Paling berbahaya dan salah besar orang yg mengatakan STEM lah yg memajukan 
suatu negara. Apalagi ditambah social science "LESS USEFUL or USELESS".

 

Ini yg dipakai soeharto berpuluh2 tahun utk meninabobokan rakyat Indonesia. 
Semua pasti tahu sampai keruntuhan Orba IPA/paspal adalah milik orang pintar. 
IPS/ekonomi/Bahasa jurusan orang goblok. Ini dibentuk sedemikian rupa oleh 
soeharto utk melanggengkan kekuasaannya. Setelah peristiwa malari dema/sema 
dikampus2 dibredel diganti yg Namanya BPM dan sema yg sudah dikebiri.

 

Kenapa soeharto begitu? Karena soeharto takut rakyatnya melek ilmu2 sosial 
seperti politik, filsafat, kesenian, ekonomi dll. Sehingga dia bisa jadi raja 
tanpa tandingan. Mana ada orang sekolah diluar negeri ilmu social jaman 
soeharto? Jarang sekali. Kebanyakan belajarnya ilmu pasti alam. Sedikit sekali 
yg lulus master/phd ilmu social dibandingkan master/phd ilmu eksata. Setelah 
tahun2 1990 an awal baru ada mengerti dan belajar ilmu ekonomi. Lalu setelah 
soeharto jatuh baru orang2 ini bangkit. Sekarang sudah banyak yg belajar ilmu 
social diluar negeri sampai2 jurusan yg kurang diminati seperti social work pun 
sudah ada phd nya.

 

Coba pakai logika umum gimana suatu negara bisa hebat dengan teknologi?

Permasalahan suatu negara itu lebih ke mengurus rakyat. Ini aspek social 
politik. 

 

From: GELORA45@yahoogroups.com <GELORA45@yahoogroups.com> 
Sent: Thursday, May 31, 2018 6:41 PM
To: b...@yahoo.com; Yahoogroups <gelora45@yahoogroups.com>
Subject: [GELORA45] Re: Pendidikan, setelah 20 tahun Reformasi

 

  

Hal ini saya rasa karena Ariel Heryanto dari social sciences jadi yg disebut 
beliau yg diketahui saja. 

 

Sekitar th akhir 70-an atau awal 80-an ada dosen asing orang Jerman yang 
mengajar fisika di UKSW, beliau pernah jadi candidate nobel laureate (tapi 
tidak terpilih). Pada waktu itu mahasiswa akhir fakultas teknik banyak yg 
sebelum lulus sudan dapat pekerjaan di -perusahaan2 pertambangan seperti 
Schlumberger misalnya suatu hal yg secara tidak langsung menunjukkan tingginya 
kwalitas fakultas teknik; sayangnya, saya rasa sistem akreditasi yg diterapkan 
pemerintah merusak kwalitas fakultas teknik karena sebagai universitas swasta 
(dengan status terdaftar, waktu itu) harus mengikuti arahan dan ujian dari 
Universitas Diponegoro dus jadinya mematikan kreatifitas UKSW dalam menyusun 
kurikulum dan jadinya mengikuti standarisasi yg ditetapkan UnDip, sedangkan 
(ini menurut saya) STEM UKSW lebih bagus daripada UnDip.

 

Tetapi diatas hanya assessment saya saja, belum tentu benar.

 

Kemampuan UKSW meng-impor dosen asing kemungkinan karena sebagai Universitas 
Kristen yg mempunyai hubungan kerja sama melalui lembaga keagamaan. Tetapi saya 
tidak tahu keadaan saat ini bagaimana.

 

 

On Thursday, May 31, 2018, 3:03:09 PM PDT, b...@yahoo.com 
<mailto:b...@yahoo.com>  [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com 
<mailto:GELORA45@yahoogroups.com> > wrote: 

 

 

Penulis Ariel Heryanto menulis ttg. internasionalisasi perguruan tinggi, tetapi 
betul sekali, yg. di bangga2 kan atau contoh2 nya kog dari Social Science/Ilmu 
Sosial contohnya seperti George Adijondro, Arief Budimam, Sumartana, Gerry van 
Klineken, Mereka adalah "LESS USEFUL or USELESS" utk. memajukan negara seperti 
di negara2 lain seperti Amerika, Tiongkok, Eropa. Yg. diperlukan adalah 
orang2/ahli2 dibidang Science & Technology. Kemajuan Amerika, ya, kerena 
mengambil imigran2 dari bagian Science & Technology dan bukan dari bagian 
Social Science. Tiongkok mengirim ratusan ribu student2 nya kr LN utk. 
memajukan negaranya juga dari bagian Science & Technolog dan bukan dari Social 
Science.





---In GELORA45@yahoogroups.com <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> , 
<jonathangoeij@... <mailto:jonathangoeij@...> > wrote :

Selain dibawah yg kebanyakan dari social sciences juga ada dalam STEM seperti 
misalnya Liek Wilardjo Ph.D dari Michigan State yang merupakan ilmuwan 
matematika dan fisika yang belakangan kemudian juga berkecimpung dalam 
filsafat/etik, dan ada lagi dosen asing dari Jerman (saya lupa namanya) yang 
merupakan kandidat nobel fisika. 

 

---

Di kampus ini pernah hadir sebagian tokoh intelektual legendaris. Ketika  
<http://jateng.tribunnews.com/2014/10/06/lebih-dekat-dengan-prof-arief-budiman-di-salatiga>
 Arief Budiman(salah satu perintis Manifes Kebudayaan dan Golput) mengakhiri 8 
tahun perantauannya, ia memilih bekerja di UKSW. Almarhum  
<https://indoprogress.com/2017/01/obituari-tentang-george-junus-aditjondro/> 
George Y Aditjondro sempat berkuliah dan mengajar di UKSW. Ia dikenang karena 
ketekunannya meneliti seluk-beluk harta keluarga Cendana di berbagai penjuru 
dunia. Almarhum  
<https://www.readthespirit.com/interfaith-peacemakers/th-sumartana/> Th 
Sumartana (pendiri Yayasan Dialog Antariman). Salah seorang mantan dosen UKSW,  
<http://www.kitlv.nl/researchers-klinken/> Gerry van Klinken, kini dikenal 
sebagai salah satu peneliti paling terkemuka di dunia tentang politik Indonesia.

....


Pendidikan, setelah 20 tahun 
<http://theconversation.com/pendidikan-setelah-20-tahun-reformasi-97209>  
Reformasi


 




                

        

Pendidikan, setelah 20 tahun Reformasi


Ariel Heryanto

Di abad baru ini, internasionalisasi perguruan tinggi layak dipertimbangkan

 

 

May 25, 2018 5.12am EDT

Internasionalisasi perguruan tinggi bisa sangat baik bila dirancang dan 
dilaksanakan hati-hati. www.shutterstock.com <http://www.shutterstock.com> 

 

 

 

 

Berbagai ulasan peringatan 20 tahun Reformasi menunjukkan lebih banyak yang 
kecewa ketimbang bersyukur. Beberapa sebab bisa dilacak.

Pertama, banyak yang berharap berlebihan. Reformasi telah disalah-pahami, 
disamakan dan diharapkan sebagai revolusi.

Kedua, Reformasi 1998 dimaknai pertama-tama dan utama sebagai perubahan politik 
formal, yakni meliputi perubahan di lembaga kenegaraan dan kebijakan. Nyatanya, 
tidak sedikit elit politik Orde Baru bergeming dari politik elit pasca Orde 
Baru.

Ketiga, sejarah sering diabaikan. Harapan muluk yang kandas menjelang perubahan 
sosial bukan barang baru dalam sejarah bangsa ini. Ini terjadi pada peralihan 
kekuasaan berdarah dari pemerintahan  
<https://genosida1965wordpress.wordpress.com/> Sukarno ke Suharto (1966). Hal 
yang sama terjadi sebelum dan  
<https://historia.id/modern/articles/zaman-berdarah-P9jZX> setelah Indonesia 
merdeka dari penjajahan.


Dua masalah besar


Berbeda dari sebagian besar ulasan tentang Reformasi 1998 yang terfokus pada 
politik elit, catatan ini berbincang mengenai nasib anak didik dan lembaga 
pendidikan. Pada intinya, tulisan ini merujuk dua masalah utama.

Pertama, sejak didirikan pemerintah kolonial hingga hari ini, lembaga 
pendidikan formal sekuler belum pernah menikmati otonomi dan belum dikelola 
secara profesional sesuai kaidah keilmuan. Sejak ada “sekolah”, lembaga 
pendidikan diperlakukan sebagai kepanjangan birokrasi negara. Parahnya lagi, 
sejak Orde Baru, nasib pendidikan (seperti nyaris semua organisasi sosial) 
diintervensi berbagai  
<https://arielheryanto.wordpress.com/2017/11/07/ideological-baggage-and-orientations-of-the-social-sciences-in-indonesia/>
 kepentingan politik yang berkuasa.

Kedua, di abad baru ini  
<https://jatim.antaranews.com/berita/146425/menristek-upayakan-internasionalisasi-perguruan-tinggi>
 internasionalisasi perguruan tinggi (PT) layak dipertimbangkan serius. Perlu 
pemerataan kesempatan internasionalisasi bagi mereka yang jauh dari Jakarta. 
Kedua masalah ini akan saya bahas satu per satu.


Intervensi politik


Gaya penjajahan Inggris, Perancis, Spanyol agak berbeda dari Belanda. Pada 
penjajah Inggris, Perancis dan Spanyol ditemukan ada niat merombak masyarakat 
jajahan menjadi lebih “modern” ala Eropa. Mereka giat menyebarkan agama, 
kebudayaan dan bahasa dari asal pejajah ke penduduk terjajah. Belanda berbeda.

Di Hindia Belanda, pemerintah kolonial membatasi modernisasi. Hindia Belanda 
merupakan satu-satunya negeri kolonial besar berusia panjang yang dijalankan 
tanpa menggunakan bahasa Eropa, tapi bahasa Melayu.

Pendidikan liberal dan kemanusiaan sebagai produk modernitas Eropa 
diperkenalkan lebih banyak dan lebih awal di beberapa jajahan Eropa lain 
ketimbang di Hindia Belanda. Di negeri yang kemudian bernama Indonesia, sejak 
awal sekolah didirikan dengan tujuan utama menyiapkan tenaga pegawai rendahan 
untuk membantu berputarnya ekonomi dan pemerintahan kolonial. Bukan mendidik 
warga menjadi cendekia yang berpikir kritis, bekerja mandiri, berwawasan 
inovatif dan kreatif.

Setelah merdeka, kondisi Indonesia porak-poranda karena perang dan revolusi 
sosial. Perang Dingin di tingkat dunia mengganggu stabilitas nasional. Kaum 
politikus sibuk bertikai tanpa henti, dan berpuncak pada pembantaian 1965..

Baru setelah Orde Baru berkuasa (1966) dan dilanjutkan setelah hingga 
keruntuhannya (1998), pendidikan mengalami pertumbuhan besar-besaran secara 
kuantitas. Kesempatan bersekolah bagi anak-anak usia sekolah terbuka luas. 
Kesenjangan bersekolah antar wilayah, dan antar jenis kelamin dipersempit.

Namun, masalahnya, peningkatan kualitas berjalan sangat lamban.

Dalam kualitas pendidikan, masih ada kesenjangan serius antara Jakarta dan 
daerah. Jakarta sendiri tertinggal jauh dari negara-negara lain  
<https://news.idntimes.com/indonesia/rosa-folia/meski-akses-mudah-kualitas-pendidikan-di-indonesia-masih-rendah-1/full>
 di tingkat global. Bahkan tertinggal parah dibandingkan tetangga  
<https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/03/11/inilah-peringkat-indonesia-di-daftar-20-negara-asia-terbaik-2018>
 terdekatnya di Asia Tenggara.

Sudah banyak (maka tak perlu dikutip ulang) penelitian terdahulu menggambarkan 
rendahnya mutu pendidikan dan penelitian Indonesia. Baik tingkat kemampuan 
siswa sekolah dasar dan menengah maupun karya akademik para sarjana di PT. 
Padahal rekan-rekannya di negeri bekas jajahan yang lain menempati peringkat 
tinggi.

Masalahnya bukan karena orang Indonesia kurang cerdas. Sebagian sebabnya, 
terlalu seringnya intervensi eksternal yang merusak pengelolaan lembaga 
pendidikan. Pemerintah dan partai-partai politik yang berkuasa dalam 
pemerintahan ikut campur dalam pengelolaan kurikukum, pengelolaan tenaga 
pendidik, pimpinan PT, hingga pengangkatan guru-besar.

Sebagian lain karena dasar-dasar pendidikan keilmuan (berbeda dari penataran 
ketrampilan) sangat lemah dalam tradisi belajar-mengajar di negeri ini sejak 
masa kolonial. Ini lanjutan dari kebijakan kolonial yang sudah saya sebut di 
atas: tujuan utama pendidikan bukan menyiapkan cendekia yang berpikir kritis, 
bekerja mandiri, berwawasan inovatif dan kreatif. Namun, pegawai negeri dan 
profesional yang siap kerja secara patuh.

Sejak Indonesia merdeka, ideologi telah membelah bangsa ini, juga di lembaga 
pendidikan. Setelah 1965, ratusan ribu atau jutaan warga akademik kehilangan 
hak sipilnya dalam bekerja atau belajar di dunia pendidikan karena  
<https://news.detik.com/australia-plus-abc/d-3274077/genosida-intelektual-kiri-indonesia-pasca-1965>
 alasan ideologis.

Setelah lulus SMA, saya mendaftar beberapa PT di kota kelahiran, karena 
terbatasnya dana keluarga. PT yang pertama menolak karena latar-belakang ras 
keluarga saya. Yang kedua menerima, tetapi menuntut pembayaran uang masuk lima 
kali lipat dari angka resmi, lagi-lagi karena latar-belakang ras keluarga saya. 
Sayangnya, tuntutan mereka jauh dari jangkauan ekonomi keluarga kami.

Menjelang akhir masa Orde Baru, saya lulus studi program studi doktor di 
Australia. Saya mencari kerja sebagai dosen di beberapa PT, tetapi gagal kali 
ini karena latar belakang agama. Beberapa sahabat dengan jabatan lumayan tinggi 
di universitas tersebut menjelaskan bahwa masalahnya bukan saja agama saya 
tidak sesuai dengan agama mayoritas di lembaga itu. Bahkan kalau pun agama saya 
sudah sama, jika aliansi organisasi keagamaan saya berbeda dari mereka, proses 
rekrutmen akan tetap sulit.

Tidak semua pengalaman saya di PT serba pahit. Berikut ini sebagian yang manis.


Internasionalisasi di daerah


Pemerintah Indonesia kini mendorong internasionalisasi PT dalam berbagai 
program. Disediakan  
<http://www.profesi-unm.com/2018/01/05/anggaran-naik-tiga-kali-lipat-kuota-beasiswa-lpdp-ditambah/>
 beasiswa berlimpah untuk program studi S2 dan S3 di manca negara. Dorongan 
publikasi di jurnal internasional, kerjasama penelitian dan pengajaran lintas 
negara, serta partisipasi dalam seminar internasional juga digenjot. 
Belakangan, Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi  
<http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/18/04/19/p7fa1c428-kemenristekdikti-anggarkan-rp-300-m-untuk-gaji-dosen-asing>
 berencana mengundang 200 dosen asing yang akan digaji dengan standar 
internasional.

Berbagai kebijakan itu sempat menuai debat.

Menurut saya, internasionalisasi bisa sangat baik bila dirancang dan 
dilaksanakan hati-hati. Tidak cukup mengundang tenaga ahli asing sebagai dosen 
atau peneliti.  
<https://tirto.id/mengapa-kita-terus-mencurigai-internasionalisasi-perguruan-tinggi-cH4f>
 Internasionalisasi juga diperlukan di kalangan mahasiswa, tenaga profesional 
administrasi, termasuk rektor, dekan atau kepala biro.

Yang tidak kalah penting, internasionalisasi seharusnya tidak terpusat hanya di 
Jakarta atau segelintir ibu kota propinsi lainnya. Kesempatan yang sama, atau 
lebih, selayaknya tersedia bagi mereka yang jauh dari Jakarta.

Nilai positif internasionalisasi layak dimaknai secara luas. Tidak semata-mata 
untuk kenaikan peringkat dalam lomba keunggulan antar universitas. 
Internasionalisasi membuka kesempatan belajar-mengajar yang istimewa bila 
melibatkan warga akademik dari berbagai latar belakang di tingkat global.

Saya termasuk satu dari sedikit akademikus yang beruntung. Setelah ditolak di 
sejumlah universitas saya diterima berkuliah di Universitas Kristen Satya 
Wacana (UKSW). Ini PT kecil, swasta, dan tidak tenar sewaktu saya daftar. 
Ketika saya lulus dan sempat bekerja sebagai dosen di situ, UKSW menjadi salah 
satu universitas yang paling menonjol di Asia Tenggara.

Di kampus ini pernah hadir sebagian tokoh intelektual legendaris. Ketika  
<http://jateng.tribunnews.com/2014/10/06/lebih-dekat-dengan-prof-arief-budiman-di-salatiga>
 Arief Budiman(salah satu perintis Manifes Kebudayaan dan Golput) mengakhiri 8 
tahun perantauannya, ia memilih bekerja di UKSW. Almarhum  
<https://indoprogress.com/2017/01/obituari-tentang-george-junus-aditjondro/> 
George Y Aditjondro sempat berkuliah dan mengajar di UKSW. Ia dikenang karena 
ketekunannya meneliti seluk-beluk harta keluarga Cendana di berbagai penjuru 
dunia. Almarhum  
<https://www.readthespirit.com/interfaith-peacemakers/th-sumartana/> Th 
Sumartana (pendiri Yayasan Dialog Antariman). Salah seorang mantan dosen UKSW,  
<http://www.kitlv.nl/researchers-klinken/> Gerry van Klinken, kini dikenal 
sebagai salah satu peneliti paling terkemuka di dunia tentang politik Indonesia.

  
<https://images.theconversation.com/files/220433/original/file-20180525-51121-cu8g4p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip>
 (dari kiri ke kanan) Dosen tetap Universitas Kristen Satya Wacana Gerry van 
Klinken, Nina (anak Ariel Heryanto), Rossie (anak Gerry), peneliti tamu Keith 
Foulcher, Helene van Klinken (istri Gerry) dan Ariel Heryanto. Author provided 
(No reuse)

Lulusan UKSW dari generasi yang lebih muda termasuk  
<https://tirto.id/m/yosep-stanley-adi-prasetyo-kG> Stanley Prasetyo (mantan 
Wakil Ketua Komnas HAM, kini Ketua Dewan Pers Nasional),  
<https://www.hrw.org/about/people/andreas-harsono> Andreas Harsono (salah satu 
pendiri ISAI, AJI, Yayasan PANTAU dan kini peneliti Human Rights Watch),  
<https://www.pantau.or.id/?/=d/177> Bre Redana (novelis dan mantan wartawan 
senior Kompas), dan Danang Widoyoko (mantan Direktur  
<https://www.antikorupsi.org/> Indonesia Corruption Watch).

Salah satu dari rahasia keberhasilan UKSW adalah dinamika kampus yang 
melibatkan mahasiswa dan dosen dari Sabang hingga Merauke. Juga dosen dan 
mahasiswa dari beberapa benua lain. Para dosen asing itu diterima UKSW bukan 
dalam usaha untuk berlomba peringkat.

Mungkin pengalaman UKSW tidak tunggal atau unik. Kasus UKSW disebut di sini 
sekedar sebagai ilustrasi. Semoga internasionalisasi serupa bertumbuh di banyak 
kampus lain.

  
<https://images.theconversation.com/files/220434/original/file-20180525-51115-5wgze0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip>
 Ariel Heryanto (kiri bawah) berfoto bersama dosen dan mahasiswa Universitas 
Kristen Satya Wacana (UKSW). Di antara mereka ada Arief Budiman (bawah, kedua 
dari kanan); istri Ariel, Sujanti Marsudi (atas, kiri); dosen Marthen Ndoen 
(bawah, kedua dari kiri), anggota DPR PDIP Hendrawan Supratikno (atas, kanan) 
dan ketua program pasca sarjana studi pembangunan UKSW Liek Wilarjo (atas, 
kedua dari kanan) Author provided (No reuse)



Kirim email ke