Kebenaran, Korban Pertama Pertarungan Politik Senin , 16 April 2018 | 20:37 http://www.sinarharapan.co/opinidaneditorial/read/937/kebenaran__korban_pertama_pertarungan_politik
Sumber Foto Geotimes IlustrasiOleh Taufik Darusman Dalam peperangan, yang menjadi korban pertama biasanya adalah kebenaran. Pihak A meng-klaim mereka telah membinasakan sekian banyak musuh dan merebut sekian luas teritori. Pihak B juga akan mengatakan yang sama. Keduanya terlibat dalam perang urat syaraf dengan tujuan menampilkan diri sebagai pemenang dengan mengelabui publik dan media. Demikian juga dalam pertarungan politik seperti pilpres. Kita masih ingat pilpres di AS pada 2008, ketika beberapa anggota Partai Republik menyebar kabar bohong bahwa Barack Obama, dari Partai Demokrat, bukan dilahirkan di AS tetapi di sebuah negara asing. Karena itu, lawan-lawannya berkilah ia melanggar konstitusi AS yang mengharuskan seorang presiden AS warga negara yang lahir di AS. Ternyata, tuduhan itu bohong semua dan tidak kurang dari Donald Trump, kini presiden AS, terpaksa mengakui dan meminta maaf. Di Indonesia hal yang sama berlaku. Pada pilpres 2014, Joko Widodo (Jokowi) dituduh sebagai anggota PKI, dalam suatu black campaign yang nyaris membuat ia kalah. Kenyataannya, Jokowi baru berusia 4 tahun ketika Gestapu/PKI 1965 terjadi. Minggu lalu, dalam suatu ceramah anggota Dewan Penasihat Persaudaraan Alumni 212, Eggi Sudjana, mengatakan 'presiden membuat rakyat miskin'. Kenyataannya, data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin justru menurun di pemerintahan Jokowi. "Hasil survei menunjukkan pada 2017 angka kemiskinan malah turun sekitar satu juta orang. Karena itu, mestinya kita bicara berdasarkan data," kata Menteri Sosial Idrus Marham di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/4/2018). "Dulu 27 juta lebih, sekarang tinggal 26.580.000, jadi turun satu juta lebih. Jadi ini luar biasa," sambungnya, seraya mengajak Eggi untuk berbicara berdasarkan data yang akurat. Sebelumnya, Ketua Majelis Kehormatan PAN Amien Rais mengritik Jokowi melakukan pembohongan melalui program bagi-bagi sertifikat tanah. "Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat. Bagi tanah sekian hektar, namun 74% negeri ini dimiliki kelompok tertentu dan dibiarkan. Ini apa-apaan?" kata Amien saat menjadi pembicara dalam diskusi 'Bandung Informal Meeting' yang digelar di Hotel Savoy Homman, Jalan Asia Afrika, Bandung, Minggu (18/3/2018). Amien pun berbicara soal PKI yang menurutnya sedang bangkit selama pemerintahan Jokowi. Namun, Amien, seorang akademisi yang seharusnya paham akan prinsip-prinsip suatu argumentasi, tidak menyampaikan bukti-bukti untuk memperkuat tuduhannya. Setelah Amien Rais menyebut 74% tanah Indonesia dikuasai apa yang dia sebut sebagai kelompok tertentu, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto juga menyatakan hal yang sama. Namun, kali ini Prabowo menyebut angka 80%. Prabowo malahan menambahkan, 50% kekayaan Indonesia dikuasai oleh hanya 1% rakyat Indonesia. Lagi-lagi, tidak ada di antara mereka yang datang dengan bukti konkrit. Namun lebih aneh lagi, tidak ada unsur pemerintah yang membantah semua tudingan-tudingan itu. Tanggapan justru datang dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, yang mempertanyakan siapa yang memberikan tanah kepada pihak asing tersebut. “Yang bagi tanah sebenarnya siapa sih? Apakah Pak Jokowi?” tanya Said usai bertemu Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (21/3). Mantan Wakil Ketua Tim Gabungan Pencari fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 ini langsung menjawab pertanyaannya sendiri dengan membantah bahwa Jokowi membagi-bagi tanah kepada pihak asing. “Malah Jokowi mendistribusikan tanah kepada rakyat,” ia menegaskan. Said mengambahkan bahwa pada era presiden sebelumnya banyak tanah sudah diberikan kepada pihak asing, tanpa menyebut siapa yang dimaksud. Kasus-kasus semacam ini diperkirakan akan meningkat intensitasnya. Bukan saja karena waktu bergerak semakin dekat dengan pilpres, tetapi seiring malasnya pihak oposisi Jokowi untuk berpikir. Seharusnya pihak oposisi dapat mengritik pemerintah sekarang, misalnya, kenapa masih banyak murid sekolah harus menyeberang kali di atas seutas tambang tali untuk mencapai sekolah mereka? Mengapa masih banyak balita kekurangan gizi seperti di Papua? Mengapa kita belum juga menambah kilang minyak sehingga tidak perlu lagi mengimpor dan menghabiskan devisa? Pihak lawan Jokowi tampaknya bukan saja sudah kekurangan amunisi untuk menyerang pertahana; mereka tidak inovatif dan menderita defisit dalam segi imajinasi. Ini patut disayangkan karena suatu pertarungan politik dapat menarik dan bisa menjadi proses pembelajaran bagi para politisi muda. (Penulis adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta)