https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?

_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644

Senin 14 Mei 2018, 16:38 WIB


   Kolom


 Bara dalam Sekam

Oman Fathurahman - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644#>
Oman Fathurahman <https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644#> Share *0* <https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644#> Tweet <https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644#> Share *0* <https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644#> 2 komentar <https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644#>
Bara dalam Sekam Ilustrasi: Instagram
<https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644#> <https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644#> <https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644#> <https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644#> *Jakarta* - Teror bom kembali terjadi di Indonesia. Kali ini bom bunuh diri menyasar rumah-rumah ibadah umat Kristiani di Surabaya (13/5) yang menewaskan setidaknya 13 orang, dan puluhan lainnya luka. Tragisnya, tindakan teror bom atas nama agama ini melibatkan satu keluarga yang terdiri dari ayah, istri, dan keempat putra-putrinya.

Investigasi awal aparat Kepolisian mengkonfirmasi bahwa sang ayah, Dita Fukrianto, adalah Ketua Jemaah Ansharud Daulah (JAD) yang bersama keluarganya baru kembali dari Suriah setelah bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Beberapa hari sebelumnya, napi aktivis JAD juga terlibat kerusuhan di Rutan Mako Brimob yang menewaskan 5 anggota Polisi.

Belum selesai kita menangis untuk Surabaya, bom kembali meledak 'sebelum waktunya' di Rusunawa Sidoarjo malam harinya.

Menyikapi tindakan-tindakan teror seperti ini, para elite negara dan tokoh agama sering menyampaikan ungkapan: "Terorisme sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran agama apa pun. Kalau mengatasnamakan agama, sebenarnya agama hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu." Benarkah demikian?

*Intoleran*

Kita semua sepakat bahwa secara normatif terorisme bukanlah bagian dari ajaran agama apa pun. Titik! Tapi, secara empirik fakta di lapangan mengkonfirmasi bahwa aksi-aksi teror dan bom bunuh diri sering terkait dengan jenis pemahaman dan tafsir ajaran agama yang intoleran, radikal, dan ekstrem.

Alih-alih menyelesaikan masalah, menyangkal aksi teror sebagai tidak ada kaitannya sama sekali dengan (tafsir) agama ibarat menyimpan bara dalam sekam. Kita akan baru tahu benar-benar ada kejahatan yang merusak saat sang bara keluar dari lubangnya.

Selain akibat adanya pemahaman keliru atas teks-teks normatif keagamaan, aksi-aksi teror atas nama agama juga masih terus terjadi karena sebagian kita masih suka '/excuse/' atas nama 'konspirasi politik', dan bersikap permisif atas perilaku intoleransi beragama.

Saat sejumlah lembaga riset merilis hasil survei dan penelitian beberapa waktu lalu tentang cukup tingginya intoleransi beragama dan radikalisme di kalangan muslim Indonesia, tidak sedikit komentar miring yang menganggap bahwa survei semacam itu bertujuan untuk memojokkan kelompok agama tertentu, dan berseberangan dengan fakta bahwa mayoritas muslim Indonesia bersikap moderat.

Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) bersama UN Women dan Wahid Foundation (2017) misalnya, mengingatkan bahwa dari 1.500 responden sebanyak 57,1% di antaranya bersikap intoleran terhadap kelompok-kelompok lain yang tidak disukai, termasuk di dalamnya umat Yahudi, Kristen, Ateis, Cina, Wahabi, Katolik, dan Buddha.

Demikian juga survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menemukan fakta mengejutkan. Bahwa, dari 2.181 responden, 37,71% di antaranya setuju bahwa jihad adalah berarti perang (/qital/) dan membunuh orang lain, 23,35% membenarkan tindakan bom bunuh diri sebagai salah satu bentuk jihad, serta 33,34% mengaku tidak masalah jika ada tindakan intoleran terhadap kelompok minoritas (PPIM, 2017).

Ini lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa kita memang punya pekerjaan rumah yang belum selesai terkait dengan sosialisasi pentingnya moderasi beragama yang kini giat dikumandangkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

Moderasi beragama menjadi sangat penting karena misi utamanya adalah mencari jalan tengah (/tawassuth/) agar teks-teks agama, baik dalam tradisi Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya tetap menjadi rujukan seseorang dalam menjalani kehidupan sosial keagamaannya, tapi di sisi lain juga tetap menggunakan akal dan nalar dalam menafsirkan teks-teks keagamaan tersebut, sesuai dengan konteks zaman dan waktu.

Saya sendiri lebih ingin melihat survei-survei semacam itu sebagai peringatan dini atas adanya potensi intoleransi keagamaan dan radikalisme yang dapat merusak sendi-sendi kebinekaan, kesatuan, dan demokrasi kita. Tapi, kita juga harus adil melihat bahwa intoleransi dan radikalisme niscaya ada dalam semua tradisi agama, bukan hanya Islam, jadi survei yang dilakukan seyogianya juga mencakup umat beragama lain.

*Sikap Kita*

Tagar #PrayForSurabaya, #BersatuLawanTerorisme, dan #KamiTidakTakutTeroris di linimasa media sosial sudah cukup menggambarkan kemarahan dan keprihatinan kita semua dalam sepekan ini atas tindakan biadab, jahat, dan destruktif yang dilakukan oleh pelaku teror sejak di Rutan Mako Brimob, Gereja Surabaya, hingga Rusunawa Sidoarjo.

Tapi, marah dan prihatin saja jelas tidak cukup. Kita perlu memiliki sistem peringatan dini yang efektif untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya lagi teror-teror yang menjijikkan itu. Sistem peringatan dini ini dapat berupa perangkat keras seperti Undang-undang Antiterorisme, maupun perangkat lunak seperti program deradikalisasi yang lebih menyeluruh, terintegrasi antarlembaga, serta menyentuh sisi-sisi kemanusiaan mereka yang telanjur terdampak paham radikal.

Kita perlu bersama-sama mendesak lebih keras lagi agar DPR segera mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sudah lebih dari satu tahun tak kunjung selesai. Para anggota dewan yang terhormat tidak sepatutnya menjadikan revisi UU Antiterorisme ini sebagai alat tarik ukur kepentingan politik sesaat; juga tidak perlu berpikir bahwa undang-undang ini akan memojokkan kelompok agama tertentu, karena yang sedang kita perangi adalah kejahatan kemanusiaan, sama sekali bukan kejahatan keagamaan!

Dan, yang tidak kurang pentingnya, kita perlu menjadikan momentum ini untuk kembali merajut kebersamaan kita yang sempat terkoyak akibat perbedaan pilihan politik. Dalam salah satu cuitan di akun /Twitter/ kemarin, saya berpesan: "Mari tidak nyinyir sejenak. Segenap rakyat Indonesia perlu bersatu padu bersama-sama melawan ideologi teroris, terlepas dari partainya apa, dan ideologi keagamaannya apa."

Jangan biarkan bara menjadi api!

*Oman Fathurahman* /Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta/


*(mmu/mmu)






*

Kirim email ke