-------- 轉寄郵件 --------
主旨:     [GELORA45] Mencemaskan Keindonesiaan Anak-anak,Kita
日期:     Tue, 5 Jun 2018 19:35:08 +0200
從: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com>

        

        





https://news.detik.com/kolom/d-4054246/mencemaskan-keindonesiaan-anak-anak-kita?_ga=2.248785474.416934674.1528219351-1028728267.1528219351

Selasa 05 Juni 2018, 15:00 WIB


   Sentilan Iqbal Aji Daryono


 Mencemaskan Keindonesiaan Anak-anak Kita

Iqbal Aji Daryono - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4054246/mencemaskan-keindonesiaan-anak-anak-kita?_ga=2.248785474.416934674.1528219351-1028728267.1528219351#>
Iqbal Aji Daryono <https://news.detik.com/kolom/d-4054246/mencemaskan-keindonesiaan-anak-anak-kita?_ga=2.248785474.416934674.1528219351-1028728267.1528219351#>

<https://news.detik.com/kolom/d-4054246/mencemaskan-keindonesiaan-anak-anak-kita?_ga=2.248785474.416934674.1528219351-1028728267.1528219351#><https://news.detik.com/kolom/d-4054246/mencemaskan-keindonesiaan-anak-anak-kita?_ga=2.248785474.416934674.1528219351-1028728267.1528219351#> Mencemaskan Keindonesiaan Anak-anak Kita Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)

<https://news.detik.com/kolom/d-4054246/mencemaskan-keindonesiaan-anak-anak-kita?_ga=2.248785474.416934674.1528219351-1028728267.1528219351#><https://news.detik.com/kolom/d-4054246/mencemaskan-keindonesiaan-anak-anak-kita?_ga=2.248785474.416934674.1528219351-1028728267.1528219351#> *Jakarta* - Seorang sahabat membagi sebuah kabar seru. Satu SD negeri di kotanya terindikasi melakukan pelanggaran serius atas prosedur pendidikan yang semestinya. Yang pertama adalah penutupan gambar simbol-simbol negara. Yang kedua dan lebih menarik, yaitu bagaimana murid-murid di sana tidak diajari tentang geografi wilayah Indonesia. Ya, bahkan anak-anak itu tidak paham bahwa kota mereka ada di Pulau Jawa!

Di zaman Orba, penutupan simbol negara bisa langsung membawa konsekuensi penggerudukan oleh aparat Babinsa. Namun, belum tentu bapak-bapak tentara terlalu memusingkan apakah murid diajari geografi dengan benar ataukah tidak. Kalau toh tak cukup baik pengajarannya, paling-paling murid dinasihati, "Ayo belajar lagi yang lebih giat! Nggak usah nunggu hadiah sepeda!"

Soal geografi ini sekilas tampak sepele, kecil artinya di hadapan penutupan lambang negara. Namun, ia justru merupakan mekanisme awal dalam membentuk imaji anak-anak tentang apa itu negara Indonesia. Tanpa memahami bahwa desanya bagian dari kotanya, kotanya bagian dari provinsinya, provinsinya bagian dari sebuah pulau besar di negerinya, dan pulau tersebut bagian dari Indonesia, maka dari titik /start/ yang mana ia paham bahwa dirinya orang Indonesia?

Sebuah peta, jika boleh genit sedikit dengan mengutip Ben Anderson, merupakan instrumen vital dalam membentuk imaji sebuah /nation/. Tanpa peta gugusan kepulauan Nusantara, kita tidak bisa larut ke dalam "komunitas terbayang" bernama Indonesia. Kita akan kabur membayangkan batas-batas wilayah, batas-batas kedaulatan, dan kabur juga mengidentifikasi siapa saja yang berdiri bersama kita dalam membentuk kolektivitas politik bernama negara.

Lalu, apa yang akan terjadi pada anak-anak di sekolah tersebut nantinya?

Perbincangan tentang kasus-kasus seperti ini tambah marak belakangan ini. Melawan radikalisme. Memberantas paham-paham anti-NKRI. Penumbuhan kembali kesadaran ber-Pancasila. Ujung-ujungnya, cuma kelompok yang itu-itu saja yang akan menjadi sasaran celaan dan kecurigaan kita. Siapa lagi?

Malangnya, ternyata hal-hal yang mengancam Pancasila bukan cuma mereka. Saya tambahkan satu cerita lagi, dan kali ini lebih mengenaskan.

***

Saya harus membuka aib saya, dengan membuat satu pengakuan dosa: anak saya belum benar-benar hafal Pancasila. Hafal sih, tapi Sila Keempat sering terlupa. Berkali-kali saya memaksanya menghafalkan dengan benar, namun pada akhirnya saya justru tercebur ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang lebih rumit tentang bagaimana nasib Pancasila dan keindonesiaan anak-anak kita.

Kasus anak saya memang agak khas. Dia menjalani pendidikan awalnya di Australia, mulai TK hingga kelas dua. Di sana, dia telanjur melihat banyak hal yang secara lazim dianggap lebih baik daripada di Indonesia. Di saat yang sama, kesadaran sebagai "orang Australia" ditumbuhkan di sekolah dengan cara yang sedikit berbeda dari pengajaran nasionalisme ala Indonesia.

Selain hal-hal standar seperti bendera dan lagu kebangsaan, juga hari peringatan kepahlawanan para pejuang Perang Dunia, ada satu yang paling memikat saya. Ini tentang sebuah lagu lain, berjudul /I Am Australian/. Lagu ini cantik, nadanya manis, syairnya ciamik. Di situ digambarkan siapa saja orang-orang Australia itu.

Yang pertama adalah mereka yang sudah tinggal di tanah itu selama 40.000 tahun, penghuni awal benua itu, yang digambarkan berdiri di atas karang sambil memandang kapal-kapal datang (tentu saja kapal-kapal orang Eropa!). Merekalah /first Australian/, orang-orang Aborigin.

Yang kedua adalah para tahanan yang turun dari kapal-kapal, diikati dengan rantai-rantai besi. Mereka adalah gelombang ratusan ribu narapidana yang didatangkan dari Inggris sebagai pemukim kulit putih mula-mula. Ujungnya, mereka berubah dari tahanan menjadi manusia bebas, membangun hidup dengan bertani, dan /became Australian/.

Yang ketiga saya tidak terlalu paham, tapi agaknya bagian itu mengisahkan tentang para petualang, pekerja-pekerja pertambangan yang berdatangan dari berbagai negeri, dan kemudian mereka juga menjadi orang-orang Australia.

Lihat, bagaimana proses meng-Australia digambarkan dalam sebuah lagu yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar. Ke-Australia-an ditampilkan bukan sebagai sesuatu yang statis. Ia tampil secara anggun sebagai rangkaian perjalanan, sebuah proses 'menjadi'. Meski sesungguhnya fakta historis pembantaian orang Aborigin sangat bisa dipakai untuk menggugatnya, namun lagu itu secara emosional jadi terasa merangkul segenap kalangan. Dan, puncaknya adalah syair bagian /chorus/ ini:

/We are one, but we are many, and from all the lands on earth we come/ We share a dream, and sing with one voice, I am you are we are Australian/

Wah. Saya bertanya ke anak saya, bagaimana perasaannya saat menyanyikan lagu tersebut? Apakah dia merasa sebagai bagian dari anak-anak yang datang ke benua itu "/from all the lands on earth/"?

Anak saya mengangguk-angguk mantap. Duh. Saya membayangkan dia larut dalam suasana sentimentil penuh rasa diterima, sembari melihat teman-teman sekolahnya yang mewakili berbagai kelompok imigran dari berbagai penjuru dunia. Dan, dia pun dengan GR merasa sebagai salah satu pihak yang disebut ketika semua anak mengucapkan "/we are Australian/"!

Situasi ini membuat saya galau, dan muncullah kesulitan selepas kami mudik ke kampung halaman. Anda tahu, seorang anak delapan tahun yang hidup pada 2018 tidak bisa begitu saja dijejali dogma-dogma. Maka, ketika saya memintanya untuk bahagia dan bangga menjadi anak Indonesia, dia bertanya kenapa. Saya pun geragapan berusaha mencari jawabnya. Kenapa dia harus bangga menjadi anak Indonesia? Bahkan lebih mendasar lagi: kenapa dia harus merasa sebagai anak Indonesia, dan menghilangkan imajinasi lamanya sebagai "anak Australia"?

Satu-satunya pertimbangan yang bisa dicerna seorang anak dalam hal ini adalah perkara-perkara kognitif. Kenapa dia harus mencintai Indonesia, sedangkan sebagian besar hal di Australia dia lihat lebih baik daripada di Indonesia? Mulai jalanan yang lebih tertib, lingkungan yang lebih bersih, burung-burung cantik yang bebas beterbangan, taman bermain yang gratis di mana-mana, sampai toilet umum yang tidak pesing dan tidak perlu bayar infak dua ribu untuk masuk ke sana. Bagaimana kami harus melawan jalan pikiran kanak-kanak yang demikian apa adanya?

Saya mencoba menggunakan senjata /Indonesia Tanah Air Beta/, lagu yang selalu mengingatkan saya akan suara Pak Wiranto saat nyapres pada 2004 dulu. Ada satu aspek penting yang ditekankan dalam lagu itu, yakni "/di sana tempat lahir beta/". Maka, saya katakan, "Kamu harus mencintai Indonesia karena kamu lahir di Indonesia, Nak."

Sial, saya kaget dengan jawabannya. "/Lho/, berarti Adik nggak harus /loves/ Indonesia? Kan Adik lahir di Australia? Berarti Adik bukan /Indonesian/, Pak? Adik /Australian/! Yeeee!"

/Dhuer/, matilah saya. Barulah saya ingat kalau adiknya memang lahir di Australia sembilan bulan silam. Saya pun gagal menggunakan sepotong lirik di lagu kegemaran Pak Wiranto itu. Lalu?

"Hmmm. Coba begini. Kamu suka kepingin lihat bapaknya Ryan di /Youtube Toys Review/, kan? Karena bapaknya Ryan sering banget membelikan mainan, /Kinderjoy-Kinderjoy/ dan banyak lagi, ya kan? Nah, Bapak enggak suka membelikan yang begitu-begitu. Berarti kamu mau ganti bapak? Kamu mau bapaknya Ryan jadi bapakmu?"

Anak saya tertawa-tawa sambil memukuli lengan saya.

"Nah, kalau kamu nggak mau, coba lihat. Indonesia tuh seperti orang tuamu sendiri. Mungkin Australia bisa ngasih kamu macam-macam, tapi dia bukan orang tuamu. Begitu."

Tentu saja argumen saya itu cuma langkah putus asa, dari seorang bapak yang terpaksa membuat analogi masalah dengan tidak cukup setara. /Lha/ tapi saya bisa apa?

***

Meski kasus anak saya agak khusus, tapi saya yakin dia tak sendiri. Ada sangat banyak anak Indonesia yang sulit memahami keindonesiaan mereka, dengan kondisi lebih parah ketimbang anak saya. Bisa jadi karena mereka menjalani masa tinggal yang lebih panjang di negeri manca. Bisa jadi mereka sudah kehilangan bahasa Indonesia mereka. Bisa jadi karena mereka dimasukkan ke sekolah-sekolah internasional yang agak menomorduakan pembentukan kesadaran murid sebagai manusia Indonesia. Dan lain-lain.

Sekarang coba simak situasinya. Bahasa adalah pengikat utama imajinasi kebangsaan. Dengan menipisnya penggunaan bahasa Indonesia, bagaimana ikatan imajiner itu diharapkan akan sekuat sebelumnya?

Ini sekilas tampak sebagai kekhawatiran berlebih. Namun, fakta sosial yang agak menggelikan memang saya lihat sendiri berkali-kali, yakni ketika sebagian orangtua merasa keren jika berhasil membuat anak mereka menjadi /English//speaker/ seutuhnya. Nah, yang semacam ini lambat laun menjadi fenomena lazim di masyarakat kelas menengah perkotaan.

Bayangkan. Anak-anak itu semakin kurang dalam menggunakan bahasa Indonesia. Di saat yang sama, mereka mendapat akses sangat mudah atas dunia digital yang melesapkan batas-batas geografis, sehingga terus terpapar dengan realitas kampung global yang kian menyempit, dan membuat mereka tidak terlalu peduli kaki mereka sedang menginjak wilayah negara mana. Mereka juga anak-anak yang lebih memilih berkunjung ke Disneyland daripada ke proyek-proyek keindonesiaan semacam Taman Mini Indonesia Indah, apalagi ke Museum Nasional.

Lalu, sampai kapan kita berharap anak-anak tersebut terus terkondisi untuk membangun imajinasi keindonesiaan dalam kepala-kepala mungil mereka? Apakah mereka akan cukup peduli Pancasila, misalnya? Kalau toh peduli, dan mereka melihat sila-sila Pancasila sebagai nilai-nilai moral berupa ketuhanan, kemanusiaan, musyawarah, dan keadilan, lalu bagaimana pandangan mereka atas Sila /Persatuan Indonesia/ yang barangkali terlalu abstrak bagi pikiran mereka?

Entah pertanyaan-pertanyaan itu akan terus mengalir ke mana. Yang jelas, ancaman atas keindonesiaan kita, dan ancaman atas Pancasila, ternyata tidak semata datang dari kalangan /so called/ radikal semata. Karena itulah, di bulan kelahiran Pancasila ini, saya berharap Ibu Mega selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila membantu saya untuk segera menemukan jawabannya.

*Iqbal Aji Daryono* /esais, tinggal di Bantul/


*(mmu/mmu)





*



---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com

Kirim email ke