8 Mei 1993

Pembunuhan Buruh Marsinah dan Riwayat Kekejian Aparat Orde Baru

Ilustrasi Marsinah (1969-1993). tirto/Sabit.
Oleh: Dieqy Hasbi Widhana - 8 Mei 2018Dibaca Normal 6 menitDetik arloji. 
Berdetak dan abadi 
masih berbunyi.tirto.id - Marsinah. Ia aktivis buruh berlidah tajam dan 
organisator terpelajar. Marsinah melawan saat kekerasan aparat negara menjalar 
lebih cepat daripada wabah flu. Buruh perempuan yang rajin mengkliping berita 
koran itu nyala kritisnya dipetangkan rezim otoriter. Ia dibunuh di usia yang 
masih teramat muda, 24 tahun.

Pembunuhannya membawa kesuraman semakin akrab. Seolah-olah negara tak perlu 
melindungi hak hidup warganya, tapi justru berwenang merecoki hajat hidup 
mereka.

Satu bulan sebelum Marsinah dibunuh, Presiden Soeharto menghadiri pertemuan Hak 
Asasi Manusia di Thailand. Dalam forum itu, Soeharto menyatakan RUU Hak Asasi 
Manusia yang dicanangkan PBB tidak bisa diterapkan di negara-negara Asia. 
Jenderal tangan besi itu menjelaskan, di Asia warga tak bisa bebas mengkritik 
pemimpinnya, beda dengan budaya Barat.

Soeharto juga menekankan bahwa warga negara wajib menunjukkan rasa hormat pada 
pemimpin mereka, sebagaimana anggota keluarga pada kepala keluarga. Hal itu 
diuraikan Leena Avonius and Damien Kingsbury dalam “From Marsinah to Munir: 
Grounding Human Rights in Indonesia” yang terbit tahun 2008.

Soeharto melakukan intervensi yang kuat untuk memonitor dan mengatur protes 
buruh. Dia memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 
dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986. Jika ada perselisihan 
antara buruh dengan pengusaha, maka yang berhak memediasi adalah militer. Tak 
heran, para pekerja yang kritis dan mencolok harus kuat menghadapi intimidasi 
dan penangkapan.

Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, 
Porong, Jawa Timur. Buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan 
KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemprov Surabaya 
meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa 
Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 
persen.

Kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS. Bianto, rekan 
Marsinah, menuturkan manajemen PT CPS hanya mau mengakomodasi kenaikan upah 
dalam tunjangan, bukan upah pokok. Permasalahannya, jika buruh tak masuk kerja 
karena alasan sakit atau melahirkan, tunjangannya akan dipotong.

Negosiasi antara buruh dengan perusahaan mengalami kebuntuan. Karena itu, buruh 
PT CPS menggelar mogok kerja pada 3 Mei 1993. Ada 150 dari 200 buruh perusahaan 
itu yang mogok kerja.

Seperti diungkap dalam laporan investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum 
Indonesia (YLBHI) bertajuk Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah (1995), 
pengorganisasian para buruh sebenarnya sudah matang beberapa hari menjelang 
mogok kerja.

"Tidak usah kerja. Teman-teman tidak usah masuk. Biar Pak Yudi sendiri yang 
bekerja," kata Marsinah, sebagaimana tercatat dalam Elegi Penegakan Hukum: 
Kisah Sum Kuning, Prita, Hingga Janda Pahlawan (2010). Yudi yang dimaksud 
adalah Direktur PT CPS, Yudi Susanto.

Mereka membawa 12 tuntutan (lihat infografik). Mulai dari menuntut hak kenaikan 
upah 20 persen hingga membubarkan organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia 
(SPSI) di tingkat pabrik. SPSI adalah satu-satunya organisasi buruh yang 
dinyatakan legal oleh rezim otoriter Soeharto. Bianto menjelaskan bahwa kala 
itu reputasi SPSI buruk dan nyaris selalu berseberangan dengan kebutuhan 
kolektif buruh.

“Sementara bagi SPSI, serikat buruh adalah mitra bagi perusahaan. Satu kondisi 
yang sebenarnya terjadi karena SPSI disetir oleh kekuasaan Orde Baru,” ujar 
Bianto dalam wawancara dengan kabarburuh.com tiga tahun lalu.


Marsinah Ambil Alih Komando
Saat aksi mogok hari pertama, Yudo Prakoso, koordinator aksi, ditangkap dan 
dibawa ke Kantor Koramil 0816/04 Porong. Ketegangan perlahan mulai mengalir 
deras.

Dia diinterogasi karena telah mengorganisasi pemogokan dan dituduh melakukan 
protes dengan cara yang mirip aksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sorenya, 
Prakoso kembali ke pabrik karena dipaksa aparat Koramil.

Mogok kerja di hari pertama itu tak mempan. Prakoso disibukkan dengan 
pemanggilan oleh aparat militer. Akhirnya Marsinah yang memegang kendali 
memimpin protes para buruh.

Keesokan harinya, pada 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. Pihak 
manajemen PT CPS bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh. Dalam 
perundingan, hadir pula petugas dari Dinas Tenaga Kerja, petugas Kecamatan 
Siring, serta perwakilan polisi dan Koramil. Pelibatan aparat negara dalam 
perundingan itu menimbulkan kecanggungan.

Meski begitu, semua tuntutan akhirnya dikabulkan, kecuali membubarkan SPSI di 
tingkat pabrik. Pimpinan perusahaan menganggap hal itu menjadi kewenangan 
internal SPSI.

Namun di hari itu juga, berdasarkan kronologi yang dirangkai Komite Solidaritas 
Untuk Marsinah (KSUM), Yudo Prakoso, buruh yang dianggap dalang pemogokan, 
mendapat surat panggilan dari Koramil Porong. Dalam surat bernomor B/1011V/1993 
itu, Prakoso diminta datang ke kantor Kodim 0816 Sidoarjo. Surat itu 
ditandatangani Pasi Intel Kodim Sidoarjo Kapten Sugeng.

Di Kodim Sidoarjo, Prakoso juga diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang 
terlibat dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja.

Esoknya, 12 buruh mendapat surat yang sama. Mereka diminta hadir ke kantor 
Kodim Sidoarjo, menghadap Pasi Intel Kapten Sugeng. Tapi surat panggilan itu 
berasal dari kantor Kelurahan Siring yang ditandatangani sekretaris desa 
bernama Abdul Rozak.

Tiga belas buruh itu dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo oleh seorang 
Perwira Seksi Intel Kodim Kamadi. Tanpa basa-basi, Kamadi meminta Prakoso dan 
12 buruh lain mengundurkan diri dari PT CPS. Alasannya, tenaga mereka sudah tak 
dibutuhkan lagi oleh perusahaan.

Kamadi dan Sugeng menyiapkan surat pengunduran diri yang menyatakan 13 buruh 
itu telah melakukan rapat ilegal untuk merencanakan 12 tuntutan dan aksi mogok 
kerja. Mereka dianggap telah menghasut buruh lainnya untuk ikut protes. Berada 
dalam tekanan, akhirnya 13 buruh itu menandatangani surat pengunduran diri. PHK 
itu tak dilakukan pihak perusahaan melainkan oleh aparat Kodim Sidoarjo.

Berdasarkan laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), emosi 
Marsinah memuncak ketika tahu rekannya dipaksa mengundurkan diri. Dia meminta 
salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen 
PT CPS. Sebab dalam surat kesepakatan itu, 12 tuntutan buruh diterima termasuk 
poin tentang pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK 
karyawan setelah aksi mogok kerja 

"Aku akan menuntut Kodim dengan bantuan saudaraku yang ada di Surabaya,” kata 
Marsinah merujuk koleganya yang bekerja di Kejaksaan Surabaya.

6 Mei 1993, sehari setelah para buruh dipanggil ke Kodim, adalah libur nasional 
untuk memperingati Hari Raya Waisak. Esoknya buruh kembali bekerja, tapi tak 
ada satupun yang melihat Marsinah. Beberapa rekannya mengira Marsinah pulang 
kampung ke Nganjuk.

Pada 8 Mei 1993, tepat hari ini 25 tahun lalu, Marsinah ditemukan sudah tak 
bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Jenazahnya 
divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo.

Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 
cm dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang 
kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya 
ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, 
selaput dara Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. 
Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.

Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali. Visum kedua dilakukan tim 
dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul 
bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping. Tulang 
kemaluan kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang 
selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada serpihan 
tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter. Juga 
pendarahan di dalam rongga perut.



Disiksa Militer untuk Akui Bunuh Marsinah
Tanpa surat penangkapan, aparat militer berbaju preman mencokok dua satpam dan 
tujuh pimpinan PT CPS. Penangkapan itu dibumbui tindakan kekerasan, semua 
diseret paksa dan kepala Karyono Wongso, Kabag Produksi PT CPS, ditetak aparat 
militer dengan gagang pistol. Mereka digelandang ke Markas Detasemen Intel (Den 
Intel) Kodam V Brawijaya Wonocolo.

Berdasarkan laporan yang diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat 
(ELSAM) bertajuk Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian 
Kasus-Kasus Penyiksaan Belum-Terselesaikan (1995), satpam dan pihak manajemen 
PT CPS itu disekap selama 19 hari di Kodam V Brawijaya. Tak ada satupun 
keluarga mereka yang tahu.

Bambang Wuryantoyo, 38 tahun, yang bekerja di bagian pengawas umum PT CPS, 
disiksa dan ditelanjangi. Kemaluannya disetrum berulangkali. Saat interogasi, 
kakinya ditindih kaki meja. Kemaluan dan perutnya disundut rokok.

Di salah satu kamar mandi Kodam V Brawijaya seorang petugas militer kencing di 
dalam gayung. Soeprapto, 23 tahun, satpam PT CPS dipaksa meminum air kencing 
itu. Penisnya digebuk pakai seikat sapu lidi dan disetrum. Mulut Soeprapto 
disumpal celana untuk meredam jeritannya saat disiksa. Kepalanya ditetak dan 
ketiaknya disulut rokok.

Rekan Soeprapto yang juga berprofesi sebagai satpam, Ahmad Sution Prayogi, 58 
tahun, tak bisa mengunyah makanan selama lima hari. Sebab aparat Kodam V 
Brawijaya merontokkan giginya.

Mutiari, 27 tahun, ketua bagian personalia PT CPS adalah satu-satunya perempuan 
dalam penyekapan di Kodam V Brawijaya itu. Dia dihantam kekerasan verbal. 
Mutiari diancam akan ditelanjangi dan disetrum. Dia juga diperdengarkan dan 
diperlihatkan orang lain yang sedang disiksa. Penyiksaan itu menyebabkan 
Mutiari kehilangan bayi yang sudah dikandungnya selama tiga bulan. Ia keguguran 
saat itu juga.

Penis Yudi Susanto, Direktur PT CPS, juga disetrum. Dia dipaksa mengepel lantai 
salah satu ruangan Kodam V Brawijaya dengan lidah. Di pelataran basis militer 
teritorial itu, Susanto diminta mencabut rumput dengan mulut. Aparat militer 
pun tak segan meludah ke mulutnya, lalu Susanto diminta menelan ludah itu. 
Pernah juga Susanto muntah karena disuruh mengunyah kain lap kompor, lalu dia 
diminta cuci muka dengan air muntahnya sendiri.

Tujuan dari penyiksaan yang rutin itu agar satpam dan manajemen PT CPS mengaku 
telah merencanakan pembunuhan Marsinah. Padahal aparat Kodam V Brawijaya-lah 
yang membuat skenario palsu strategi perencanaan dan eksekusi pembunuhan 
Marsinah itu.

Pada 21 Oktober 1993, aparat Kodam V Brawijaya menyerahkan mereka ke Polda 
Jatim. Siksaan verbal maupun fisik juga mereka rasakan di Polda Jatim, meski 
dengan intensitas yang lebih rendah.

Proses persidangan para tersangka yang penuh kejanggalan tidak membuat mereka 
terbebas dari dakwaan. Mereka diputus bersalah dan divonis penjara oleh 
Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surabaya, kecuali Yudi Susanto 
yang dibebaskan hakim Pengadilan Tinggi Surabaya. Jaksa Penuntut Umum yang 
menolak putusan bebas terhadap Yudi Susanto kemudian mengajukan pemohonan 
kasasi ke MA, permohonan kasasi juga diajukan delapan terdakwa lainnya.



Ahli Forensik Bersaksi
Setelah delapan orang divonis, Abdul Mun’im Idries, dokter dari Instalasi 
Kedokteran Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia turut 
ambil bagian sebagai saksi ahli. Dalam persidangan dia memaparkan kejanggalan 
barang bukti, kesaksian, dan hasil visum. Menurutnya, visum pertama tak sesuai 
standar pemeriksaan jenazah karena hanya bersifat parsial.

Dalam bukunya bertajuk Indonesia X-Files (2013), Idries mengungkapkan bahwa 
barang bukti proses peradilan berupa balok janggal. Ukuran balok yang digunakan 
menyodok bagian genital tubuh Marsinah tak sesuai dengan besar luka pada korban 
yakni 3 sentimeter. Menurutnya, satu luka pada bagian kelamin Marsinah tak 
sesuai dengan jumlah terduga pelaku yang berjumlah tiga orang.

Idries menegaskan bahwa pendarahan bukan penyebab kematian Marsinah, melainkan 
tembakan senjata api.

"Melihat lubang kecil dengan kerusakan yang masif, apa kalau bukan luka 
tembak?" ungkap Idries dalam tayangan Mata Najwa: X-File edisi 18 September 
2013.

"Pelakunya siapa yang punya akses senjata,” lanjut Idries. “Kita kan enggak 
bebas memiliki senjata."

Pada 3 Mei 1995, Mahkamah Agung (MA) memvonis bahwa sembilan terdakwa tak 
terbukti melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Hal itu tercatat dalam 
penelitian Iyut Qurniasari dan I.G. Krisnadi yang termuat di Jurnal Publika 
BudayaUniversitas Jember berjudul "Konspirasi Politik dalam Kematian Marsinah 
di Porong Sidoarjo Tahun 1993-1995".

Sembilan terdakwa dibebaskan, tapi siapa pembunuh Marsinah hingga kini tak 
pernah diungkap pengadilan.

“Persidangan dimaksudkan untuk mengaburkan militer tanggung jawab atas 
pembunuhan itu,” tulis Amnesty Internasional dalam laporannya, Indonesia: 
Kekuasaan dan Impunitas: Hak Asasi Manusia di bawah Orde Baru.

Trimoelja D Soerjadi, pengacara Marsinah, menuturkan, semua terdakwa secara 
bengis disiksa dan dianiaya. Intervensi militer itu adalah “Pengalaman yang 
getir, menyakitkan dan paling mengerikan serta menakutkan,” kata Soerjadi saat 
menerima Yap Thiam Hien Award untuk Marsinah di Jakarta pada 10 Desember 1994.

Hingga kini Marsinah ada di mana-mana. Dia menyelinap di berbagai produk payung 
hukum bagi hak buruh. Dalam putusan MK dan pengadilan, nama Marsinah kerap 
disebut. Misalnya dalam putusan 100/PUU-X/2012, Margarito Kamis menjelaskan 
bagaimana Marsinah menjadi tolak ukur bahwa buruh harus dilindungi.

Perjuangan buruh saat ini hanya catatan kaki bagi perjuangan Marsinah. Sisanya: 
kita yang berhura-hura di bawah bayang-bayang romantisme keheroikan Marsinah. 
Hingga kini kita belum terlalu peduli apakah ada serikat buruh dalam 
perusahaan. Kita belum serius memahami bahwa serikat adalah tempat saling 
berbagi kekuatan dan menumbuhkan kepekaan terhadap masalah rekan terdekat.

Diam-diam, hingga kini, represi tetap menjadi alat bagi siapa saja yang 
berkuasa. Masalah buruh tak pernah jauh dari 12 tuntutan yang dicanangkan 
Marsinah dan kawan-kawan. Kita hidup di sebuah negara dengan warisan tingkah 
yang brutal.
Baca juga artikel terkait ORDE BARU atau tulisan menarik lainnya Dieqy Hasbi 
Widhana
(tirto.id - Hukum) 


Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Ivan Aulia Ahsan
  • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke