KESALAHAN serius dinegeri ini, melawan KOMUNISME hanya dengan KEBENCIAN
dan itupun selalu dihasut dari FITNAH kekejaman-kekejaman yang dilakukan
PKI, khususnya masa G30S saja! Jadi, yang dihajar dan digebuk itu jadi
manusia-manusia nya yang dituduh komunis ataupun simpatisan komunis.
Tapi bukan melawan ajaran KOMUNISME, sebaliknya justru ISME nya itu
dilarang!
Dengan demikian, orang tidak tahu apa dan dimana kesalahan komunisme
yang harus dilawan dan ditentang itu sesungguhnya, ...! Di Indonesia
komunisme HANYA dianggap SETAN dan MOMOK yang ditakuti sebagai BAHAYA
LATEN, dan yang oleh Jokowi diserukan berulang-ulang untuk digebuk kalau
setan itu muncul! Bagaimana bisa??? Kecuali rakyat Indonesia juga jadi
SETAN! Bukankah setan hanya bisa dilawan dengan setan! Hehehee, ...
Kalau saja hendak melawan komunisme sudah seharusnya mengerti dan dengan
jernih tahu apa yang dilawan dan ditentang itu! Jadi, PELAJARILAH
baik-baik apa itu KOMUNISME lebih dahulu dan setelah jelas baru bisa
keluarkan strategi-taktik melawan komunisme dan BERJUANG memenangkannya,
....!
Sekalipun KENYATAAN, Tiongkok yang menempuh jalan Sosialisme
Berkepribadian Tiongkok ini berdasarkan ajaran KOMUNISME, ... sungguh
sangat naif dan picik pikirannya, kalau TAKUT mahasiswa yang belajar
sekian tahun di Tiongkok lalu jadi KOMUNIS! Lha orang Tiongkok sendiri
yang lahir, besar hidup di Tiongkok saja juga tidak sedikit yang
ANTI-Momunis, kok! Jadi atau tidak komunis setelah belajar dan hidup di
Tiongkok yang lebih menentukan adalah orang itu sendiri, ... Dan, untuk
menjadi komunis, dimana pun bisa! Bahkan akan lebih mudah terjadi
ditengah masyarakat miskin dimana terjadi penghisapan manusia atas
manusia sangat mencolok! Tidak mesti harus ke Tiongkok!
Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45] 於 5/12/2018 7:31 寫道:
/*Masyaalloh, masayalloh, bahaya merah! Kalau para mahasiswa NKRI di
Cina diajarkan komunisme akan menyebabkan purn jenderal Zein dan
konco-konco bin sahabat rezim neo-Mojopahit tidur tak enak dan makan
pun tak sedap rasanya. hehehehehehe*/
https://historia.id/mondial/articles/benarkah-mahasiswa-indonesia-di-cina-diajari-komunisme-DEe9j
Benarkah Mahasiswa Indonesia di Cina Diajari Komunisme?
Novi Basuki <https://historia.id/@novi.b>
3 Apr 2018, 08:01
*
GIKAN
Benarkah Mahasiswa Indonesia di Cina Diajari Komunisme?
Mahasiswa Indonesia di Tiongkok. Foto: Dok. PPI Tiongkok.
SELAMA dua hari berturut-turut sejak 1 hingga 2 April 2018, laman
/republika.co.id <http://republika.co.id>/ memuat artikel berjudul “Di
Cina, Pelajar Indonesia Dapat Pelajaran Ideologi Komunis” dan
“Ribut-Ribut Ajaran Komunisme Atas Pelajar RI di Cina”. Portal berita
milik harian /Republika/ yang berdiri mulai 17 Agustus 1995 itu
mengutip pernyataan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta Sofyan
Anif yang belum lama ini diundang ke Cina oleh Menteri Pendidikan Cina.
“Dalam pertemuan tersebut, kata Sofyan, salah satu rektor perguruan
tinggi di Cina mengungkapkan, saat ini Cina sedang gencar-gencarnya
menanamkan ideologi komunis kepada seluruh pelajar di Cina.” Dari situ
Sofyan berkesimpulan, “siswa yang berasal dari Indonesia pun juga
pasti mendapatkan pelajaran yang terkait ideologi komunis.” Supaya tak
terpengaruh komunisme, “Sofyan berharap Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah sebagai dua organisasi Islam terbesar dapat terus bersatu
dan bersama-sama mendorong kemajuan Indonesia.”
Sebaliknya, “Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Menristekdikti) Mohammad Nasir tidak mempermasalahkan jika
pelajar/mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Cina belajar paham
komunis. Bagi Nasir, baik itu komunis, liberalis, maupun sosialis
adalah salah satu dari ilmu pengetahuan yang harus dipelajari.”
Meski begitu, Nasir mengingatkan, “mahasiswa Indonesia yang belajar di
luar negeri harus selalu memegang teguh ideologi Pancasila sebagai
ideologi dirinya.” Nasir lanjut menegaskan, “kalau [Pancasila,
terutama sila pertama] sudah tertanam, ya tidak akan terpengaruh paham
komunis atau lainnya.”
Demikian ditulis /Republika Online/.
Merasa keberatan dengan pemberitaan dimaksud, Pengurus Cabang Istimewa
Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok dalam suratnya bernomor
010/PCINUT/IV/2018, “meminta kepada Redaktur Republika untuk menarik
pemberitaan itu karena dapat mengganggu kenyamanan puluhan ribu
mahasiswa Indonesia yang sekarang tengah belajar di Tiongkok.”
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok pada 2 April 2018 ikut
melayangkan himbauan serupa. Tak ketinggalan, Atase Pendidikan KBRI di
Beijing, sebagaimana dikutip /Antara/ (2/4), juga menyayangkan dan
menyarankan agar “memahami kurikulum pendidikan di China sebelum
menyampaikan komentar di media yang justru menimbulkan keresahan.”
Pertanyaanya, benarkah Cina “sedang gencar-gencarnya menanamkan
ideologi komunis kepada seluruh pelajar di Cina” seperti diungkap Sofyan?
Untuk menjawabnya, komposisi “seluruh pelajar di Cina” harus terlebih
dahulu dikategorikan menjadi tiga kelompok. Yakni, pelajar dari dalam
negeri (/ben guo xuesheng/); pelajar dari Hongkong, Makau, dan Taiwan
(/gang’aotai xuesheng/); dan pelajar dari luar negeri (/wai guo
liuxuesheng/). Pemerintah Cina sengaja memisah pelajar dari Hongkong,
Makau, dan Taiwan dengan pelajar dari dalam negeri yang khusus merujuk
kepada pelajar dari Cina daratan, sebagai bentuk pengejawantahan asas
“satu negara dua sistem” yang dicetuskan Deng Xiaoping.
Kenapa mesti dipilah sedemikian rupa? Lantaran regulasi yang
diberlakukan terhadap tiga macam pelajar itu tidaklah sama. Perbedaan
pemberian pelajaran-umum-wajib (/gonggong bixiuke/) adalah salah satu
amsal konkretnya. Karena itu, dalam perkara ini, pemberitaan dengan
cara memukul rata ala /Republika/ daring, sepatutnya dihindari.
Bagi pelajar dari Cina daratan, selain harus mengikuti
pelajaran-pelajaran jurusan yang ditempuh (/zhuanye bixiuke/), memang
juga harus mengikuti pelajaran-umum-wajib yang dikenal dengan sebutan
“dua pelajaran” (/liang ke/). Yaitu, Teori Marxisme; dan Pendidikan
Pemikiran Politik. “Pelajaran-umum-wajib” ini maksudnya pelajaran yang
tidak boleh tidak diikuti oleh seluruh pelajar tanpa pandang program
pendidikan yang digeluti. /Fardlu ‘ain/ kepada siapa saja laiknya
Pendidikan Moral Pancasila di era Orde Baru.
“Dua pelajaran” itu sudah diwajibkan bagi pelajar dari dalam negeri
sejak awal Cina berdiri pada 1949. Mata pelajarannya, seiring
perkembangan zaman, mengalami beberapa kali perombakan. Kita mencatat,
pembaruan mutakhir dilakukan pada 2 Maret 2005 dengan dikeluarkannya
“Pendapat Departemen Propaganda Komite Sentral Partai Komunis Cina dan
Kementerian Pendidikan Cina Tentang Penguatan dan Penyempurnaan
Pelajaran Teori-Pemikiran Politik di Sekolah Tinggi” (/Zhonggong
Zhongyang Xuanchuan Bu Jiaoyu Bu Guanyu Jinyibu Jiaqiang he Gaijin
Gaodeng Xuexiao Sixiang Zhengzhi Lilun Ke de Yijian/).
Sesuai arahan dokumen yang biasa disebut “Program 05” (/05 Fang’an/)
tersebut, mata pelajaran untuk “dua pelajaran” terdiri dari empat
macam. Masing-masing, Prinsip Dasar Teori Marxisme; Pengenalan
Pemikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping, dan Pemikiran “Tiga
Perwakilan”; Intisari Sejarah Cina Modern; serta Pendidikan Pemikiran,
Moral, dan Hukum Dasar. “Program 05” masih berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya, karena Pemikiran Xi Jinping (/Xi Jinping Sixiang/) sudah
dimasukkan ke dalam Anggaran Dasar Partai Komunis Cina dan Konstitusi
Cina 2018, mata pelajaran “dua pelajaran” kemungkinan akan mengalami
penyesuaian di kemudian hari.
Jika kita perhatikan, keempat mata pelajaran di atas sebenarnya hanya
berfokus pada hal-hal “dasar”, “intisari”, dan “pengenalan” saja.
Maka, kalau kita coba bertanya perihal komunisme pada pelajar dari
dalam negeri yang bukan jurusan filsafat, politik, atau ekonomi,
misalnya, jangan berharap akan mendapatkan jawaban yang mendalam.
Bahkan, di jurusan Ilmu Politik pun, saya masih ingat betul, dulu,
ketika tak ada satu pun teman sekelas pascasarjana saya yang semuanya
dari Cina mengaku pernah membaca “Manifesto Komunis” ketika ditanya
oleh profesor yang sedang mengajar pelajaran “Politik Cina” di kelas.
Lain lagi buat mahasiswa dari Hongkong, Makau, dan Taiwan. Mereka,
berdasar pasal 16 bab 3 “Peraturan Penerimaan dan Pembinaan Pelajar
dari Hongkong, Makau, dan Taiwan di Sekolah Tinggi Umum” (/Putong
Gaodeng Xuexiao Zhaoshou he Peiyang Xianggang Tebie Xingzhengqu, Aomen
Tebie Xingzhengqu ji Taiwai Diqu Xuesheng de Guiding/) yang
dikeluarkan Kementerian Pendidikan Cina bersama lima lembaga
pemerintah lainnya pada 12 Oktober 2016, dibolehkan untuk tidak
mengikuti pendidikan politik semacam “dua pelajaran” yang tak bisa
ditawar oleh pelajar dari Cina daratan.
Kalau hukum mengikuti “dua pelajaran” bagi pelajar dari Hongkong,
Makau, dan Taiwan yang notabene kedaulatan wilayahnya berada di bawah
Cina adalah mubah, maka sudah barang tentu tak ada kewajiban untuk
mengikuti pelajaran berbau ideologi itu bagi mahasiswa dari luar negeri.
Walakin, sebagai gantinya, pelajar dari luar negeri mempunyai
kewajiban untuk mengikuti pelajaran bahasa Mandarin dan Pengetahuan
Dasar Seputar Cina (/Zhongguo Gaikuang/). Ketentuan demikian diatur
dalam pasal 16 ayat 2 “Metode Administrasi Penerimaan dan Pembinaan
Mahasiswa Internasional di Sekolah” (/Xuexiao Zhaoshou he Peiyang
Guoji Xuesheng Guanli Banfa/) yang dikeluarkan serempak oleh
Kementerian Pendidikan Cina, Kementerian Luar Negeri Cina, dan
Kementerian Keamanan Publik Cina pada 20 Maret 2017. Sebelumnya juga
sudah diatur dalam pasal 24 “Ketentuan Administrasi Penerimaan Pelajar
Luar Negeri di Sekolah Tinggi” (/Gaodeng Xuexiao Jieshou Wai Guo
Liuxuesheng Guanli Guiding/) yang dikeluarkan oleh tiga kementerian
yang sama pada 31 Januari 2000.
Lantas, apa yang dipelajari dalam pelajaran Pengetahuan Dasar Seputar
Cina? Cuma sekelumit soal sejarah, geografi, pendidikan, filsafat,
sastra, musik, kaligrafi, agama, suku, politik, ekonomi, hubungan luar
negeri, dan seterusnya. Dengan luasnya cakupan bidang yang dipelajari
itu, pengetahuan yang didapat selama satu semester sudah pasti bakal
berhenti pada soal “siapa presiden Cina?”, “berapa jumlah penduduk
Cina?”, “suku apa yang mayoritas menganut Islam di Cina?”, dan
pengetahuan remeh-temeh lainnya.
Oleh sebab itu, tak perlu waswas “hantu komunis” merasuki mahasiswa
Indonesia di Cina yang kini lebih dari 13.000 jumlahnya. Yang perlu
dikhawatirkan, mestinya, adalah mereka yang berkoar-koar kebangkitan
komunis sambil membakar bendera merah bergambar palu-arit yang entah
didapat dari mana padahal komunisme beserta artributnya dilarang di
Indonesia. Tiba-tiba, saya ingin mengutip novel juga. Tapi bukan
/Ghost Fleet/ yang tenar mendadak itu. Yang ini judulnya /Jinghuayuan/
(Bunga di Cermin), karya Li Ruzhen, sastrawan zaman Dinasti Qing.
Begini bunyinya, “/you bu an ben fen de qiangdao, you wu shi sheng fei
de qiangdao./” Artinya, “ada bandit yang tak tenang dengan
pekerjaannya, ada juga bandit yang pekerjaannya mengada-ngada.”
/Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di
Sun Yat-sen University, Cina./
---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com