ArisSantoso

Penelitimiliter, terutama TNI AD. Bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

 Jejak Benny Moerdani dalam Politik Hari ini

 2 Juni2018

DibacaNormal 4 menit


 
Dalam petapolitik pasca-Orde Baru, nama almarhum Jenderal (Purn) Benny Moerdani 
masihterasa gaungnya. Seperti bunyi ungkapan lama, manusia mati meninggalkan 
nama,begitu kira-kira yang terjadi pada Benny. Meski telah berpulang lebih 
darisepuluh tahun lalu, namanya masih sering dihubung-hubungkan dengan 
sejumlahpurnawirawan TNI yang masih terlibat dalam konstelasi politik hari ini.

Sebutlah nama-nama Letjen (Purn) Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970), 
Letjen(Purn) Agum Gumelar (Akmil 1968) dan Letjen (Purn) Hendro Priyono (Akmil 
1967).Tiga nama terakhir ini hanyalah sebagian dari “anak didik” Benny Moerdani 
yangmasih mewarnai panggung politik Indonesia mutakhir.


 
Persaingan Lama

 Jejak Bennymasih terasa dalam peta politik hari ini yang praktis tak mengalami 
perubahansignifikan sejak tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto, sampai dua 
dekadepasca-Reformasi 1998. Peta dimaksud adalah persaingan antara dua kubu, 
yakniantara TNI “merah” dan TNI “hijau”. TNI merah berafiliasi dengan figur 
Benny,sementara TNI hijau dianggap dekat dengan ICMI. Di masa lalu, TNI hijau 
sempatdipersonifikasikan dengan BJ Habibie. Namun dengan berlalunya waktu, 
figurHabibie (beserta ICMI) ikut memudar pula.



Baca juga Benarkah Soeharto Memusuhi Islam dan Mengapa Ia Berubah?


“Bintang” dari kelompok hijau tidak berubah sejak pengujung Orde Baru, 
yaituLetjen (Purn) Prabowo Subianto. Kini Prabowo berencana kembali maju 
dalamPilpres 2019, berhadapan dengan Jokowi yang sejak Pilpres 2014 sebenarnya 
sudahmasuk dalam irisan lingkaran-lingkaran lama tersebut.

Soeharto mengendalikan pemerintahan dengan cara memelihara konflik di 
kalanganpendukungnya sendiri. Konflik antara Benny dan Habibie adalah salah 
satunya.Namun realitas sesungguhnya bisa jadi lebih rumit, karena salah seorang 
perwirakepercayaan Habibie, yakni Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan (Akmil 
1963),termasuk perwira yang dianggap sangat dekat dengan Benny.

Pada saat bersamaan, Soeharto tetap berusaha membangun porosnya sendiri, 
sebutsaja Poros Cendana, dengan Wiranto sebagai aktor utamanya. Satu nama 
lagiadalah Prabowo, yang saat itu masih bagian dari kerabat Cendana. Namun 
Prabowodikenal memiliki aspirasi tersendiri yang tidak selalu sejalan dengan 
Cendana.



Baca juga Soeharto dan Isu Agama di Tubuh Tentara


Sejak masih pamen, Prabowo sudah berhubungan dengan generasi baru 
Masyumi,seperti Farid Prawiranegara dan Ahmad Sumargono. Masyumi bukan 
institusi (atauideologi) yang terlalu asing bagi Prabowo, karena orang seperti 
FaridPrawiranegara, tak lain adalah putera dari tokoh Masyumi 
SjafrudinPrawiranegara.. Bila kita sedikit menengok sejarah, Sjafrudin 
Prawiranegara,adalah kawan seperjuangan Pak Cum (panggilan akrab Soemitro 
Djojohadikusumo,ayah Prabowo), dalam gerakan PRRI/Permesta.

Posisi Wiranto sebagai bagian dari poros Cendana masih terasa hingga hari 
ini:Wiranto hanya memperoleh alokasi kekuasaan serba terbatas dalam 
pemerintahanJokowi, tak sebanding dengan jenderal lain seperti Luhut Panjaitan 
dan HendroPriyono, yang memiliki akses cepat ke Jokowi secara personal. 
Fenomena initidak bisa dilepaskan dari posisi Wiranto sejak Orde Baru, yang 
seolah beradadi “perbatasan” antara lingkaran Cendana dan kelompok Benny.

Merujuk pada kedekatan antara Sintong dan Habibie, label merah dan 
hijaubukanlah jurang pemisah ideologis yang dalam. Sebutan itu sekadar cara 
praktispara pengamat untuk menggambarkan adanya faksi di ABRI, khususnya matra 
AngkatanDarat. Dalam praktik di lapangan, hubungan dua kubu tersebut bisa 
sangat cairkarena “ideologi” yang sejati dari TNI “merah” dan TNI “jihau” 
sejatinya sama,yakni menggapai kekuasaan.

Ambil contoh pertemuan antara Hendro Priyono dan Muchdi Pr (Akmil 1970) 
dalammemimpin lembaga intelijen BIN di era Presiden Megawati. Muchdi dianggap 
bagiandari TNI hijau, berdasar kedekatannya dengan Prabowo dan masa lalunya 
sebagaiaktivis PII (Pelajar Islam Indonesia). Namun saat bertugas di BIN, ia 
bisabekerja secara solid di bawah Hendro, sampai muncul kasus tewasnya pembela 
HAMMunir (September 2004).



Mengorbitkan Megawati

 Selainnama-nama jenderal di atas, bayang-bayang Benny juga bisa ditemukan pada 
sosokMegawati Soekarnoputri, king (queen) maker PDIP. Saat masihberkuasa dulu, 
salah satu cara Benny untuk mengimbangi (baca: melawan)Soeharto, adalah dengan 
diam-diam membantu Megawati, puteri Bung Karno. Inimemang perang simbolis—pada 
awalnya publik juga tidak sadar.



Baca juga Konco-Konco Benny Moerdani dari Batujajar


Benny sengaja mendorong karier politik Megawati, mengingat Bung Karno 
adalahmimpi buruk bagi Soeharto. Sementara di sisi lain, Benny merasa punya 
utang budipada Sukarno. Singkatnya tindakan Benny ibarat pisau bermata dua, 
yaitu melawanSoeharto, sekaligus membalas utang budinya pada Sukarno. 

Utang budi terbesar Benny adalah ketika Presiden Sukarno menyematkan 
langsunglencana Bintang Sakti di seragam para komando Benny saat upacara 
pembubaranOperasi Trikora tahun 1963. Sejak peristiwa itu nama Benny mulai 
dikenal secaraluas, hingga akhirnya melegenda di kemudian hari.

Strategi Benny bisa disebut sebagai “operasi senyap” yang memang sudah 
jadispesialisasi Benny sejak lama. Walhasil, publik awam kesulitan membaca 
langkahBenny, misalnya selama kampanye PDI menjelang Pemilu 1987 yang 
demikiangegap-gempita. Rasanya mustahil tak ada dukungan dari salah satu faksi 
elitepolitik di Jakarta sehingga kampanye PDI bisa sedahsyat itu.. Benar, 
memang adadukungan dari Benny yang saat itu masih menjabat Panglima ABRI (kini 
TNI) danmenguasai jaringan intelijen.

Dukungan Benny terus berlanjut. Puncaknya adalah Peristiwa 27 Juli 1996, 
yangsetelahnya laju nama Megawati tak tertahankan lagi. Berkat peristiwa 27 
Juli1996 pula, Megawati bersama elite PDIP lainnya bisa meraih apa yang 
selalumenjadi impian para politikus, yaitu kekuasaan dan kemapanan. Kejayaan 
inimasih dirasakannya sampai hari ini, bahkan masih mungkin terus berlanjut 
entahsampai kapan.



Baca juga Sutiyoso, Kudatuli, danReshufle


Peristiwa 27 Juli juga bisa dijadikan model betapa cairnya hubungan antara 
TNImerah dan hijau. Bila (kebetulan) memiliki kepentingan yang sama, kedua 
kububisa sangat pragmatis. Dalam konteks Peristiwa 27 Juli, momen ini 
dijadikandalih TNI merah dan hijau untuk menyingkirkan Letjen TNI Soeyono (saat 
ituKasum ABRI), seorang jenderal dari poros Cendana, yang santer 
disebut-sebutsebagai calon KSAD berikutnya.

Namun, kekuasaan dan kejayaan acap membawa residu—apalagi ketika 
yangbersangkutan lupa diri dan dihinggapi amnesia sejarah. Kita sedikit lompat 
keAgustus 2015, ketika Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet untuk 
kalipertama. Salah satu nama yang terpental adalah Andi Widjajanto 
selakuMenseskab. 

Ayah Andi adalah Mayjen (Purn) Theo Sjafei (Akmil 1965), perwira 
kesayanganBenny Moerdani, yang sudah membantu Benny sejak Operasi Flamboyan di 
TimorLeste (1974-1975) dan bahkan mungkin jauh sebelum periode itu. Setelah 
pensiun,Theo Sjafei menjadi penasehat politik kepercayaan Megawati—kurang 
lebihposisinya sama dengan Luhut Pandjaitan dalam pemerintahan Jokowi hari 
ini.Dengan latar belakang seperti itu, serta kecerdasan yang dimilikinya, 
tetapsaja posisi Andi tak tertolong.



Manusia Setengah Abad

 KekuatanBenny terletak pada kharisma. Konsep kharisma memang abstrak, mistis, 
danmirip-mirip konsep “wahyu” dalam tradisi kekuasaan jawa (Mataram) di 
manakharisma/wahyu akan jatuh pada orang-orang terpilih.

Pejabat publik yang berasal dari unsur TNI tampaknya lebih berpeluangmemperoleh 
kharisma ketimbang figur sipil murni. Dan perkara kharisma ini pulayang kerap 
diolah oleh pendukung Prabowo untuk "menjual"jagoannya. 

Soal kharisma ini bisa diuji hari ini dalam praktik pemerintahan Jokowi, 
sebutsaja pada jabatan Kepala Staf Kepresidenan (KSP), yang sejak awal Januari 
laludipegang Jenderal (Purn) Moeldoko yang merupakan lulusan terbaik Akmil 
1981.Sejak dipegang Moeldoko, jabatan KSP jadi lebih “bunyi”. Selain 
karenamemperoleh panggung yang lebih luas dibanding ketika dipimpin Teten 
Masduki,tentu sebagian juga akibat kharisma Moeldoko. 



Baca juga Kain Kafan dan Lantunan Yasin saat Benny Moerdani Wafat


Pejabat publik yang berasal dari unsur TNI tampaknya lebih berpeluangmemperoleh 
kharisma ketimbang figur sipil murni. Dan perkara kharisma ini pulayang kerap 
diolah oleh pendukung Prabowo untuk "menjual" jagoannya.

Pada Benny hal itu lebih kentara lagi. Generasi sebelum dan sesudah Bennybanyak 
yang sudah mencapai jenderal penuh (bintang empat), namun kharisma 
tidakotomatis hadir untuk mereka. Benny memang figur luar biasa yang belum 
tentulahir tiap setengah abad. Di masa perang kemerdekaan ada juga figur 
sepertiitu, yakni Oerip Sumohardjo. Jenderal yang pembawaannya juga pendiam 
inimemiliki kharisma yang masih berpendar jauh mengarungi waktu.

Konsep kharisma memang abstrak, mistis, dan mirip-mirip konsep “wahyu” 
dalamtradisi kekuasaan Jawa (Mataram) di mana kharisma/wahyu akan jatuh 
padaorang-orang terpilih. Kasus Benny bisa dijelaskan dengan lebih rasional, 
yakniberdasarkan rekam jejaknya dalam operasi tempur dan intelijen. Terkait 
operasiintelijen, figur Benny sudah seperti mitos tersendiri di lingkaran 
komunitasintelijen.

Mitologi ini pula yang tak terhindarkan saat membaca "jejak" Bennydalam 
konstelasi politik hari ini. Bahwa nama-nama yang sudah disebutkan diawal, 
seperti Luhut, Agum atau Hendro, pernah menjadi "anak didik"Benny adalah satu 
hal, namun posisi mereka di rezim Jokowi tentu jugaditentukan kecakapan, 
keterampilan dan kekuatan bargaining merekadalam situasi kini.


*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, 
tidakmenjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.


 
Benny sengajamendongkrak karier politik Megawati, karena merasa punya hutang 
budi padaSukarno.

Kirim email ke