Saya mau tanya apakah quangzhou itu pernah menjadi bagian dari majapahit, 
soalnya baru saya dengar

Quangzhou adalah kabupaten. Satu kabupaten di provinsi Fujian. Pelabuhannya 
pernah menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Di zaman Mojopahit.


From: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com]
Sent: Saturday, April 14, 2018 4:09 AM
To: Yahoogroups <gelora45@yahoogroups.com>
Subject: [**EXTERNAL**] [GELORA45] Re: Bayar Tunai, Jadi Kuno


Dahlan Iskan memang pintar kalau bercerita padahal intinya cuman pembayaran 
pakai Wechat dan AliPay. Sedikit menambahin dari unsur security untuk 
meminimalkan risk, kalau link metode pembayaran jangan ke bank account langsung 
tetapi lebih baik pakai credit card. Sehingga kalau misalnya ada breach duit di 
bank account anda tidak langsung habis, kalau credit card paling banyak juga 
sebatas credit limit itupun masih bisa di-dispute nantinya dan tidak perlu 
dibayar dulu.


---In GELORA45@yahoogroups.com<mailto:GELORA45@yahoogroups.com>, 
<SADAR@...<mailto:SADAR@...>> wrote :

Bayar Tunai, Jadi Kuno

Jumat, 13 April 2018 – 12:32 WIB

https://www.jpnn.com/news/bayar-tunai-jadi-kuno

jpnn.com - Saya jadi orang aneh. Dua hari terakhir ini. Jadi orang kuno.

Misalnya tadi malam. Saat saya jalan-jalan di sebuah gang yang ramai di kota 
Amoy. Disebut juga kota Xiamen. Kota besarnya suku Hokkian.

Saya mampir beli cakue. Di pinggir gang. Di pedagang kaki lima.

Ternyata sayalah satu-satunya orang yang membayar dengan uang. Padahal ini di 
dalam gang. Di kaki lima.

Saya sengaja berdiri sekitar 15 menit. Di gang itu. Untuk menghitung pembeli. 
Khususnya yang masih membayar dengan uang.

Ternyata tetap saja hanya saya sendiri. Pembeli lainnya membayar pakai hand 
phone: WeChat atau AliPay.

Lihatlah beberapa foto yang saya sertakan di sini. Orang yang beli makanan di 
kaki lima itu senjatanya hanya handphone. Bukan lagi dompet.

Padahal harga makanan itu hanya satu renminbi. Atau sekitar Rp 2.000. 
Benar-benar uang kecil pun tidak diperlukan di Tiongkok.

Malamnya saya makan di restoran. Juga jadi orang aneh. Orang kuno. Satu-satunya 
yang saat itu membayar dengan uang.

Keesokan harinya saya naik kereta peluru. Kecepatannya 300 km/jam. Dari Xiamen 
ke kabupaten Quanzhou. Sejauh 200 km. Hanya 25 menit.

Saya lagi membayangkan dari Surabaya ke kampung saya di Magetan. 25 menit. Saya 
juga satu-satunya orang yang membeli tiket dengan uang: 25 RMB. Sekitar Rp 
50.000. Jauh lebih murah dari karcis tol baru antara Surabaya-Kertosono.

Hanya Kertosono.

Stasiun kereta peluru ini ternyata di luar kota. Ongkos taxinya 60 RmB. Dua 
kali lebih mahal dari harga tiket kereta pelurunya.

Malam tadi saya balik ke Xiamen. Kali ini pilih kereta cepat: 200 km/jam. Bukan 
kereta peluru. Tiketnya lebih mahal: 35 RMB. Ini karena bisa berhenti di 
stasiun kota Xiamen. Tidak perlu ada ongkos taksi yang mahal itu.

Sekali lagi saya jadi satu-satunya orang yang beli tiket kereta cepat dengan 
uang kontan. Meski hanya 35 RMB. Tiga lembar sepuluhan dan satu lembar lima 
renminbian.

Petugas memasukkan tiga lembar uang saya itu ke mesin. Hanya 35 RMB. Diperiksa 
palsu atau tidak. Sampai dua kali.

Rupanya sudah lama petugas itu tidak lihat uang. Kepekaan jarinya rupanya sudah 
berubah. Tidak bisa lagi meraba perbedaan lembar asli dan palsu.

Di Quanzhou saya makan siang. Di mie favorit saya: Lanzhou Lamian. Mie tarik 
Lanzhou. Saat mulai duduk pelayannya menunjuk sudut meja saya.

Di situlah tertempel barcode. Dia bilang: bayarnya nanti di pojok meja itu. 
Saya bilang bahwa saya akan bayar pakai uang.

Dia tampak kaget. Lalu lapor ke atasannya. “Ok,” jawab pelayan itu. Setelah 
berkonsultasi dengan bosnya. Untuk urusan bayar dengan uang tunai!

Saat tiba waktunya membayar, terjadi lagi apa yang saya lihat di stasiun. 
Kasirnya lama sekali mengamati uang itu. Palsu atau tidak. Dibolak-balik. Baru 
ok.

Begitulah, saya pernah jadi orang modern: membayar dengan credit card. Kini 
credit card sudah menjadi kuno. Bahkan lembaran uang pun sudah menjadi usang..

Quangzhou adalah kabupaten. Satu kabupaten di provinsi Fujian. Pelabuhannya 
pernah menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Di zaman Mojopahit.

Entah berapa puluh ribu orang Hokkian (Fujian) yang pernah menggunakan 
pelabuhan ini. Zaman itu. Dan zaman berikutnya. Untuk xia nan yang. Mencari 
hidup baru di wilayah selatan. Yang kelak di tahun 1900-an wilayah itu bernama 
Indonesia.

Kini pelabuhan itu masih ada. Bekasnya. Sudah sangat usang. Sudah lebih sepi 
dari pelabuhan Donggala. Hanya perahu-perahu nelayan yang mangkal di situ. 
Dengan wujud yang tidak bergairah.

Zaman terus bergerak. Yang modern jadi kuno. Yang besar jadi punah. Hidup terus 
maju. Meninggalkan siapa pun yang tidak setuju.(***)




  • [GELORA45] ... Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
    • RE: [... 'Karma, I Nengah [PT. BI-POS]' ineng...@chevron.com [GELORA45]
      • RE... jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
        • ... Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co.id [GELORA45]
    • RE: [G... Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]

Kirim email ke