Saya tidak lihat pentingnya import dosen asing ini. Yg lebih penting bagi saya 
adalah siapa yg mengimport? Karena import itu perlu duit. Kalau gratis yg gak 
apa2. Import saja sebanyak2nya. Banyak koq orang Indonesia yg kerja diluar mau 
balik Indonesia ngajar. Yang saya tahu juga sudah lumayan banyak.. Kalau mau 
permanen mintanya juga gak muluk2 gajinya. Yang penting bisa hidup layak dan 
keluarga terjamin. Wong kerja jadi dosen di usa dan kanada itu gajinya gak 
gede. Pas2an buat hidup.

 

Kalau pemerintah yg import ya dananya kan harus diatur. Harus dipikirin buat 
apa, jurusan apa dlsbg. Kalau import dosen asing misalnya jurusan teknik yg 
mestinya univ di Indonesia nya sudah ada perangkat lab dll. Kalau hanya 
dosennya saja yg diimport ngajarin teori saja buat apa? Kalau kasusnya begini 
ya mestinya dosen import ini disuruh mikir seperti konsultan utk mikirin gimana 
seharusnya langkah kedepan univ bersangkutan. Jadi jangan diimport hanya buat 
ngajar saja. Orang Indonesia banyak yg pintar dan bisa baca textbook. Gak perlu 
import kalau sekedar hanya ngajar teori2 yg ada dalam buku. Kerjaan lain 
termasuk: bikin kurikulum, bikin silabus, pathway kedepan misalnya 3, 5, 10 
tahun mendatang, kerja sama dengan univ luar negeri cari dana buat beasiswa 
kirimin dosen univ bersangkutan utk sekolah lagi dll.

 

Persoalan setiap PT di Indonesia itu beda2. Negeri dan swasta beda jalannya.. 
Mendingan duit anggarannya buat ngatur2 bebenah ngurus jalannya univ dan mhsw. 
Yang saya lihat sebetulnya persoalannya PT di Indonesia itu adalah masalah 
gaji. Mulai urus gaji ini dulu. Setelah gaji lalu urus kesejahteraan lain 
seperti rumah, kesehatan, transportasi. Kedua urus mahasiswanya. Wah ini 
mahasiswa sudah liar nya minta ampun sekarang. Lah wong sama dosen orang 
Indonesia saja kurang ajar nya minta ampun, apalagi sama dosen import yg gak 
ngerti kultur Indonesia. Bisa2 dosen import yg nyuruh bikin PR dihari jumat 
digebuk rame2 diuniv. yg radikal.

 

Saya denger sendiri bahwa dosen2 UI banyak yg miskin. Kalaupun dosen nya sudah 
kaya ya berkah tapi kan rata2 dosennya tidak kaya. Dosen yg kaya ini kasihan 
sama temen2 dosen koleganya. Bayangkan makan saja ngirit, naik transportasi 
umum harus mikir seefisien2nya. Makanya banyak yg keluar negeri ngajar di 
Malaysia paling dekat. Ya mereka ini gak mau dan gak seneng pisah sama keluarga 
kontrak kerja setahun, 2  tahun dst. Kalau boyong keluarga gajinya  gak cukup. 
Ya terpaksa pisah.

 

Jadi pandai2lah menggunakan dana pemerintah itu. 

 

From: GELORA45@yahoogroups.com <GELORA45@yahoogroups.com> 
Sent: Friday, June 1, 2018 3:14 AM
To: undisclosed-recipients:
Subject: Re: [GELORA45] Perlukah Perguruan Tinggi Indonesia Mengimpor Dosen 
Asing?

 

  

Bung Jo,

Tergantung ada cukup uang atau tidak, ada beberapa kemungkinan yang dapat 
dilakukan :

1. Kerjasama dengan universitas terkenal di luar negeri untuk mengirim docent 
"terbaik"

Indonesia untuk membantu penyelidikan di laboratorium luar negeri. Kami 
kebetulan kenal

seorang asisten professor dari Universitas Peking yang "dipekerjakan" 6 bulan 
di Canada, 

dan kemudian 6 bulan di Universieit Utrecht.

Waktu ngobrol sambil makan di rumah, dia cerita kalau gajinya dipekerjakan di 
luar itu, bisa 

untuk hidup ngirit di Tiongkok selama 20 tahun. Ya, waktu itu, tahun 1985 hidup 
di Tiongkok

itu masih murah sekali. Makanan di estaurant luar biasa murahnya.

2. Waktu kami ke Tiongkok di tahun 1986, dia mengundang istri saya lihat 
laboratorium dari

Universitas Peking bagian Geologi. Bossnya dia, Professor di situ hadir 
menyambut. Istri

saya terkejut, bilang pada saya di hotel, wah, kok jauh lebih maju dari lab.. 
Earth Science nya Utrecht,

sudah punya massspectography yang dihubungkan dengan alat2 lain.

Saya bilang, ya, ini kan lab. terbaiknya di seluruh Tiongkok. Saya kira, pasti 
universitas2 sejenis 

kirim mahasiswa2 trerakhirnya kerja di situ, kerja siang malam gunakan alat 
itu, dan juga untuk 

penyelidikan.

Istri saya tanya, kok tahu.

Saya bilang, dulu karena Prof. Dr. Ir. O Hong Djie tidak bisa hadir di Konggres 
Pendidikan BAPERKI,

dia pesan untuk disampaikan ideenya : Buka sebanyak mungkin universitas di 
kota2 lain. Yang penting

kuliahnya harus bagus, dan ada lab. dasarnya. Lab. yang canggih pusatkan di 
Jakarta saja, dan

daerah2 supaya menyumbang untuk bisa dirikan lab. itu. Baru di tahun terakhir 
mahasiswa2 dari daerah 

dikirim ke Jakarta untuk kerja di lab. Bisa digilir lab. jalan 24 jam dengan 3 
kelompok mahasiswa.

Sayang dengan kejadian 65, URECA diambil alih di jaman Suharto, diubah jadi 
TRISAKTI.

3.Bisa juga beberapa docent terbaik dikirim belajar lagi selama 1-2 tahun untuk 
menspesialisasikan diri

di vak tertentu, dan pulangnya mengajar kembali.

4. Dulu di ITB, kami pernah dapat bantuan docent2 dari Kentucky Contract Team. 
Ah, ada yang bagus,

di mata pelajaran Kimia Fisika. Kalau di Unit Operation dan Air pollution, ya 
biasa2 saja. Docent dari

Jerman, Prof. Bisanz ngajarnya praktisch sekali dan jelas, Di samping itu dia 
jadi kepala projek Rayon.

Banyak mahasiswa terakhir pilih kerja lab terakhir dan bikin plant designnya 
pada dia. Kemudian ada

beberapa kerja di proyek Rayon di bawah dia. Selain itu juga mengirim 3 
mahasiswa ke Jwerman dengan

beasiswa DAAD. Ini untungnya kalau bisa dapat tenaga pengajar, yang di 
negerinya sangat terkenal, dan

dapat membantu mencarikan beasiswa untuk lulusan Indonesia.

KH

 

2018-06-01 7:53 GMT+02:00 jonathango...@yahoo.com 
<mailto:jonathango...@yahoo.com>  [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com 
<mailto:GELORA45@yahoogroups.com> >:

  

 


Perlukah Perguruan Tinggi Indonesia Mengimpor Dosen Asing? 
<https://m.liputan6.com/news/read/3533418/perlukah-perguruan-tinggi-indonesia-mengimpor-dosen-asing>
 


Oleh  <https://m.liputan6.com/me/liputan.enam> Liputan6.com pada pada 21 Mei 
2018, 19:07 WIB

  
<https://cdn1-a.production.images.static6.com/E6QK9Y77TOsIJJAAbmzJX3L-wPg=/375x208/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/liputan6-media-production/medias/1761222/original/077882400_1509949766-Opini_RSumanto_al_Qurtuby__PHD.jpg>
 

 

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu topik yang menjadi perdebatan hangat saat 
ini adalah tentang rencana pemerintah untuk mengimpor  
<https://m.liputan6.com/news/read/3457717/bamsoet-minta-kemristekdikti-tak-buru-buru-impor-dosen-asing>
 dosen atau tenaga pengajar perguruan tinggi dari luar negeri.

Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan, agar 
perguruan tinggi (PT) atau pendidikan secara umum di Tanah Air masuk reputasi 
atau "kelas dunia", Indonesia setidaknya membutuhkan sekitar 200 
<https://www.liputan6.com/tag/dosen-asing>  dosen asing.

BACA JUGA

*        
<https://m.liputan6.com/regional/read/3544251/paham-radikal-mengintai-mahasiswa-baru-kampus-di-malang>
 Paham Radikal Mengintai Mahasiswa Baru Kampus di Malang
*        
<https://m.liputan6.com/regional/read/3541255/usai-setahun-dibekukan-mapala-uii-kembali-aktif>
 Usai Setahun Dibekukan, Mapala UII Kembali Aktif

*        
<https://m.liputan6.com/news/read/3539986/temui-mahasiswa-ri-di-korsel-misbakhun-beber-strategi-jokowi-hadapi-revolusi-industri>
 Temui Mahasiswa RI di Korsel, Misbakhun Beber Strategi Jokowi Hadapi Revolusi 
Industri

Kata Menristek Dikti, salah satu indikator untuk mengukur reputasi pendidikan 
sebuah negara di tingkat internasional adalah staff mobility, yaitu sejauh mana 
mobilitas dosen asing yang mengajar di negara tersebut dan juga sebaliknya: 
sejauh mana dosen negara tersebut yang mengajar di luar negeri.

Tetapi bukan itu saja yang membuat Indonesia dirasa perlu mengimpor dosen 
asing. Salah satu faktor krusial lain, menurut Menteri Nasir, adalah minimnya 
dosen dalam negeri yang berkualitas dunia atau bertaraf internasional.

Jumlah dosen di Indonesia diperkirakan sekitar 277.000, yang 5.400 di antaranya 
bergelar profesor atau guru besar. Itupun sedikit sekali profesor yang berkelas 
dunia.

Pemerintah sendiri sudah menerbitkan sebuah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 
20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), untuk menjembatani 
atau memfasilitasi upaya perekrutan dosen-dosen dari luar negeri, agar mengajar 
dan riset di kampus-kampus Indonesia.

Menteri Nasir juga menandaskan bahwa Indonesia memang membutuhkan dosen asing, 
tentu saja dosen asing yang berkualitas, karena perguruan tinggi di Tanah Air 
yang jumlahnya lumayan banyak, yakni sekitar4.500.

Meskipun idealnya Indonesia membutuhkan lebih dari 1.000 tenaga pengajar asing, 
Kemenristek Dikti tahun ini hanya mampu menganggarkan 200 dosen saja, khususnya 
dosen-dosen di bidang sains dan teknologi, termasuk matematika, ilmu perikanan, 
dan pertanian.

Sementara ini, konon hanya ada 30 orang saja dosen asing yang mengajar di 
perguruan tinggi di Indonesia, khususnya dari Jepang, Australia, Korea Selatan, 
atau Amerika.

Itupun status mereka hanya sebatas sebagai "dosen tamu" (visiting professor). 
Sebagian besar para dosen asing di Indonesia, digaji melalui teaching 
fellowship dari negara mereka masing-masing, atau sebagai bagian dari program 
pertukaran atau kerja sama antara perguruan tinggi di Indonesia dan mancanegara.

Melalui Perpres ini, tenaga pengajar asing akan digaji penuh oleh pemerintah 
Indonesia, yang konon sekitar 65 juta per bulan plus berbagai fasilitas lain.

Dalam implementasinya, masing-masing perguruan tinggi di Indonesia boleh 
mengusulkan nama-nama  
<https://m.liputan6.com/regional/read/2461859/11-ptn-bakal-pekerjakan-dosen-asing>
 dosen asing untuk didatangkan dan mengajar, nanti pemerintah yang akan 
mengevaluasi dan menilai layak-tidaknya mereka didatangkan.

 

 

1 of 3


  _____  


Keputusan Tepat


  
<https://cdn0-a.production.images.static6.com/Bip-JhG4uPtM0zDoJzeQdgsat_A=/375x208/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/liputan6-media-production/medias/1794195/original/041602700_1512647800-sampoerna_673x373.jpg>
 

Ilustrasi pengajaran kuliah (Foto: Sampoerna University)

Seperti biasa, kebijakan mengimpor dosen asing ini menimbulkan pro-kontra di 
masyarakat. Ada yang setuju, tapi ada pula yang keberatan dengan gagasan dan 
kebijakan ini.

Ada sejumlah alasan dan argumen kenapa mereka keberatan dengan kebijakan 
pemerintah ini. Antara lain:

1. Tentang jarak gaji yang sangat timpang antara dosen lokal dan dosen asing, 
yang dikhawatirkan berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial.

2. Perekrutan tenaga pengajar asing dipandang bisa mengancam eksistensi 
dosen-dosen lokal.

3. Problem wawasan kebangsaan para dosen asing.

Para pengritik juga menyarankan kepada pemerintah agar lebih fokus 
mengoptimalkan potensi para tenaga pengajar lokal, terlebih mereka yang didikan 
dari kampus-kampus ternama di luar negeri, ketimbang mengimpor dosen yang belum 
tentu memiliki kualitas baik.

Saya sendiri berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk mengimpor dosen asing 
itu sudah tepat.

Jika perguruan tinggi di Indonesia ingin maju dan memiliki reputasi akademik 
berkelas internasional, maka mau tidak mau mereka harus banyak berbenah dan 
melakukan banyak perubahan dan terobosan penting.

Antara lain melalui pengaturan mekanisme perekrutan dosen yang bermutu dan 
produktif dalam riset, konferensi, dan publikasi akademik dari negara manapun.

Tentu saja jika ada dosen berkualitas dari Tanah Air, mereka perlu 
diprioritaskan. Tetapi jika tidak ada atau kekurangan stok dosen yang bagus, 
maka tidak ada salahnya jika pemerintah menjaring atau mengimpor dosen-dosen 
berkualitas dari mancanegara demi kemajuan pendidikan dalam negeri.

Mekanisme, kebijakan, dan pola perekrutan dosen-dosen berkelas dari berbagai 
negara itu sudah lama dilakukan oleh berbagai negara maju di dunia, sehingga 
membuat kampus-kampus mereka mentereng dan berkibar ke seantero dunia.

Dalam hal ini, Indonesia sebetulnya sudah sangat terlambat dengan negara-negara 
lain. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan berbagai 
negara di Eropa Barat, bahkan Jepang, Korea Selatan, China, Hongkong, 
Singapura, dan Malaysia sudah lama menerapkan hal ini.

Di negara-negara Arab Teluk seperti Saudi, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, 
Bahrain, Oman, atau di kawasan Arab lain seperti Libanon yang memiliki 
kampus-kampus bagus, juga sudah lama menerapkan kebijakan model ini.

Di berbagai "negara baru" di Asia Tengah juga sedang gencar melakukan 
perekrutan dosen asing, guna membantu memajukan perguruan tinggi mereka.

Bahkan harus diakui, yang membuat reputasi kampus-kampus di banyak negara, 
termasuk Arab Teluk, menjadi mentereng karena kontribusi dari para dosen atau 
peneliti asing.

Di kampus-kampus di Eropa Barat, Arab Teluk, dan Singapura bahkan 70 persen 
dosennya berasal dari mancanegara.

Kampus-kampus bagus dan berkualitas umumnya tidak mempedulikan dari negara mana 
para pelamar dosen berasal. Mereka hanya fokus pada kualitas aplikan dosen, 
bukan nasionalitas mereka.

 

2 of 3


  _____  


Masih Terbelit Nepotisme


  
<https://cdn0-a.production.images.static6.com/7gBG5KEM_SXY2wP9nDIoip2oJMg=/375x208/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/liputan6-media-production/medias/1161878/original/056142300_1457160237-20160305-Education-Expo-2016-Jakarta-Sampoerna-University-YR7.jpg>
 

Sofia Blake berbincang dengan seorang pengajar Sampoerna University saat 
melihat workshop di Sampoerna University education expo, Jakarta, Sabtu 
(5/3/2016). Sampoerna University gelar Education Expo 2016 di Sampoerna Square. 
(Liputan6.com/Yoppy Renato)

Selama ini, harus diakui, mekanisme perekrutan dosen di berbagai perguruan 
tinggi di Indonesia belum bermutu, karena masih mengandalkan semangat 
perkoncoan, nepotisme, dan jaringan alumni, selain faktor politik-keagamaan 
tertentu.

Sependek pengetahuan saya, hanya Sampoerna University yang membuka peluang 
pendaftaran para aplikan dari luar negeri, untuk ikut berkompetisi dalam 
penjaringan dosen.

Sementara, kampus-kampus lain masih menerapkan pola-pola feodal. Sangat 
disayangkan kampus-kampus besar di Indonesia masih menerapkan mekanisme 
perekrutan yang tidak bermutu dan profesional.

Misalnya mereka hanya mau merekrut atau mempertimbangkan untuk dijadikan 
sebagai dosen kalau si pelamar itu adalah alumnus dari perguruan tinggi 
tersebut.

Padahal, kampus-kampus bagus di luar negeri berlomba-lomba merekrut dosen-dosen 
hebat alumnus dari kampus-kampus lain, sambil mendorong para alumninya untuk 
melamar di kampus-kampus lain.

Sementara kampus-kampus di Indonesia justru melakukan sebaliknya. Hampir-hampir 
susah menjadi tenaga pengajar di sebuah kampus besar, jika ia bukan alumnus 
dari kampus tersebut.

Sudah saatnya di era globalisasi ini, dunia pendidikan perguruan tinggi di 
Indonesia harus membuka diri dan mengikuti model perekrutan terbuka kepada 
siapa saja dan dari negara mana saja.

Tentu saja semua itu harus dilakukan secara profesional, dengan lebih 
mempertimbangkan pada kualitas aplikan, karena tidaksemua dosen luar negeri itu 
bermutu dan berkualitas, dalam pengertian memiliki reputasi dan rekam jejak 
mengajar yang baik, riset yang mumpuni, dan publikasi akademik yang memadai.

Artinya, pemerintah dan perguruan tinggi harus tetap selektif dalam menjaring 
para tenaga pengajar asing.

Dengan adanya para dosen asing yang berkualitas, tidak perlu membuat para dosen 
lokal minder. Justru seharusnya bisa dijadikan sebagai momentum untuk bekerja 
sama dan saling belajar tentang sistem mengajar yang efektif, metode dan proses 
riset yang baik dan ilmiah, sertapenulisan karya-karya akademik yang 
berkualitas internasional.

Semoga bermanfaat.

 

 

 



Kirim email ke