Para bunglon dan benalu ituApakah kita bisa bilang beliau menemukan habitat 
baru atau kembali kehabitatnya?

---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote :

Divide et impera itu nyata sejak Jokowi turun 
dari "Esemka" (proyek mobil imajinatif) yang dia 
tunggangi untuk ke balaikota DKI. Hasilnya, 
terciptalah kumpulan penyesap tebu, habis manis 
sepah dibuang. 

Nggak sabar lihat Jokowi dilantik lalu dikerumuni 
para sahabat tercintanya.
--- jonathangoeij@... wrote:

La Nyalla, Politik Belah Bambu Jokowi?


| 
| 
| 
| 
 | 
 |

 |

 |
| 
| 
 | 
La Nyalla, Politik Belah Bambu Jokowi?

Rakyat Merdeka Online

Dalam batas-batas tertentu Jokowi sudah berhasil menerapkan prinsip maha guru 
strategi perang Sun Tzu.
 |

 |

 |



MINGGU, 16 DESEMBER 2018 , 10:12:00 WIB | OLEH: HERSUBENO ARIEF


Presiden Joko Widodo dan La Nyalla Mahmud Mattalitti/Net
BILA kita cermati strategi politik Jokowi dalam menghadapi lawan, ada satu 
benang merah yang konsisten.Akuisisi lawan politik, setelah itu gunakan mereka 
untuk serangan balik. Biarkan kubu musuh bertengkar sendiri. Ketika mereka 
sudah lemah, tinggal ditundukkan.

Dalam batas-batas tertentu Jokowi sudah berhasil menerapkan prinsip maha guru 
strategi perang Sun Tzu. "Letihkan mereka dengan jalan berputar-putar. Bikin 
mereka bertengkar sendiri. Haluslah agar kau tidak terlihat.. Misteriuslah agar 
kau tak teraba. Maka, kau akan menguasai nasib lawanmu."

Sayangnya tidak semua prinsip itu berhasil diterapkan dengan baik. Kelemahan 
identifikasi, kesalahan pemilihan figur yang akan dijadikan proxy, serta 
lemahnya leadership Jokowi, membuat semuanya menjadi berantakan. 

Semua senjata yang digunakan Jokowi tumpul, dan malah berbalik menyerang. 
Senjata rekrutan terbaru yang kini tengah digunakan adalah La Nyalla Matalitti.

Mari kita inventarisir siapa saja lawan politik yang berhasil direkrut Jokowi?

Yang paling awal direkrut Jokowi adalah Ali Mochtar Ngabalin. Mantan politisi 
PBB yang kemudian menyeberang ke Partai Golkar ini hanya dalam waktu sekejap 
menjadi senjata yang sangat ampuh bagi Jokowi. Imbalan nya cukup sederhana. 
Dijadikan sebagai seorang staf di Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dan komisaris 
Angkasa Pura I.

Setiap hari Ali, mantan tim sukses Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014 ini tampil 
menyerang di televisi dan media massa. Namun lama-lama senjata makan tuan. Ali 
justru menjadi titik lemah Jokowi. Gayanya yang konfrontatif tidak disukai 
publik, menimbulkan antipati. Ali secara perlahan mulai ditarik. Kemunculannya 
di publik mulai dibatasi.

Rekrutan berikutnya adalah Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang 
Zainul Majdi. Tom P Power seorang peneliti dari Australian National University 
menyebut TGB ditundukkan melalui kasus divestasi Newmont.

Artikel penelitian Power berjudul Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s 
democratic decline, saat ini format pdf-nya menyebar luas di medsos.

Pada awal rekrutmen, TGB juga menjadi senjata yang cukup ampuh bagi Jokowi. 
Latar belakangnya sebagai tokoh agama, gubernur yang sukses, dan bahkan pernah 
dijagokan sebagai salah satu kandidat capres oleh Alumni 212, cukup meyakinkan. 
Namun seiring waktu, TGB juga tak lagi efektif untuk menyerang Prabowo. TGB 
bahkan tidak masuk dalam timses Jokowi.

Akuisisi politik terbesar Jokowi adalah Ma’ruf Amin. Ketua Majelis Ulama 
Indonesia dan Rais Aam PBNU itu dipilih sebagai cawapres Jokowi. Ma’ruf juga 
tokoh sentral GNPF MUI. Sebagai Ketua Umum MUI, Ma’ruf mengeluarkan fatwa Ahok 
sebagai penista agama.

Diharapkan pemilihan Ma’ruf sebagai cawapres selain membuat solid dukungan NU, 
juga memecah soliditas pendukung Aksi 212. Gerakan Islam perkotaan itu saat ini 
menjadi musuh yang paling ditakuti dan tidak bisa ditundukkan Jokowi.

Namun seiring waktu ternyata Ma’ruf malah ditinggalkan umat. Reuni 212 berjalan 
sukses. Jutaan kaum muslim dan umat beragama lain tetap hadir menyemut di 
Monas. Mereka tidak menghiraukan keberatan Ma’ruf. "Untuk apa. Urusannya sudah 
selesai," kata Ma’ruf.

Di internal timses keberadaan Ma’ruf mulai dipersoalkan. Dia menjadi titik 
lemah dan tidak memberi kontribusi positif terhadap elektabilitas Jokowi. Yang 
terjadi elektabilitas Jokowi-Ma’ruf malah turun. Dalam bahasa timses stagnan.

Ketua timses Erick Thohir dan Luhut Panjaitan mulai mempersoalkan sakitnya 
Ma’ruf yang berkepanjangan. Hampir sebulan terakhir Ma’ruf absen kampanye, 
karena kakinya 'terkilir.'

Da’i kondang Yusuf Mansur (YM) juga menjadi target akuisisi politik Jokowi. YM 
diketahui terbelit kasus investasi. Salah satu kasusnya akhirnya dihentikan 
oleh Polda Jatim. Berbeda rekrutan lainnya, YM terkesan malu-malu dan mencoba 
menutup-nutupinya. Dia misalnya pernah bertemu dengan cawapres Sandiaga Uno.

Meskipun tidak secara terbuka menyatakan dukungan, nasib YM juga sama. Dia 
mulai ditinggalkan umat. Banyak yang uninstall Paytren, metode pembayaran 
online yang sedang dikembangkannya.

Kubu yang berada dalam lingkaran Pemimpin Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib 
Rizieq Shihab (HRS) juga menjadi sasaran akuisisi. Adalah Kapitra Ampera salah 
satu pengacara HRS yang 'direkrut' melalui akusisi menjadi caleg PDIP.

Khusus untuk Kapitra kasusnya agak berbeda. Dia diduga justru merupakan figur 
kubu seberang yang ditempatkan di lingkaran HRS. Jadi untuk Kapitra barangkali 
tidak terlalu tepat bila disebut sebagai akuisisi politik. Kapitra ditarik 
kembali setelah tugasnya dianggap selesai. Hanya saja penarikan Kapitra 
tampaknya terlalu cepat. Misi belum selesai.

Rekrutmen lain yang cukup fenomenal adalah Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra 
(YIM). Dengan cover direkrut sebagai pengacara Jokowi-Ma’ruf, YIM langsung 
ofensif. Dia menyerang sisi kepribadian Prabowo. Tidak seperti pernyataan 
semula, hanya akan menangani masalah hukum, YIM lebih banyak bertindak sebagai 
politisi pendukung inkumben.

Keputusan YIM membuat internal PBB gonjang-ganjing. Banyak pendukungnya, 
termasuk para caleg PBB yang menentang keputusan YIM. Diam-diam ada 
penggalangan dukungan untuk mendongkel YIM. Sudah hampir dapat diperkirakan 
seperti apa nasib PBB pada Pileg 2019. Secara tradisional pemilih PBB adalah 
penentang Jokowi.

Nah sekarang Jokowi sedang memanfaatkan akusisi politik terbarunya, yakni Ketua 
Pemuda Pancasila Jawa Timur La Nyalla Matalitti. Beberapa hari terakhir Nyalla 
aktif menyerang pribadi Prabowo. Dia misalnya menantang Prabowo menjadi imam 
salat seperti Jokowi. Nyalla juga berani bertaruh potong leher, bila sampai 
Prabowo-Sandi menang di Madura.

Strategi offensif Nyalla ini diperkirakan tidak akan memberi manfaat elektoral 
bagi Jokowi. Yang terjadi malah sebaliknya. Reputasi Nyalla yang kurang baik di 
Jatim, justru berdampak negatif. Jokowi bakal mendapat imbas buruk.. Peribahasa 
berlaku 'Kalau mau melihat seseorang, lihat siapa kawannya.'

Tetap dimanfaatkannya Nyalla menunjukkan kekuatan politik Jokowi dalam 
melakukan akuisisi mulai menurun. Dia tidak lagi selektif. Sudah mulai asal 
comot.

Di luar para tokoh di atas, Jokowi dan timnya juga berhasil melakukan akuisisi 
politik yang fenomenal terhadap Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibyo. 
Sebagai pendukung Prabowo pada Pilpres 2014, Hary Tanoe menyerah dan 
menyeberang menjadi pendukung Jokowi setelah kasus restitusi pajak Mobil 8 
diusut Kejaksaan Agung.

Hary tidak aktif menyerang Prabowo-Sandi, namun jaringan medianya (MNC Group) 
digunakan menjadi alat kampanye yang efektif bagi inkumben.

Pola Yang Sudah Baku

Banyaknya figur kubu seberang yang ditarik, menunjukkan Jokowi dan timnya 
sedang mencoba menerapkan strategi Sun Tzu. Namun sayang tidak cukup 
komprehensif. Mereka mencoba membuat musuh letih, dan bertengkar sendiri, namun 
caranya kurang halus, tidak cukup misterius, dan mudah teraba.

Pola yang dimainkan kubu Jokowi sangat mudah terbaca. Sasaran utamanya adalah 
figur yang mempunyai latar belakang Islam, atau punya basis ketokohan yang 
kuat. Kecuali Kapitra dan Nyalla kasusnya berbeda.

Satu lagi benang merahnya, semua figur lemah dalam prinsip. Sangat mudah 
ditaklukkan dengan iming-iming politik, atau tekanan hukum.

Akibatnya malah berbalik. Figur publik yang dijadikan senjata politik, menjadi 
senjata yang tumpul. Mereka ditinggalkan para pendukungnya. Yang terjadi lawan 
malah semakin solid. Keberhasilan Reuni 212 adalah contoh nyata.

Penggalangan publik opini, stigma, bahkan teror bom handphone tidak berhasil 
mencegah jutaan massa berkumpul di Monas. Ketidak hadiran tokoh ulama penting 
seperti Aa Gym, Ustad Arifin Ilham, termasuk Habib Rizieq tetap membuat umat 
berbondong-bondong menuju Monas.

Kegagalan berbagai operasi politik Jokowi ini tampaknya membuat Jokowi dan para 
pendukungnya bingung dan panik. Jokowi menyerukan para pendukungnya untuk 
membuat aksi tandingan. Dia misalnya berkali-kali mempertanyakan mengapa tidak 
ada aksi demonstrasi mendukungnya?

Keyakinan Jokowi terhadap soliditas pendukungnya tampaknya mulai goyah. 
Kabarnya ada rencana para pendukung Jokowi menggelar pengumpulan massa 
besar-besaran pada tanggal 20 Januari 2019 (Aksi 201 di Jakarta dan beberapa 
kota besar lainnya. Dengan aksi ini diharapkan elektabilitas Jokowi bisa 
rebound..

Belajar dari pengalaman aksi Parade Kebudayaan Indonesia (412) yang digelar 
oleh parpol pendukung Ahok, tak lama setelah Aksi 212 -bayang-bayang kegagalan 
tampak nyata. Tanpa satu ideologi, dan perasaan senasib sepenanggungan yang 
kuat, mengumpulkan jutaan orang seperti Aksi 212 atau Reuni 212 adalah sebuah 
kemustahilan.

Kekuasaan dan kekuatan dana bukan jawabannya. [***]
_

Kirim email ke