https://news.detik.com/kolom/d-4240340/kampanye-efektif-caleg-perempuan

Rabu 03 Oktober 2018, 15:10 WIB


   Kolom


 Kampanye Efektif Caleg Perempuan

Suryati - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/suryati.aiya1>
Suryati <https://connect.detik.com/dashboard/public/suryati.aiya1>
Share *0* <https://news.detik.com/kolom/d-4240340/kampanye-efektif-caleg-perempuan#> Tweet <https://news.detik.com/kolom/d-4240340/kampanye-efektif-caleg-perempuan#> Share *0* <https://news.detik.com/kolom/d-4240340/kampanye-efektif-caleg-perempuan#> 0 komentar <https://news.detik.com/kolom/d-4240340/kampanye-efektif-caleg-perempuan#> Kampanye Efektif Caleg Perempuan Deklarasi kampanye damai (Foto: Pradita Utama) <https://news.detik.com/kolom/d-4240340/kampanye-efektif-caleg-perempuan#><https://news.detik.com/kolom/d-4240340/kampanye-efektif-caleg-perempuan#><https://news.detik.com/kolom/d-4240340/kampanye-efektif-caleg-perempuan#><https://news.detik.com/kolom/d-4240340/kampanye-efektif-caleg-perempuan#>
*Jakarta* -

Hari Minggu (23/9) lalu, masa kampanye pemilu terpanjang pascareformasi dimulai. Masa kampanye Pemilu 2019 adalah 203 hari. Nyaris tujuh bulan ke depan publik akan disuguhi menu kampanye yang sangat beragam. Jika dihitung, lebih dari 200 ribu peserta pemilu di pusat maupun di daerah akan menunjukkan kualitasnya kepada sekitar 187 juta pemilih di Indonesia.

Salah satu isu penting yang perlu dibahas adalah bagaimana upaya para caleg perempuan melakukan kampanye secara efektif. Bahasan tentang kampanye caleg perempuan ini penting karena tiga hal. Pertama, selama ini upaya KPU menetapkan jumlah minimal perempuan calon anggota DPR tidak berbanding lurus dengan caleg perempuan yang terpilih.

Sebagai contoh, jumlah perempuan anggota DPR periode 2014-2019 menurun dibandingkan periode 2009-2014. Pada Pemilu 2014, jumlah caleg perempuan terpilih sebanyak 97 orang atau setara dengan 17,32 persen. Sementara, pada Pemilu 2009 terdapat 101 caleg perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR.

Kedua, caleg perempuan hanya dianggap sebagai pengepul suara untuk caleg laki-laki. Fakta ini terkonfirmasi dari hasil riset Formappi (2013) yang menunjukkan hanya sebagian kecil caleg perempuan ditempatkan partainya pada nomor urut 1. Sebagai contoh, dari 2.465 total caleg perempuan, hanya 140 atau setara dengan 5.7 persen yang mendapatkan nomor urut 1.

Kondisi itu menunjukkan kaum hawa hanya menjadi "ornamen" pelengkap syarat 30 persen keterwakilan perempuan. Secara substansial, narasi politik partai politik masih sangat maskulin. Partai politik belum mampu menempatkan perempuan secara proporsional dengan laki-laki, khususnya dalam nomor urut caleg. Padahal, merujuk data Puskapol UI (2014), keterpilihan caleg di nomor urut 1 sangat tinggi, ditandai mayoritas anggota DPR terpilih di nomor urut 1 (62,14 persen). Berselisih sangat jauh dengan nomor urut 2 (16,96 persen) dan nomor urut 3 (4,46%).

Ketiga, caleg perempuan kerap terkandala secara sosial-personal. Sebagai contoh, banyak di antara kalangan perempuan yang terjun menjadi caleg kemudian menghadapi tekanan psikis dari keluarga dan koleganya. Kebiasaan kultural membenturkan peranan domestik dan publik membuat posisi perempuan cenderung dilematis. Perempuan pun ditempatkan di daerah pemilihan (dapil) yang berpotensi mengancam keamanannya. Skenario itu pun kerap disengaja oleh partai politik, agar keluarga caleg perempuan berpikir ulang untuk tak mengizinkannya maju dalam kontestasi politik.

Kondisi di atas menunjukkan sebuah fakta bahwa perjuangan perempuan dalam lembah politik tidaklah mudah. Dengan kata lain, politisi perempuan—dalam hal ini para caleg—harus punya strategi yang efektif untuk dapat memenangi kompetisi Pemilu 2019. Hal itu penting supaya para caleg perempuan pada Pemilu 2019 yang jumlahnya relatif berlimpah tidak kemudian hanya menjadi ornamen ataupun pelengkap caleg laki-laki.

Menurut data KPU, jumlah calon legislatif (caleg) DPR RI sebanyak 7.968. Jumlah itu terdiri dari 4.774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

*Kampanye Efektif*

Karena itu, caleg perempuan harus mampu melakukan kampanye secara efektif dan tepat sasaran. Pertama, caleg perempuan perlu melakukan pemetaan politik dan membentuk/zona marking/. Pemetaan politik tersebut—bisa melalui survei ataupun riset lainnya—untuk mengetahui demografi pemilih dan peta dukungan pemilih di dapil yang bersangkutan. Ini untuk menentukan ke mana sang caleg harus kampanye (zona merah) dan isu apa yang akan diangkat.

Pemetaan politik dan penentuan /zona marking/ urgen karena mengutip Firmanzah, PhD dalam bukunya /Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas/ (2007) bahwa sebuah kampanye yang efektif harus meliputi 4P, yaitu produk (/product/), promosi (/promotion/), harga (/price/), dan tempat (/place/).

Kedua, caleg perempuan perlu melakukan kampanye kreatif. Kampanye kreatif ini sangat efektif untuk menarik simpati pemilih. Tidak seperti kampanye pada umumnya, kampanye kreatif berisi dua hal sekaligus, yakni gagasan dan hiburan. Cara ini lebih efektif masuk ke psikologi pemilih. Kampanye kreatif berisi persuasi yang sangat halus, terlihat tidak menggurui pemilih namun sangat efektif mempengaruhi pemilih.

Dalam jagat pemilu, kampanye kratif telah terbukti memenangkan banyak kontestan, baik kontestan pada pilkada, pilpres, ataupun pileg. Untuk saat ini, dengan jumlah pemilih milenial sekitar 45 persen, penggunaan kampanye kreatif tentu sangat efektif.

*Urgensi Keterwakilan Perempuan*

Tentu saja, kemenangan caleg perempuan tidak sekadar untuk memenuhi kuota 30 persen, apalagi menandingi caleg laki-laki secara kuantitas. Lebih dari itu, keterwakilan perempuan di parlemen memiliki urgensi tersendiri dalam konteks proses pembangunan yang ada. Khairnur (2008: 3) menyebut keterwakilan perempuan yang proporsional pada wilayah-wilayah pengambil dan pembuat kebijakan sangat penting fungsinya. Hal tersebut didasarkan atas dua pemikiran. Pertama, yang paling mengerti mengenai persoalan perempuan adalah perempuan itu sendiri.

Kedua, untuk prinsip keadilan. Artinya, dengan jumlah populasi perempuan yang besar, representasi perempuan sudah seharusnya besar pula supaya bisa berbicara atas nama perempuan. Hal itu untuk memajukan kepentingan perempuan dengan porsi yang adil.

Menurut teori perwakilan politik, merujuk Lovenduski (2008:37), perwakilan politik perempuan dapat diartikan sebagai kehadiran anggota kelompok tertentu (perempuan) dalam lembaga-lembaga politik formal. Teori perwakilan politik menyebutkan bahwa para wakil mempunyai dorongan untuk mewakili kepentingan masyarakat yang memilihnya atau yang akan memilih mereka di waktu mendatang.

Perwakilan politik perempuan harus mengarah pada perwakilan substantif, bukan diskriminatif. Perwakilan substantif mengarahkan perhatian pada ide mengenai kepentingan-kepentingan perempuan. Jumlah keterwakilan perempuan diharapkan dapat memadai sesuai dengan porsinya.

*Suryati* /alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menekuni isu gender dan anak

/




*(mmu/mmu)*
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca detik, isi dari tulisan di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat tulisan kamu sendiri? Klik di sini <https://news.detik.com/kolom/kirim> sekarang!










Kirim email ke