Maaf inilah kelemahan bung karno sehingga tahta beliau harus diambil alih oleh 
s...
Menurut saya bung karno terlalu mencintai rakyat sampai jabatan beliau menjadi 
taruhan
Coba bung karno seperti presiden saat ini yang sifatnya non blok tidak terlalu 
banyak musuh.
Memusuhi Amerika ibaratnya "Ular mencari pentongan".
Kalau kita seperti air yang selalu mengalir kebawah sepertinya hidup ini sangat 
nyaman.
Jika negara kita sudah kuat seperti cina tidak masalah marah-marah sama amerika.
Tapi Pancasila yang melarang kita untuk berseteru dengan negara kuat, yaitu 
kemanusiaan yang adil dan beradab.

From: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com]
Sent: Thursday, April 12, 2018 11:10 AM
To: GELORA_In <GELORA45@yahoogroups.com>
Subject: [**EXTERNAL**] [GELORA45] Kemarahan-Kemarahan Bung Karno


Sejarah Indonesia

Kemarahan-Kemarahan Bung Karno
[https://mmc.tirto.id/image/otf/700x0/2017/12/27/sukarno----istimewa_ratio-16x9.jpg]<https://tirto.id/kemarahan-kemarahan-bung-karno-cHxt>
Sukarno. FOTO/ Istimewa
11 April 2018
https://tirto.id/kemarahan-kemarahan-bung-karno-cHxt
Presiden Sukarno sering marah-marah terhadap apa dan siapapun yang tidak 
berkenan baginya. Namun, kemarahan Bung Karno tentu ada alasannya.
tirto.id<https://tirto.id/> - Satu hari di Amerika Serikat pada 1956, suasana 
yang semula akrab dan bersahabat mendadak menjadi tegang. Presiden Sukarno 
sedang di Hollywood, ditemani oleh beberapa selebritas ternama negeri Paman 
Sam. Salah satunya adalah Jeans Simmons, aktris cantik yang sangat terkenal 
kala itu.

Barangkali bermaksud mengakrabkan diri dengan sang tamu agung dan terhormat 
yang didampinginya itu, Simmons mengungkapkan keinginan berkunjung ke Jakarta 
suatu saat nanti. "Nanti di Jakarta saya ingin naik becak," selorohnya, dikutip 
dari buku Kasino Bernama Kepulauan Seribu (2007:191) karya Alwi Shahab.
Baca juga: Di Balik Murkanya Jokowi di 
Pelabuhan<https://tirto.id/di-balik-murkanya-jokowi-di-pelabuhan-bKSg>

Tanpa diduga, Sukarno ternyata tidak berkenan dengan ucapan Simmons. Ia marah 
dan menghardik artis berkebangsaan Inggris itu. Bekerja menarik becak, tukas 
Bung Karno, tidak pantas dibanggakan, apalagi dijadikan ikon Jakarta sebagai 
ibu kota Indonesia. Baginya, profesi sebagai tukang becak adalah bentuk nyata 
dari "penghisapan manusia oleh manusia lainnya".

Perkara penarik becak yang dianggap sebagai pekerjaan yang tidak manusiawi itu 
kembali disinggung Sukarno ketika menjamu Duta Besar AS untuk Indonesia, Howard 
P. Jones, sepulangnya ke Jakarta. "Dalam menuju masyarakat yang adil dan makmur 
tidak boleh lagi ada penghisapan manusia oleh manusia," tegas presiden (Shahab, 
2007:192).
Kekesalan Sukarno di Amerika
Tidak sekali itu saja Presiden Sukarno marah-marah di Amerika Serikat. Lain 
waktu, pada 1960, ia mencak-mencak lagi di negara adikuasa tersebut. Tak 
tanggung-tanggung, kali ini Bung Karno murka di Gedung Putih lantaran merasa 
tidak dihargai oleh pemerintah AS dan presidennya waktu itu, Dwight D. 
Eisenhower.

Bung Karno kala itu memang diundang khusus oleh Eisenhower untuk mengunjungi 
Amerika. Bisa jadi Eisenhower ingin lebih dekat lantaran selama ini Sukarno 
cukup sering mengkritik negaranya. Bung Karno pun menyanggupi untuk datang 
sesuai jadwal.
Baca juga: Ambisi Amerika di Balik "Pembebasan" Irian 
Barat<https://tirto.id/ambisi-amerika-di-balik-pembebasan-irian-barat-cuAa>

Dikisahkan oleh Tjipta Lesmana dalam buku Dari Soekarno sampai SBY 
<https://books.google.co.id/books?id=E544kKzpSYIC&pg=PA43&lpg=PA43&dq=kemarahan+kemarahan+soekarno&source=bl&ots=W-Z9NK6jDx&sig=V-4UHQ15FWNFL-yY1S5QZso9M6U&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjEp6-Dta7aAhVFJZQKHbv7BvY4ChDoAQhlMA0#v=onepage&q=kemarahan%20kemarahan%20soekarno&f=false>
 (2009), Bung Karno sudah merasa janggal dan kurang nyaman usai mendarat di 
Washington. Ternyata bukan Eisenhower yang menyambut kedatangannya sebagaimana 
protokol yang berlaku di Amerika saat itu ketika sesama kepala negara 
berkunjung (hlm. 43).

Kecewa? Tentu saja. Namun Presiden Sukarno berusaha memaklumi.

Kemarahannya baru meledak ketika kejadian nyaris serupa terulang lagi di Gedung 
Putih. Sukarno dijadwalkan bertemu dengan Eisenhower pada pukul 10.00 pagi 
waktu setempat. Jam 09.58, ia sudah tiba di Gedung Putih, kemudian duduk 
menunggu si empunya rumah.

Menit demi menit berlalu. Sukarno masih bertahan. Pukul 10.25, Bung Karno mulai 
gelisah karena Eisenhower tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Dan, 5 
menit kemudian, genap 30 menit menunggu, murkalah sang pemimpin besar revolusi 
itu.

Ajudan Presiden Sukarno, Bambang S. Widjanarko, menceritakan fragmen 
menegangkan ini dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (2010). Sukarno mendatangi 
petugas protokoler lantas menghentak:

"Apa-apaan ini! Kalian yang menetapkan pertemuan pukul 10.00, hingga pukul 
10.30 presiden kalian belum datang juga! Apakah kalian memang bermaksud 
menghina saya? Sekarang juga saya pergi!" bentak Sukarno (hlm. 295).
Baca juga: Orde Baru Membunuh Sukarno 
Pelan-Pelan<https://tirto.id/orde-baru-membunuh-sukarno-pelan-pelan-cFCF>

Cindy Adams melalui buku Sukarno: an Autobiography (1966) juga menuturkan kisah 
serupa yang didengarnya dari mulut Bung Karno sendiri. Setelah Sukarno 
mengancam pergi, petugas protokoler Gedung Putih buru-buru meminta maaf, 
kemudian masuk ke dalam ruangan.

Tak lama berselang, Eisenhower keluar dan mempersilakan Sukarno masuk 
bersamanya. Namun, tidak ada kata maaf yang terucap dari Presiden AS itu. "Ia 
(Eisenhower) tidak mohon maaf, juga tidak berniat memohon maaf ketika akhirnya 
saya diantarkan ke dalam," sebut Sukarno yang ditulis Cindy Adams.

Perlakuan seperti itulah yang membuat Sukarno semakin benci terhadap Amerika 
Serikat. Bung Karno mengakui, ia berulang kali mencoba untuk menjalin 
persahabatan dengan negara itu, tapi selalu kandas. "Bertahun-tahun lamanya aku 
sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan tetapi sisa-sia." (Lesmana, 2009:43).

Pengalaman buruk dengan Eisenhower semakin menjauhkan Indonesia dari Amerika di 
era Presiden Sukarno. Bung Karno pun menolak bantuan yang hendak diberikan oleh 
negara adidaya itu. "To hell with your aid!" sergahnya.
Murka Demi Martabat Bangsa
Berbeda dengan presiden-presiden Indonesia setelahnya, Sukarno memang 
bertipikal paling lugas dan tegas, lebih ekspresif, berkarakter keras, tanpa 
tedeng aling-aling dalam meluapkan perasaan, termasuk kemarahan. Dan, murka 
Bung Karno tidak pandang bulu. Ia bisa marah kepada siapapun atau dalam 
persoalan apapun yang tidak berkenan di hatinya.
Baca juga: Sejarah Monas dan Ironi Cita-cita Bung 
Karno<https://tirto.id/sejarah-monas-dan-ironi-cita-cita-bung-karno-csuP>

Presiden Sukarno pernah murka di forum internasional sekelas Sidang Umum 
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang dihadiri oleh lebih dari 100 orang kepala 
negara dari seluruh dunia. Dengan suara keras bak gelegar halilintar, ia 
mengecam negara-negara Barat yang disebutnya tidak adil terhadap negara-negara 
berkembang. Pada 1963 itu, Sukarno sekaligus menyatakan bahwa Indonesia keluar 
dari PBB.

Di periode yang sama, Sukarno juga meluapkan kemurkaannya terhadap Malaysia.. 
Negeri tetangga yang masih serumpun ini dituding Bung Karno sebagai negara 
boneka, antek bangsa-bangsa kapitalis, terutama Inggris dan Amerika.

Sukarno tambah murka saat mendengar para pengunjukrasa anti-Indonesia di negeri 
jiran membawa-bawa lambang negara Garuda Pancasila ke depan gedung Kedutaan 
besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, dan merobek-robek foto dirinya 
(J.F. Tualaka, ed., Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan 
Ketatanegaraan, 2009:36).

Bahkan, para demonstran kemudian membawa Garuda Pancasila kepada Perdana 
Menteri Malaysia saat itu, Tunku Abdul Rahman, dan memaksanya untuk menginjak 
salah satu simbol kehormatan bangsa Indonesia tersebut. Kampanye Ganyang 
Malaysia pun menjadi luapan amarah Presiden Sukarno kala itu.
Baca juga: Gara-gara Malaysia, Indonesia Keluar dari 
PBB<https://tirto.id/gara-gara-malaysia-indonesia-keluar-dari-pbb-cCpg>

Kemarahan Sukarno memang tak memandang apa dan siapa. Terhadap Ketua CC Partai 
Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit, pun ia pernah murka pada suatu upacara 
peringatan kemerdekaan RI.

Menurut penuturan jurnalis sekaligus sejarawan Hendi Jo, dikutip dari 
Merdeka.com<https://www.youtube.com/watch?v=cbedkwUcVHU>, Aidit yang membacakan 
teks proklamasi tidak menyebut nama Mohammad Hatta, yang seharusnya dibaca 
berangkaian: "Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta."

Setelah Aidit membaca naskah proklamasi, Sukarno naik pitam dan langsung pergi 
meninggalkan upacara yang belum selesai.
[Infografik Presiden Sukarno Marah]

Marah Lantaran Difitnah
Sukarno pernah pula kena fitnah keji yang membuatnya meradang. Dalam pertemuan 
dengan perwakilan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang berunjukrasa 
menuntut pembubaran PKI pada 18 Januari 1966, Sukarno mempersoalkan corat-coret 
dan selebaran terbuka yang berisi fitnah terhadap salah satu istrinya, Hartini.

Corat-coret dan selebaran itu menyebut bahwa Hartini sebagai "Gerwani Agung". 
Seperti diketahui, Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia adalah organisasi 
sayap perempuan pendukung PKI. Tak hanya di Jakarta, tembok rumah Hartini di 
Bogor pun tak luput dari aksi vandalisme tersebut (Rum Aly, Titik Silang Jalan 
Kekuasaan Tahun 1966, 2006:239).
Baca juga: KAMI Ada untuk Mengganyang 
PKI<https://tirto.id/kami-ada-untuk-mengganyang-pki-cyZ2>

Bung Karno juga pernah kesal kepada kakak kandungnya, Sukarmini Wardoyo, hanya 
gara-gara mbakyu-nya itu sering berlatih tenis. Sukarno marah karena 
menurutnya, tenis adalah permainan mewah yang jauh dari kondisi rakyat 
Indonesia saat itu (Intisari, Agustus 2015).

Terhadap Sukarmini, Sukarno juga pernah marah lagi. Kakak perempuannya itu 
pernah diperalat oleh seorang pengusaha asal Belanda yang ingin mendapatkan 
proyek dari Sukarno. Bung Karno jelas menolak mentah-mentah karena tidak 
berkenan dengan cara-cara yang dilakukan oleh pengusaha asing itu, yakni dengan 
mendekati kakaknya.

Namun, hubungannya dengan Sukarmini tetap saja harmonis karena kemarahan Bung 
Karno itu ibarat pertanda kasih sayang. Di samping itu, Sukarmini adalah kakak 
satu-satunya Bung Karno, juga sering ikut menjaga dan merawat anak-anaknya.

Masih banyak kejadian kemarahan Sukarno lainnya semasa menjabat sebagai 
presiden Indonesia. Terlebih setelah peristiwa G30S 1965 yang meruntuhkan pamor 
"sang penyambung lidah rakyat" Indonesia lantaran berbagai kabar miring yang 
belum tentu valid kebenarannya. Namun, Bung Karno murka tentu ada alasannya.
Baca juga: Gelora Tritura Menggulung Riwayat Orde 
Lama<https://tirto.id/gelora-tritura-menggulung-riwayat-orde-lama-cCMJ>

Apabila Bung Karno yang bertabiat keras saja sering marah-marah, maka 
sepertinya wajar jika presiden-presiden berikutnya yang berkarakter lebih kalem 
terkadang terpancing pula emosinya, karena presiden juga manusia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH 
INDONESIA<https://tirto.id/q/sejarah-indonesia-dwA?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword>
 atau tulisan menarik lainnya Iswara N 
Raditya<https://tirto.id/author/iswara?utm_source=internal&utm_medium=topauthor>
(tirto.id - Politik)

Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Windu Jusuf

  • [GELORA45] ... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]
    • [GELOR... 'Karma, I Nengah [PT. BI-POS]' ineng...@chevron.com [GELORA45]

Kirim email ke