BENARKAH AHMAD DHANI PANTAS DIPENJARA LAYAKNYA AHOK? 
https://mojok.co/hsw/esai/benarkah-ahmad-dhani-pantas-dipenjara-layaknya-ahok/ 
HARYO SETYO WIBOWO https://mojok.co/penulis/hsw/ 2 FEBRUARI 2019
 ESAI https://mojok.co/esai/ 1


 
 
 
 
https://api.whatsapp.com/send?text=Benarkah%20Ahmad%20Dhani%20Pantas%20Dipenjara%20Layaknya%20Ahok%3F%20https%3A%2F%2Fmojok.co%2Fhsw%2Fesai%2Fbenarkah-ahmad-dhani-pantas-dipenjara-layaknya-ahok%2F
 91
 Shares
 

 
 MOJOK.CO –  https://mojok.co/Seperti halnya kasus Ahok dengan vonis penista 
agama, apa yang menimpa Ahmad Dhani sebenarnya tidak perlu berakhir di penjara.
 Bagi beberapa orang—saya salah satunya—misuh, mengumpat atau memaki tidak 
serta merta memaknainya sebagai bahasa kotor.
 Saya sendiri menganggap misuh sebagai sarana keakraban dan cara menggelorakan 
ekspresi. Bahkan kalau diresapi benar ada unsur kejutannya, juga rekreatif.
 “Jancuk! Dobol! Kariermu cemerlang sekali, Njing! Rusak dunia ini kalau kamu 
diberi umur panjang. Orang lain yang nggak segoblok kamu bisa nggak kebagian.”
 Itu contoh umpatan 
https://mojok.co/erk/esai/asal-pakai-bahasa-arab-siapa-bilang-semua-lagu-dan-umpatan-jadi-religius/
 combo, ada jancuk, dobol, goblok, mengharap tidak berumur panjang, dan anjing. 
Unsur pujiannya minim, tetapi “si korban” merasa baik-baik saja. Terkadang 
malah ketagihan. Ringan dan melegakan bagi yang mengucapkan, bukan dianggap 
sebagai perundungan oleh korban yang memang mempunyai kedekatan emosi.
 Kebiasaan misuh hidup subur di sekitar kita, kemarin dan hari ini. Variannya 
tentu banyak, tiap daerah pasti memiliki. Jika dikumpulkan dan dibukukan, serta 
diberi contoh penggunaannya, rasanya KUHP warisan kolonial yang sering makan 
korban itu niscaya kalah tebal.
 Sayangnya, politik membuat segalanya berubah belakangan ini. Jika selama 
puluhan tahun silam, kalimat serupa yang diucapkan Ahok dan Ahmad Dhani tidak 
pernah menimbulkan masalah, sekarang bisa berakibat hukum yang serius.
 Rasanya terlalu sempit pandangan kita kalau misuh dianggap sebagai upaya 
menjatuhkan mental, memperburuk citra orang lain, apalagi diangap sebagai hate 
speech.
 Hate speech, istilah asing yang dengan gagah sering kita masukkan ke menu 
omong kosong dalam keseharian. Dan kemudian kita akrabi saat ini sebagai ujaran 
kebencian, mengajak orang lain untuk membenci.
 Satu istilah yang membuat bangsa ini memasuki peradaban baru sebagai bangsa 
baper dan cengeng. Sebentar-sebentar kok lapor polisi, lapor polisi kok 
sebentar-sebentar.
 Boleh saja misuh atau mengumpat diberi label sebagai ujaran kebencian. Merujuk 
perspektif sosiologi, mengumpat sejatinya menempati ruang yang sama seperti 
kebiasaan merokok. Dikatakan sehat salah, dikatakan tidak sehat nyatanya tidak 
sedikit perokok 
https://mojok.co/irv/esai/jumlah-perokok-muda-berkurang-pendapatan-negara-menurun/
 yang tetap sehat hingga masa tuanya.
 Problem bacot, eh, mulut di masyarakat sebenarnya kerap ambigu. Mereka akan 
menjawab “perlu” kalau itu dilakukan oleh sosok yang tidak disukai, dibenci, 
atau berseberangan. Beralih menjawab “tidak perlu” kalau itu dilakukan 
pujaannya, walaupun melakukan hal yang kurang lebih sama.
 Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Undang-Undang yang ada di negeri ini. 
Mulut dan tangan manusia Indonesia selain dibatasi Undang-undang Nomor 19 Tahun 
2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
 Untuk menjaga warga dari paparan informasi yang menimbulkan kebencian, juga 
dibatasi oleh Pasal 156a KUHP, agar orang di muka tidak mengeluarkan perasaan 
atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap 
suatu agama.
 Baca juga:  Merindukan Ahok dan “Pemahaman Nenek Lo” tentang APBD Jakarta 
https://mojok.co/dha/ulasan/pojokan/merindukan-ahok-dan-pemahaman-nenek-lo-tentang-apbd-jakarta/
 Seperti halnya kasus Ahok, yang menimpa Ahmad Dhani sebenarnya tidak perlu 
berakhir di penjara. Mulai dari ahli agama hingga ahli pendidikan, kalau 
ditanya satu per satu tanpa mengikutkan pandangan politiknya, pasti akan 
mengatakan kalau mengumpat secara publik itu salah.
 Namun, pemenjaraan untuk satu ucapan yang disampaikan dalam tensi politik yang 
tinggi, sebenarnya tidak akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang tangguh.
 Serius. Politisi itu seperti penonton bola di stadion. Atmosfer pertandingan 
dan riuhnya suporter kerap menaikkan tensi dan mengempaskan akal sehat kita ke 
level terendah. Saat melihat pemain lawan jatuh dilanggar tim yang kita 
unggulan, sebagian penonton yang “tengah terbakar” akan mengatakan beragam 
komentar: modar, ludahi, injak sampe jadi emping!
 Itu template suporter garis bengkok. Lihat lawan, bawaannya misuh.Seandainya 
ada yang mengatakan; “Astaghfirullah semoga tidak terluka,” berarti seorang 
ustaz yang sedang haus hiburan.
 Nah kalau ada yang mengatakan; “Syuper sekali jatuhnya,” ada kemungkinan  
Mario Teguh sedang hadir ke stadion untuk menyerap energi massa.
 Kalau terbiasa berpikir sistematis, terlebih dahulu kita perlu membereskan 
alur logika yang terlanjur kusut sejak vonis Ahok hingga Ahmad Dhani.  Namun, 
itu untuk manusia yang hobi berpikir seperti sebagian pembaca Mojok, ya. Loh, 
emang ada pembaca yang tidak berpikir? Ada banyak.
 Baca judul langsung menuduh kalau Mojok partisan dan sebenarnya sedang membela 
Ahok dengan gaya satire, lalu berlagak mau belain Ahmad Dhani agar segera bebas 
dari penjara—padahal sebenarnya mau nyindir.
 Hm, tidak. Tidak. pandangan itu jelas keliru. Tuduhan tanpa dasar.
 Secara subjektif, tulisan ini justru merupakan persembahan seorang Baladewa 
garis putus-putus lagi samar terhadap seorang jenius dalam industri musik kita. 
Sosok yang menempa para laki-laki dari generasi ‘90-an untuk menjadi mistikus 
cinta.
 Jasa Ahmad Dhani yang sebegitu besar selalu mampu membuat para Baladewa 
sedunia meraung dan merasa ganteng setiap melantangkan lirik “Akulah 
Arjunaaaaaaaaaaaaa…yang mencari cintaaaaaa…”
 Padahal, kalau dipikir-pikir, mana ada Arjuna yang sangat kalem meraung 
seperti itu saat mencari? Itu sih Cakil, ksatria kera yang lincah tapi selalu 
kalah kalau melawan Arjuna.
 Juga jangan bandingkan dengan “Mahameru”-nya Ahmad Dhani yang hanya dengan 
mendengarkannya saja sudah sanggup membuat kita menyusuri Ranu Kumbolo sambil 
minum coklat susu di dalam beku Arcapada.
 Nah, sekarang kita mulai pembelaan untuk Ahmad Dhani.
 Kalau Ahok dinyatakan bersalah sebagai penista agama, maka logikanya, Buni 
Yani bisa dibebaskan.
 Mengapa? Karena Hakim tidak mempertimbangkan hilangnya kata “pakai” saat Ahok 
melantangkan kalimat; “Jangan mau dibohongi pakai Al Maidah.” Ada atau tidak 
ada kata “pakai”, toh Ahok tetap dihukum, kan?
 Eh, sebentar. Buni Yani biarlah tetap dihukum, mengingat dia telah menunjukkan 
perilaku koruptif terhadap kalimat orang untuk satu tujuan politis. Dibohongi 
“pakai” Al Maidah dan dibohongi Al Maidah itu dua hal yang bisa sangat panjang 
untuk diperdebatkan.
 Baca juga:  Membayangkan Ahmad Dhani, Membayangkan John Lennon 
https://mojok.co/tan/esai/membayangkan-ahmad-dhani-membayangkan-john-lennon/
 Terlepas atas tafsir Ahoker tidak menyetujui vonis yang ditimpakan kepada 
Ahok, di akhir sidang, pengadilan sebagai kepanjangan tangan negara menetapkan 
Ahok secara sah dan meyakinkan sebagai penista agama.
 Jadi, kalimat mana dari tiga rangkaian twit Ahmad Dhani berikut yang membuat 
pentolan Dewa terbukti secara sah dan bersalah, melalukan tindak pidana dengan 
sengaja dan tanpa hak, menyuruh, melakukan, dan menyebarkan kebencian?
 “Yg menistakan Agama si Ahok http://makassar.tribunnews.com/tag/ahok… yg di 
adili KH Ma’ruf Amin.. ADP”
 “Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu di ludahi mukanya 
– ADP”
 “Sila Pertama KETUHANAN YME, PENISTA Agama jadi Gubernur…kalian WARAS??? – ADP”
 Bukankah Ahmad Dhani berdiri segaris dengan negara yang menetapkan Ahok 
sebagai penista agama?
 Secara logika pun tidak mungkin meludahi semua pembela Ahok, berapa juta liter 
ludah mampu diproduksi musisi kepala plontos tersebut? Apalagi kalau ada di 
depan saya, bukan pengagum Ahok, tapi tidak mendukung hukuman atas kasusnya.
 Semula saya berpikir ada hal yang paling menyedihkan di pengadilan tersebut. 
Tidak hadirnya rasa welas asih dari para hakim dan jaksa. Apa mereka tidak 
berutang rasa pada Ahmad Dhani? Tidak mampu mengingat di masa muda mereka, lagu 
Pupus karangan musisi menguatkan kita?
 Semoga waktu akan mengilhami
 Sisi hatimu yang beku
 Semoga akan datang keajaiban
 Hingga akhirnya kau pun mau
 Begitu saya buka biodatanya, Ratmoho, Hakim Ketua dalam persidangan tersebut 
ternyata kelahiran 1960. Saya langsung paham, oh itu sih eranya Bimbo. Pantesan 
tidak punya utang rasa pada Ahmad Dhani.
 Coba kalau dari Generasi X atau Y, pasti dalam putusannya akan mengatakan hal 
yang meringankan adalah karya terdakwa dahsyat sekali mempengaruhi masyarakat. 
Vonis cuma diharapkan lapor ke Polsek tiap Senin dan Kamis.
 Ke depan, pesan ini khusus untuk Ahmad Dhani, yang perlu diperbaiki saat misuh 
adalah menggunakan simbol bintang, syarat, dan kondisi berlaku. Cara tersebut 
perlu ditempuh untuk meminimalisir risiko tuntutan dari orang baperan yang 
doyan melaporkan kelakuan orang.
 Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu diludahi mukanya*.
 *) saya meludah dari dalam rumah saya – ADP
 Terakhir, ikut berpartisipasi dalam keamanan negara itu memang oke banget. 
Ikut mengeliminir ujaran kebencian juga tak kalah okenya. Tapi kalau terlalu 
reaktif dan baper, penjara kita tidak akan cukup menampung surplus orang yang 
kita perkarakan.
 Apalagi kalau kita sudah menjelma menjadi sosok hiper-partisipatif dengan 
mengusung tagline: “Sudahkah Anda lapor polisi hari ini?”

Kirim email ke