https://tirto.id/kasus-perusakan-sd-polisi-harusnya-mediasi-bukan-interogasi-murid-deX8
Kasus Perusakan SD: Polisi Harusnya
Mediasi, Bukan Interogasi Murid
Ilustrasi anak SD. tirto.id/Andrey Gromico
<https://tirto.id/kasus-perusakan-sd-polisi-harusnya-mediasi-bukan-interogasi-murid-deX8>
Ilustrasi anak SD. tirto.id/Andrey Gromico
Oleh: Alfian Putra Abdi - 23 Januari 2019
Dibaca Normal 1 menit
/Seorang kepsek melaporkan anak-anak muridnya yang masih SD ke polisi.
Anak-anak itu pun akhirnya diperiksa dan fotonya viral di medsos./
tirto.id <https://tirto.id/> - Sejumlah murid Sekolah Dasar (SD) 210
Bontominasa, Bulukumba, Sulawesi Tengah dilaporkan ke polisi. Mereka
dilaporkan kepala sekolahnya sendiri karena diduga merusak fasilitas
sekolah.
Murid-murid SD itu kemudian diperiksa penyidik Unit Perlindungan
Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Bulukumba. Setelah itu, foto
mereka sedang diperiksa polisi viral di media sosial. Namun, tak jelas
siapa yang menyebarkan foto tersebut.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bulukumba, AKP Bery Juana
mengkonfirmasi kebenaran foto tersebut.
"Iya betul, ada kepsek yang melaporkan siswanya. Foto yang beredar
adalah saat interogasi terlapor tentang perusakan yang dilakukan murid
salah satu SD Negeri di Bulukumba," ujar Bery seperti diberitakan
/Beritabulukumba.com
<https://beritabulukumba.com/55238/polisikan-murid-sd-kepsek-bulukumba-ini-dikecam>/,
Senin (21/1/2019)
Terlepas dari viralnya foto pemeriksaan itu, tindakan kepala sekolah
melaporkan murid-muridnya ini mendapat kecemana dari sejumlah kalangan.
Salah satunya dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
Susianah Affandi. Ia mempertanyakan seberapa besar kerusakan yang
ditimbulkan para murid sampai harus dilaporkan ke polisi.
Susianah justru menilai perusakan ini akibat pihak sekolah lalai
mengawasi murid-muridnya. Ia menganggap masalah ini tidak tepat jika di
bawa ranah hukum.
"Dalam perspektif perlindungan anak, mereka adalah korban dari lalainya
orangtua, keluarga dan sekolah dalam pembinaan," ujar Susianah kepada
reporter /Tirto/, Selasa (22/1/2019).
Tak hanya itu, Susianah juga menyayangkan ketidakpahaman kepala sekolah
soal Sistem Pidana Peradilan Anak (SPPA). Sistem itu memungkinkan
masalah pidana anak bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan pembinaan
atau disebut diversi.
“Sanksi bagi anak-anak pelaku sebaiknya berupa sanksi disiplin positif
seperti baca satu jus Al-quran dan olahraga keliling lapangan seperti
zaman dulu,” ujarnya.
Baca juga:
* KPAI Sesalkan Kepala Sekolah yang Laporkan Murid SD ke Polisi
<https://tirto.id/kpai-sesalkan-kepala-sekolah-yang-laporkan-murid-sd-ke-polisi-deUb>
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi
Prasetyo menerangkan polisi punya dua cara dalam menghadapi kasus yang
melibatkan anak sebagai terlapor. Apabila itu termasuk kasus pelanggaran
pidana berat, Dedi menyebut, anak terlapor akan diproses sesuai prosedur
hukum dengan perlakuan khusus terhadap anak. Namun apabila itu tindak
pidana ringan, Dedi berkata polisi akan memediasi sehingga penyelesaian
kasus dilakukan di luar pengadilan.
"Kalau anak-anak yang terlibat kejahatan-kejahatan ringan, maka upaya
/restorative justive/ yang dikedepankan," ujar Dedi.
Pelaksanaan Diversi Belum Maksimal
Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus
Napitupulu sependapat dengan KPAI, kasus pidana yang melibatkan anak
sebagai terlapor tidak perlu sampai ke kepolisian.
"Kalau pakai logika SPPA, tidak semua harus diproses atau dipolisikan,"
kata Erasmus kepada reporter /Tirto/.
Erasmus sepakat penyelesaian kasus dilakukan dengan cara diversi. Namun
dalam pelaksanaannya, kata dia, cara diversi ini masih banyak masalah.
“Kasus pidana anak juga meski sudah berkurang namun masih banyak juga
kasus yang harus bisa didiversi,” ujarnya.
Baca juga:
* Soal Kekerasan Anak di Sekolah, KPAI: Tenaga Pengajar Perlu Dibina
<https://tirto.id/soal-kekerasan-anak-di-sekolah-kpai-tenaga-pengajar-perlu-dibina-dcGw>
Senada dengan Erasmus, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana juga menilai
diversi ini belum maksimal. Dari hasil riset yang dikelola LBH Jakarta
selama kurun waktu 2013-2016, kata Arif, menunjukkan pelaksanaan diversi
dalam sistem peradilan anak belum maksimal karena tindak pidana yang
dilaporkan bukan kategori khusus yang bisa diversi.
Arif menyarankan pemerintah melakukan /legislative //revie/w terkait
syarat pelaksanaan diversi dan merinci kembali jenis-jenis tindak pidana
yang dapat diversi. Review ini dikhususkan untuk tindak pidana dengan
ancaman penjara lebih dari tujuh tahun namun tak menimbulkan korban.
Selain itu, LBH Jakarta juga mendorong pemerintah mengawasi pelaksanaan
diversi di kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan. "Intinya masih
belum [maksimal]. Masih jauh panggang dari api," tandas Arif.
Baca juga artikel terkait KASUS PERUSAKAN SD
<https://tirto.id/q/kasus-perusakan-sd-tSp?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Alfian Putra Abdi
<https://tirto.id/author/alfianputra?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowauthor>
(tirto.id - Hukum)
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan
Polisi harusnya kedepankan diversi dalam kasus yang melibatkan anak
sebagai terlapo.