http://mediaindonesia.com/read/detail/164334-etos-demokratik-pencalonan-wakil-rakyat
*Etos Demokratik Pencalonan Wakil Rakyat*

Penulis: *Gun Gun Heryanto Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta Pengurus Pusat HIPIIS *Pada:
Senin, 04 Jun 2018, 09:10 WIB Kolom Pakar
<http://mediaindonesia.com/kolom-pakar>


<http://www.facebook.com/share.php?u=http://mediaindonesia.com/read/detail/164334-etos-demokratik-pencalonan-wakil-rakyat>

<http://twitter.com/home/?status=Etos%20Demokratik%20Pencalonan%20Wakil%20Rakyat%20http://mediaindonesia.com/read/detail/164334-etos-demokratik-pencalonan-wakil-rakyat%20via%20@mediaindonesia>

[image: Etos Demokratik Pencalonan Wakil Rakyat]*Tiyok*

AKHIR-AKHIR ini muncul polemik seputar rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang akan melarang mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam
Pemilu Legislatif 2019. Dalam draf rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang
Pencalonan Anggota Dpr, Anggota DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 7 ayat 1 Huruf (j) tertuang larangan mantan narapidana korupsi
menjadi caleg.

Banyak pihak keberatan dengan draf PKPU ini, terutama dari para politisi
partai politik (parpol). Melalui kekuatan politiknya di DPR, partai-partai
yang tidak bersepakat dengan rancangan ini, keras menolak, dan meminta KPU
kembali ke UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu argumen
sebagian politisi tersebut, mantan narapidana yang telah menjalani masa
hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri, selama yang
bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa
dirinya pernah berstatus sebagai narapidana.

Dengan demikian, Komisi II DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan
KPU di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5), meminta KPU
tidak melarang mantan terpidana korupsi mencalonkan diri.

*Aspek demokrasi *

Sebaiknya kita semua selalu menyelaraskan dua aspek penting dalam
berdemokrasi. Alexis de Tocqueville dalam buku lawasnya De la Democratie en
Amerique membedakan dua aspek demokratisasi, yakni sistem demokratik dan
etos demokratik. Sistem demokratik ialah prosedur demokratik dan manajemen
pemerintahan demokratik di dalamnya termasuk sistem hukum, birokrasi
pemerintahan, dan proses legislasi keputusan-keputusan publik secara
demokratis.

Sementara itu, etos demokratik adalah formasi nilai-nilai demokratik di
masyarakat, termasuk masyarakat warga (civil society) yang kukuh. Dengan
demikian, penting selain menguatkan sistem hukum, termasuk undang-undang di
dalamnya, kita perlu menguatkan nilai-nilai di masyarakat, termasuk
mengukuhkan integritas diri yang wajib menjadi syarat utama bagi siapa pun
yang akan mewakili rakyat di ragam posisi jabatan publik.

Menjadi anggota DPR berarti menjadi wakil rakyat yang akan menyuarakan
pikiran, kepentingan, kegundahan, aspirasi rakyat yang menjadi
konstituennya. Ini posisi yang sangat penting dan sangat serius untuk
dijalani. Oleh karenanya, sangat penting bagi mereka yang akan mencalonkan
diri memiliki rekam jejak yang jelas dan tidak tercederai oleh tindakan
melawan hukum. Jika seseorang telah terbukti bersalah dalam masalah hukum,
terlebih tindak pidana korupsi, bukankah hakikatnya orang bersangkutan tak
lagi layak mewakili rakyat?

Menarik menyimak pernyataan mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar, yang
mendukung rencana KPU membuat aturan larangan mantan napi koruptor
mendaftar jadi calon legistlatif (caleg). "Secara etika tidak tepat orang
yang sudah terkena korupsi mencalonkan lagi. Jadi untuk itu saya kira
berikanlah kepada rakyat untuk memilih secara bebas dan dengan bahan baku
yang terbaik bagi pemimpin bangsa," ujar Artidjo.

Pernyataan yang disampaikan dalam diskusi yang digelar Indonesia Corruption
Watch (ICW), Rabu (30/5) ini menggarisbawahi perlunya bahan baku yang baik
dalam pemilu. Mereka yang akan dipilih menjadi pemimpin bangsa apalagi
wakil rakyat tentu harus orang yang tidak tercederai integritasnya.

Harusnya, rencana KPU ini didukung secara bersama-sama sebagai terobosan
sangat baik karena salah satu akar persoalan mendasar dan sangat merusak di
negeri ini ialah korupsi. Wajar, KPU menyandarkan salah satu argumennya
pada persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden.

Pasal 169 huruf d dalam UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, calon
presiden dan wakil presiden adalah orang yang tidak pernah mengkhianati
negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana
berat lainnya. KPU menilai, semestinya hal yang sama juga diberlakukan
kepada caleg yang akan menduduki posisi penting di parlemen.

Di pasal 240 huruf g UU No7 Tahun 2017 disebutkan salah satu persyaratan
bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan kota ialah tidak pernah
dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Konstruksi pasal tersebut memang menjadi multiinterpretasi saat dibuka
peluang jika para narapidananya terbuka dan jujur kepada publik bahwa
mereka mantan terpidana, artinya mereka boleh mencalonkan diri. Polemik
inilah yang seyogianya kita dorong ke arah yang lebih substantif, yakni
kualitas pemilu kita yang harus naik kelas dari satu waktu ke waktu
berikutnya.

Salah satu yang bisa membuat naik kelas ialah kualitas dan integritas para
calon yang akan menjadi wakil rakyat. Masih banyak orang tidak bermasalah
yang bisa dicalonkan parpol di tiap-tiap daerah pemilihan, daripada harus
memaksakan orang-orang tertentu yang sudah jelas-jelas dinyatakan
bermasalah. Di situlah letak etos demokratik seperti nilai integritas diri
harus menjadi salah satu basis menentukan para calon anggota DPR maupun
DPRD.

*Rekam jejak caleg*

Pencalegan yang abai dengan rekam jejak caleg turut menyumbang retrogresi
politik atau penurunan, pemburukan, kemunduran demokrasi. Situasi semacam
ini, meminjam istilah dari Alberto J Olvera dalam tulisannya, The Elusive
Democracy: Political Parties, Democratic Institutions, and Civil Society in
Mexico, pada Latin American Research Review, Volume 45 (2010), bisa
menyebabkan elusive democracy. Yakni, keadaan yang ditandai dengan
penurunan kualitas demokrasi sebagai konsekuensi dari melambatnya
konsolidasi, baik soal pemantapan kapasitas institusi demokrasi maupun
kematangan budaya politik.

Semakin banyak mantan terpidana korupsi yang bisa come back ke panggung
politik akibat keran pencalegan yang dibuka lebar-lebar, korupsi tidak akan
pernah membuat efek jera dan rasa malu bagi para pelakunya. Akan ada
semacam persepsi bahwa mereka bisa melakukan manajemen reputasi politik,
sekaligus memanfaatkan pasar elektoral yang terbuka, untuk 'cuci diri' dari
dosa-dosa korupsi di masa lalu melalui statusnya sebagai wakil rakyat yang
terhormat.

Penting menjadi catatan kita semua, pemilu bukan sekadar memilih orang
untuk menjadi wakil rakyat, melainkan harus ada kesungguhan untuk memilih
mereka yang memiliki rekam jejak jelas, berkapasitas, dan berintegritas
dalam memerankan diri sebagai wakil rakyat. Dari pemilu ke pemilu, pemilih
kerap terjerembap pada kubangan yang sama saat ritus demokrasi lima tahunan
menyodorkan sejumlah nama untuk menjadi wakil mereka.

Pemilih dihadapkan pada pengulangan-pengulangan cara kerja lama, yakni
model kerja serabutan dari partai saat mendistribusikan dan mengalokasikan
sejumlah nama untuk menjadi caleg. Roh DPR sebagai wakil rakyat sudah lama
menguap dari harapan karena sejak pencalegan partai kerap abai dengan
historisitas sejumlah orang yang akan ditahbiskan sebagai wakil rakyat
tersebut.

Tak mengherankan, periode DPR terus berganti, tetapi lembaga ini tetap
menjadi potret buram demokrasi kita. Satu benang merah jawaban itu terletak
pada input saat partai melakukan pencalegan. Modus pencalegan kerap
berporos pada struktur sosial tradisional selain jalur struktural partai.
Ada lima kelompok pemasok yang dengan mudah menjadi caleg partai lewat
'jalur khusus' struktur sosial tradisional.



*Pertama kelompok pesohor atau selebritas*.

Banyak partai seolah tak pernah belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya bahwa
tak seluruh popularitas bisa langsung dikonversikan menjadi elektabilitas.
Tak ada yang salah jika artis atlet ataupun pesohor lainnya menjadi
politisi. Hanya, mereka butuh proses sehingga memiliki rekam jejak memadai
untuk bertransformasi dari panggung dunia hiburan atau arena olahraga ke
panggung politik.

Faktanya, artis yang menjadi politisi di Senayan periode 2009-2014 dan
2014-2019 pun kondisinya sangat memprihatinkan. Memang ada beberapa orang
yang sukses bertransformasi, tetapi secara umum gagal menunjukkan
kapasitas. Masalah pribadi mulai urusan keluarga, terlibat korupsi, tak
mumpuni dalam mengartikulasikan peran politiknya menjadi deretan persoalan
sejumlah artis yang menjadi anggota DPR.

Tak sepenuhnya salah jika publik masih memersepsikan sejumlah anggota DPR
dari kelompok selebritas ini seperti pemeran figuran dalam lakon para
politisi lainnya. Partai banyak yang abai terhadap rekam jejak selebritas
yang dicalegkan.

Kedua, kelompok pengusaha yang memiliki kekuatan finansial untuk maju
menjadi caleg. Di banyak partai, dengan mudah kita temukan deretan
pengusaha yang mendadak mencaleg. Mereka dapat tol tanpa harus bersusah
payah membesarkan partai dengan menjadi kader loyalis terlebih dahulu. Bagi
pengusaha sendiri integrasi vertikal mereka ke Senayan kerap kali bukan
lagi soal materi secara langsung, melainkan penguasaan pengaruh untuk
memproteksi atau mengembangkan bisnis mereka.

Ketiga, kelompok agamawan dan tetua adat yang juga sering kali mengantongi
'kartu sakti' menjadi caleg karena memiliki basis massa yang nyata.
Pancalegan jadi mekanisme 'tukar guling' dengan posisi para agamawan dan
tetua adat organis yang mengendalikan basis pemilih di dapil-dapil.

Keempat, kelompok mantan militer yang masih dipercayai memiliki tradisi
unity of command dan jaringan 'pengamanan' partai saat berada di area
'perang terbuka'. Hampir merata di semua partai, mantan petinggi TNI maupun
Polri yang menjadi elite utamanya. Pengalaman di posisi penting dalam
jejaring TNI maupun Polri dijadikan wild card untuk bertransformasi menjadi
elite utama partai maupun pencalegan.

Kelima, mereka yang berasal dari kelompok intelektual dan aktivis organis.
Biasanya kelompok ini berasal dari komunitas akademis, lembaga think thank,
kelompok penekan terutama yang kerap menjadi elite opinion di berbagai
media massa. Di banyak kasus, pencalegan kelompok ini juga kerap
difasilitasi partai secara pragmatis sehingga sering kali kita menemukan
loyalitas yang cepat memudar dari kelompok ini dan menyuburkan tradisi
politisi kutu loncat saat berganti periode.

*Resistensi politisi*

Inisiatif KPU ini sudah barang tentu akan mendapat serangan dari segala
penjuru mata angina. Diperlukan keajekan sikap dalam memperjuangkan
inisiatif bagus ini. Tentu saja, KPU harus memiliki strategi komunikasi
yang tepat agar inisiatifnya ini mendapatkan dukungan luas dari khalayak.

Pertama, KPU perlu memiliki argumentasi yuridis, filosofis, sosiologis, dan
politis menyangkut pelarangan ini. Argumentasi mereka harus menjadi narasi
tunggal KPU dari pusat hingga daerah yang dipahami dan dijadikan komitmen
bersama. Artinya KPU perlu mendiseminasikan inisiatif ini ke internal KPU
sendiri baik di pusat maupun daerah. Selain itu, juga diseminasi ke
eksternal, dalam konteks ini warga masyarakat terutama kelompok beperhatian
(the attentive public).

Kedua, membangun jejaring yang sinergis dengan media massa, para akademisi,
pegiat pemilu, dan kekuatan organisasi civil yang peduli dengan kualitas
pemilu. Hal ini diperlukan untuk membuat semacam tekanan publik (public
pressure) agar inisiatif ini mendapatkan dukungan luas dari khalayak.

Ketiga, menyiapkan diri untuk 'bertarung' di Mahkamah Konstitusi (MK)
karena larangan mantan narapidana korupsi mencalegkan diri ini akan
memantik tafsir hukum berbeda-beda, terutama menyangkut rujukan
undang-undang yang memayunginya. Jika KPU serius, tentu mereka harus
menyiapkan tim hukum yang kuat guna mempertahankan pijakan yuridis dari
PKPU yang dibuat tersebut.

Jangan sampai keinginan KPU untuk melarang mantan narapidana korupsi dalam
pencalegan hanya gelembung (bubble politic) yang meramaikan gelanggang
politik kita sesaat saja. Jika hanya 'permainan' sesaat, sudah barang tentu
aturan soal ini di PKPU akan cepat menguap atau lumpuh layu sebelum
berkembang.

Kirim email ke