/2018 oleh Tribun Arafura in Aksi Protes, Berita, Fakta > Tanah Papua, PLTA Sungai Kao // 0 CommentsFORPA-BD didampingi tokoh > Adat Kati-Wambon melakukan Konferensi Pers di Prima Garden Waena, > Jayapura, Senin (12/02) kemarin. Mereka secara tegas menolak Rencana > Pembangunan PLTA Sungai Kao.@forpa-bdJAYAPURA, Tribun-Arafura.com — > Forum Rakyat Papua Boven Digoel (FORPA-BD) menolak Rencana > Pembangunan Bendungan PLTA Sungai Kao di distrik Waropko dan distrik > Ambatkwi, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Hal ini ditegaskan > Sekretaris FORPA-BD Everistus Kayep melalui sambungan telepon di > Merauke siang tadi, Selasa (13/02).“FORPA-BD dengan tegas menolak > Pembangunan PLTA Sungai Kao karena lokasi yang dipilih merupakan > tempat- tempat keramat yang memiliki nilai historis dan spiritual. > Tempat-tempat ini telah dihormati secara turun-temurun dan tidak bisa > dipisahkan dari kehidupan Masyarakat Kati-Wambon,” jelas Kayep..Kayep > mengatakan, Bupati Boven Digoel Benediktus Tambonop adalah anak asli > Wambon, kerabat Kati, sehingga tanpa perlu dijelaskan, beliau secara > pasti mengetahui nilai historis dan spiritual tempat-tempat keramat > tersebut.Menurut Kayep, pihaknya telah menginventarisir, setidaknya > terdapat 24 tempat keramat di lokasi yang diincar pihak Pemerintah > tanpa berkonsultasi atau sosialisasi dengan pemilik dusun. > (Download: Sketsa Tempat-Tempat Keramat).“Ini seperti pencuri, > diam-diam lakukan surveyuntuk studi kelayakan seolah-olah tanah ini > tidak bertuan. Nanti setelah ada penolakan dari masyarakat baru > pemerintah tersadar dari kekeliruannya dan kalang kabut mulai bikin > jadwal sosialisasi,” jelas Kayep.Alasan lainnya, menurut Kayep, > Rencana Pembangunan PLTA Sungai Kao disinyalir merupakan agenda > terselubung pihak korporasi di wilayah Selatan Papua yang membutuhkan > pasokan listrik murah dan irigasi. (Download : Peta Sawit > Papua dan Peta Analisis Tanah Obyek Reforma Agraria di Boven > Digoel).“Puluhan perusahaan Kelapa Sawit, Padi, Tebu, Kedelai, > Jagung, HTI dan pabrik turunannya yang menguasai jutaan hektar > tanah-tanah adat di Papua Selatan perlu pasokan listrik murah dan > irigasi sehingga PLTA Sungai Kao berkapasitas 65,13 Megawatt > merupakan jawaban pemerintah atas kebutuhan mereka,” jelasnya.Kayep > mengatakan, pihaknya sempat menggelar Konferensi Pers di Jayapura > pada Senin (12/02) kemarin didampingi para Tokoh Adat Kati dan Wambon > dan mereka dengan tegas menolak rencana Pembangunan PLTA Sungai Kao. > (Baca :Siaran Pers FORPA-BD Tentang Penolakan Pembangunan PLTA Sungai > Kao).Ditanya tentang status proyek ini, Kayep menjelaskan, FORPA-BD > sudah menelusurinya ke Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR di > Jakarta. “Sumber kami di Ditjen SDA mengatakan, yang terprogram > secara nasional hanya 65 Bendungan sejak 2014-2019. PLTA Sungai Kao > tidak terdaftar untuk proyek TA 2018 maupun TA 2019. Di Papua yang > terdaftar untuk dibangun pada TA 2018 adalah Bendungan Baliem di > Kabupaten Jawawijaya,” jelas Kayep.Kayep menjelaskan, apa yang sedang > dilakukan oleh PT. Aditya Engineering Consultant dari Bandung > bekerjasama dengan Bappeda Kabupaten Boven Digoel saat ini adalah > Studi Kelayakan untuk mengkaji, apakah PLTA layak dibangun di Sungai > Kao.“PT. Aditya Engineering Consultant sudah memenangkan lelang untuk > Studi Kelayakan Pembangunan Bendungan Digoel di Kementerian PUPR > dengan nilai penawaran sama dengan nilai terkoreksi sebesar Rp 7 > Milyar lebih,” kata Kayep sembari mengatakan, pengumuman pelelangan > dan pemenang tender bisa diakses secara onlinemelalui alamat > https://lpse.pu.go.id/eproc/lelang/pemenang/28759064.Menyikapi > Rencana Pembangunan PLTA Sungai Kao yang terkesan dipaksakan ini, > Kayep mengatakan FORPA-BD siap mengawal pemilik tanah untuk melakukan > penolakan sampai pihak pemerintah membatalkan rencana ini.“Kami > sejalan dengan Masyarakat Adat Kati-Wambon, akan lakukan penolakan > dengan berbagai cara, mulai dari Konferensi Pers, Mengirim Surat ke > Kementerian PUPR Demonstrasi Massa, sampai pada pemalangan lokasi > yang sudah di-survey,” tegas Kayep.Dari data yang dihimpun media ini, > diketahui bahwa Rencana Pembangunan PLTA Sungai Kao dan Survey untuk > Studi Kelayakan dilakukan tanpa sosialisasi dan menyasar > tempat-tempat keramat sehingga mendapat penolakan dari berbagai > komponen Masyarakat Adat Kati-Wambon di Waropko, Tanah Merah, Merauke > dan Jayapura. (Baca : PLTA Sungai Kao Ditolak Karena Menyasar Banyak > Tempat Keramat).[AB/TA]. Benarkah hegemoni negara maju ataukah karena > perhatian terhadap keruskan hutan tanah ulayat yang dilakukan oleh > rezim neo-Mojopahit dan konco bin sahatbat mereka dengan subsidi > negara untuk membuat perkebunan kelapa > sawit?http://www.suarakarya.id/ detail/64046/Hegemoni-Negara- > Maju-Sebabkan-Sawit- Diperlakukan-Tidak-Adil > > Hegemoni Negara Maju Sebabkan Sawit Diperlakukan Tidak Adil > Seminar persawitan diselenggarakan majalah Sawit Indonesia, Kamis > (29/3/2018), di Jakarta. (suarakarya.id/laksito)29 Maret 2018 22:45 > WIB Penulis : Laksito Adi Darmono SuaraKarya.id - JAKARTA: Gabungan > Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), mendukung penuh > penguatan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). Oleh karena > itu, perlu dibangun kolaborasi dengan semua pihak, antarpelaku usaha, > petani, dan pemerintah.“Kita melakukan kolaborasi, advokasi dan > memperbanyak komunikasi dengan para pelaku usaha maupun pemerintah, > agar kita satu suara dalam ISPO,” ujar Ketua GAPKI Kacuk Sumarto, > dalam diskusi "ISPO dan Keberterimaan Pasar Global" yang diadakan > Majalah Sawit Indonesia, di Jakarta, Kamis (29/3/2018).Sertifikasi > ISPO, menurut Kacuk bukan sekadar syarat untuk dapat ditetima pasar, > namun sekaligus digunakan untuk membentuk perilaku pelaku industri > sawit. “Untuk itu, sekarang tinggal proses mendapatkan sertifikasi > ISPO dapat dipercepat,” ujarnya.Meskipun diakuinya, negara konsumen > meminta banyak standar, utamaya dari aspek lingkungan, kesehatan, hak > asasi manusia, namun adanya unsur kepentingan dagang dan hegemoni > negara maju, mengakibatkan sawit diperlakukan tidak adil, seperti > tindakan diskriminasi dan hambatan perdagangan. “Sehingga ISPO harus > mampu menjawab tantangan itu,” ucap Kacuk.Rino Afrino Wakil > Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia > (Apkasindo) menambahkan, kunci sukses dari pelaksanaan ISPO harus ada > kolaborasi antara pemerintah dengan pelaku usaha perkebunan > sawit.Kebijakan ISPO harus diikuti oleh terciptanya regulasi > percepatan penyelesaian masalah yang dialami oleh petani. “Seperti > penyelesaian lahan di kawasan hutan, gambut, STDB, lahan gambut, > akses pasar dan permodalam,” ujarnya.Selain itu, katanya, kebijakan > ISPO harus mendorong perbaikan tata kelola perkebunan, meningkatkan > keberterimaan pasar dan peningkatan daya saing.Rino juga mengusulkan > mandatori ISPO petani dapat berjalan asalkan pemerintah juga membantu > untuk menyelesaikan persoalan petani seperti kebun petani di kawasan > hutan dan legalitas. Kalau memang belum siap, maka mandatori ISPO > petani diundur dari tahun 2020 menjadi tahun 2025."Usulan kami > pemerintah membantu petani untuk menyelesaikan masalah yang > dihadapi.. Untuk itu, mandatori dapat diundur menjadi 2025 setelah > masalah petani dapat terselesaikan," ucapnya. * > > >