https://tirto.id/agus-widjojo-sipil-minder-tni-kurang-koreksi-amp-evaluasi-internal-dgKy
Agus Widjojo: Sipil Minder, TNI Kurang
Koreksi & Evaluasi Internal
Ilustrasi Agus Widjojo. tirto.id/Sabit
<https://tirto.id/agus-widjojo-sipil-minder-tni-kurang-koreksi-amp-evaluasi-internal-dgKy>
Ilustrasi Agus Widjojo. tirto.id/Sabit
Oleh: Haris Prabowo - 15 Februari 2019
Dibaca Normal 10 menit
/Soal razia buku kiri oleh aparat militer, Agus Widjojo bilang TNI
melintasi batas kewenangan TNI. "Itu menakutkan," katanya./
tirto.id <https://tirto.id/> - Ada macam-macam polemik terkait TNI
akhir-akhir ini. Dari mulai penunjukan Letnan Jenderal Doni Monardo
menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPP) yang
merupakan wilayah sipil, wacana panglima TNI soal penyaluran perwira
tinggi militer ke birokrasi sipil, instruksi presiden soal bela negara,
hingga razia buku kiri oleh aparat TNI. Belum lagi isu besar dan pelik
seperti pelibatan TNI di Papua.
Dalam hal-hal di atas, pemerintah seakan memberi jalan tol bagi
kembalinya militer seperti yang terjadi di era Dwifungsi ABRI. Untuk
mendapat telaah atas rentetan soal ini, wartawan /Tirto/ Haris Prabowo
menemui Agus Widjojo, salah satu perwira tinggi yang sejak 1998 berada
di garis depan pembaruan militer.
Menjadi bagian dari pemerintahan tak membuat Agus emoh bicara soal
reformasi militer di Indonesia. Ia tetap pada pendiriannya: TNI harus
profesional, tunduk di bawah kepemimpinan sipil. Lebih spesifik, ia
mengatakan panglima TNI seharusnya berada di bawah menteri pertahanan.
Dalam wawancara selama 45 menit yang berlangsung di kantornya pada 11
Februari 2019 itu, Gubernur Lemhannas ini mewanti-wanti pentingnya
memisahkan ranah TNI dan non-TNI. Ia menegaskan wacana penyaluran
perwira-perwira tinggi TNI ke lembaga sipil adalah hal di luar
kewenangan TNI.
Soal razia buku, Agus juga menegaskan Kodim tak punya hak melakukan
tindakan tersebut. "Itu menakutkan," katanya.
Soal pelibatan TNI di sebuah teritori, Agus menekankan hal itu
seharusnya menjadi keputusan politik sipil. Ketika sebuah wilayah tak
berstatus darurat militer, sambung Agus, setiap pembunuhan yang terjadi
di wilayah itu adalah kriminal. Ia mencontohkan Timor Timur pada 1975-1999.
"Artinya, yang menembak mereka semua itu adalah kriminal, bahasa
hukumnya begitu. Harus dicari satu per satu, dihadapkan ke pengadilan."
Kembali ke soal-soal terkait TNI belakangan ini, secara umum Agus
mencermati adanya keminderan dari politikus sipil di hadapan militer. Di
sisi lain, TNI menurutnya juga kurang koreksi dan evaluasi internal.
Berikut ini adalah wawancara lengkapnya.
*
Bagaimana tanggapan Anda soal wacana Panglima TNI Hadi Tjahjanto yang
ingin memasukkan surplus perwira tinggi ke pos-pos kementerian dan
lembaga negara beberapa waktu lalu?*
Itu bukan wewenang TNI untuk menempatkan anggota TNI ke ranah non-TNI.
Itu kan melampaui batas kewenangannya. Kecuali kalau itu datang dari
Presiden. Tapi kalau Panglima TNI, ia tidak punya kewenangan untuk
menempatkan anggota TNI keluar dari struktur TNI. Enggak bisa.
*Itu bisa dilakukan kalau merevisi UU TNI No. 34 tahun 2004?
*
Kalau merevisi, sekarang kan belum direvisi. Yang merevisi bukan TNI,
Komisi I DPR RI, suprastruktur politik. Jadi, itu di luar batas
kewenangan Panglima TNI, bukan kewenangan dia untuk bisa memindahkan
keluar struktur TNI. Kalaupun memungkinkan, jalan itu masih panjang dan
masih menjadi proses politik.
Baca juga: "Solusi Jokowi Hanya Menunda, Tidak Menyelesaikan Masalah
TNI"
<https://tirto.id/solusi-jokowi-hanya-menunda-tidak-menyelesaikan-masalah-tni-dgnE>
*Anda pernah bilang (dalam diskusi di kantor Tirto) bahwa reformasi TNI
sudah berjalan 70 persen setelah 20 tahun. Melihat kejadian beberapa
waktu terakhir, seperti razia buku dan wacana Panglima TNI, masihkah sama?*
Kita perlu memahami konsepsi reformasi itu secara keseluruhan. Reformasi
TNI itu diawali tahun 1998, 1999, 2000. Itu banyak yang sudah
dilaksanakan dan berjalan cukup lancar.
Mengapa? Karena pada waktu itu ada sebuah vakum/de facto/ otoritas
politik atas TNI dan TNI mengawali reformasinya berdasarkan inisiatif
dari dalam TNI sendiri.
Buktinya apa? Bahwa reformasi politik dalam bentuk amandemen UUD 1945
itu baru dilaksanakan dalam Pemilu 2004, yang melaksanakan pemilu
berdasarkan pemilihan langsung, padahal TNI sudah melakukan reformasi
sejak tahun 1998 hingga 2004. Banyak sekali reformasi yang sudah
dilakukan oleh TNI itu.
Apa saja reformasi itu?
Satu, penanggalan doktrin dwifungsi. Implementasi konkretnya adalah
lepasnya TNI dari peran politik partisan. Sebelum reformasi TNI, TNI itu
koalisi partai mayoritas di sistem politik Indonesia, yaitu Golkar. Itu
konkretnya. Setelah itu, TNI tak lagi jadi mitra Golkar, itu konkretnya.
Kedua, TNI melebur fraksi TNI-Polri di lembaga legislatif: MPR, DPR, dan
utusan daerah, hingga DPRD. Selanjutnya, TNI menarik anggota aktifnya
yang menduduki jabatan-jabatan sipil. Awalnya ada dua tahap. Dalam tahap
untuk menuju pembersihan itu, kepada mereka diberikan pilihan: “Kalau
kamu mau masih mau untuk bertahan di jabatan sipil, lepaskan status
aktif TNI. Pensiun dini. Tapi kalau kamu masih mau ingin terus menjadi
anggota TNI, lepaskan jabatan sipil.”
Ada juga pemisahan TNI dari ABRI pada waktu itu, sehingga ABRI dinamakan
menjadi TNI. Kemudian, politik praktis bukan hanya sebagai mitra Partai
Golkar, tapi juga sebagai pembina politik nasional. Dulu itu kalau ada
partai politik yang mau mengadakan pemilihan ketuanya, mereka bukan
berkonsultasi ke menteri dalam negeri atau siapa pun, tapi mereka
berkonsultasi ke markas besar TNI.
*Anda bilang berjalan lancar 1998 sampai 2004, setelahnya bagaimana?
Atau paling tidak 10 tahun terakhir?*
Nah, begini, saya katakan itu berjalan karena inisiatif di dalam TNI
sendiri. Kedua, ada vakum /de facto/ otoritas politik sipil yang ikut
campur di dalam TNI. Karena memang politik sedang sibuk untuk mengadakan
reformasi politik dalam bentuk amandemen.
Baru tahun 2004 itu dipulihkan kembali, otoritas politik sipil atas TNI
dengan implementasi pelaksanaan UUD 1945 yang sudah diamandemen, yaitu
[dengan diadakannya] pemilihan langsung. Dengan demikian, semua
kebijakan atas TNI harus didasarkan pada keputusan politik. Dikembalikan
ke sipil-sipil ini.
“Hai, sipil, kau yang memberi tahu kepada TNI, TNI ini boleh apa dan
tidak boleh apa. TNI ini tugasnya apa.”
Enggak bisa TNI menentukan untuk dirinya sendiri, enggak bisa. Mereka
bukan otonom. Kenapa? Dalam demokrasi, orang-orang yang punya kewenangan
untuk menjalankan negara ini adalah mereka yang memenangkan pemilu untuk
menduduki jabatan publik. Artinya apa? Mereka mendapat mandat dari
rakyat, untuk membuat keputusan-keputusan tentang bagaimana kita
jalankan negeri ini.
Panglima TNI, Kapolri, Pangdam, Kapolda, tidak pernah dipilih oleh
rakyat. Jadi, mereka tidak bisa memutuskan untuk diri mereka sendiri.
Apa yang bisa mereka lakukan, walaupun mereka merasa yang paling menjaga
persatuan bangsa? Yang paling menjaga persatuan bangsa adalah mereka
yang mendapat mandat pinjaman kekuasaan dari rakyat. Bukan Panglima TNI.
*Razia buku yang terjadi Padang, Kediri, dan Tarakan dilakukan oleh
Kodim setempat. Kapuspen TNI Sisriadi mengatakan enggak ada arahan dari
pusat. Apa tidak berbahaya militer lokal bergerak tanpa arahan dari pusat?*
Anda benar. Itu menakutkan. TNI telah bertindak sendiri, melintasi batas
kewenangan TNI. Apalagi di daerah-daerah dengan pernyataan Kapuspen
bahwa tak ada arahan dari pusat. Tidak bisa. Yang di Mabes TNI saja
tidak bisa membuat keputusan politik, apalagi yang di daerah. Jadi razia
buku itu berada di luar kewenangan TNI.
Konstitusi telah memberikan amanat kepada TNI sebagai pelaksana utama
pertahanan nasional. Pertahanan nasional itu tidak termasuk merazia dan
penyitaan buku. Harusnya ini dikoreksi dan diberikan teguran ke Kodim
setempat.
*Instruksi presiden mengenai rencana aksi Bela Negara tahun 2018-2019,
salah satu programnya sosialisasi anti golput. Apa memang Bela Negara
bisa mengurusi politik praktis?*
Itu masuk ranah politik. Anda benar. Tapi masalahnya ada salah kaprah
dari Bela Negara. Bela Negara ini hanya dilihat di dalam fungsi tunggal,
yaitu fungsi pertahanan-keamanan. Buktinya apa? Ini dilahirkan dari
Kementerian Pertahanan.
Sehaarusnya Bela Negara itu diturunkan pertama kali dalam sebuah konsep
utuh nasional, karena ini menjadi hak dan kewajiban setiap warga negara.
Dan kalau kita lihat, di dalam keputusan Menteri Pertahanan,
elemen-elemen Bela Negara ada lima.
Pertama adalah cinta tanah air, kedua membela Pancasila, ketiga dan
keempat saya lupa, dan kelima adalah membangun kemampuan awal
pertahanan. Jadi, hanya seperlima dari lima elemen ini yang menjadi
tanggung jawab Kementerian Pertahanan.
Empat lainnya tanggung jawab pendidikan, apakah Kemendikbud atau
Kemenristekdikti. Karena apa? Itu disosialisasikan di sekolah-sekolah
dan kampus-kampus, masuk kurikulum, walau juga bukan satu-satunya, tapi
masuk ke dalam kegiatan sosial.
Saya berikan contoh model yang terbaik bagi Bela Negara: Pramuka. Tapi
kita harus jaga juga: Pramuka jangan dipolitisasi, tapi untuk
kepentingan kebangsaan. Dalam Pramuka, ada aspek kepemimpinan,
keberanian, kesetiakawanan, kesederhanaan, tanda-tanda keterampilan. Ada
pola karier di dalamnya, semua ada tanpa menimbulkan kesan bahwa itu
adalah militerisme.
Jadi, cinta tanah air semacam itu yang harus dilakukan dan itu harus
keluar pertama kali dari sebuah lembaga yang mewakili lingkup nasional.
Baru 20 persennya diberikan ke Kementerian Pertahanan.
Dan 20 persen yang dikatakan pembentukan kemampuan awal sebetulnya dalam
rangka pembentukan komponen cadangan [tenaga untuk aksi militer]. Di
situ memang nanti tergantung berapa kekuatan komponen cadangan yang
diperlukan, nanti disebarluaskan ke Pemda apa persyaratannya. Ada yang
disisir dari bawah karena enggak sempat mengenyam pendidikan tinggi, ada
juga misalnya yang berdasarkan lotre, siapa saja yang diambil.
Terus, kemudian dapat panggilan. Terserah. Tapi itu dilatih secara
kemiliteran. Berjenjang, bertingkat, dan berlanjut. Agar membekali
kemampuan yang nantinya dalam keadaan darurat, kalau ada perang, mereka
diaktifkan untuk menjadi anggota TNI. Jadi penggandaan kekuatan TNI itu
bisa dalam waktu singkat dan cepat.
Pertahanan itu sebenarnya /external defense,/ untuk menghadapi ancaman
dari luar. Kita harus punya perhitungan. Mau tidak mau intelijen [yang
memperhitungkan]. [Apakah ancaman] mau dideklarasi atau tidak, kira-kira
dari mana bentuk ancamannya yang akan ganggu kedaulatan, dalam kekuatan
berapa yang akan ganggu, kira-kira mereka akan ke wilayah mana.
Itu sebagai dasar untuk menyusun postur pertahanan kita. Berapa kekuatan
mereka. Biasanya tiga banding satu untuk perhitungan militer dasar.
Mereka [punya] lima, ya kita siapkan limabelas.
Tapi sekarang kan belum perang. Kalau lima belas perut itu dipelihara di
masa damai kan mahal. Kalau masa damai, kita pelihara lima, bahkan kalau
berani tiga saja. Tapi, sisanya sudah siap di masyarakat untuk jadi
komponen cadangan.
Jadi, komponen cadangan itu pun harus diberikan komunikasi politik ke
publik, oleh pemerintah. Jelaskan bahwa pembentukan komponen cadangan
itu sama sekali bukan militerisasi. Harus ada penegasan seperti itu agar
publik mengerti. Karena sekarang juga tidak ada yang menjelaskan itu.
Malah yang ada salah praktik. Saya dengar di perusahaan-perusahaan sudah
menjalankan program Bela Negara, latihan baris berbaris dan bongkar
pasang senjata. Jangan semua digitukan. Harusnya mereka lebih ke
pemikiran, semangat, kecintaan, kebanggaan kepada tanah air.
Tapi ya kebanggaan kosong juga enggak bisa. Dia harus punya tentang
sesuatu hal yang bisa dibanggakan. Hal-hal konkret. Apa pun itu.
Contohnya kalau tim sepakbola Indonesia menang, itu kan muncul rasa
kebanggaan. Cinta tanah air tak bisa dibangun tanpa ada pembangunan rasa
bangga untuk bisa dibanggakan. Tak bisa semu.
Juga perlu pembangunan komponen cadangan yang cukup sesuai dengan
perhitungan risiko. Bela Negara itu tidak lagi dalam bentuk
mempersenjatai rakyat sipil, bukan milisi-milisi. Kesalahan dalam
sejarah kita adalah contoh di tempat lain, khususnya di Timor Timur,
ketika kita membentuk milisi. Enggak ada lagi itu.
*2016 silam, beberapa ormas diikutkan latihan Bela Negara dan latihan
fisik?*
Itu belum tepat. Mau dijadikan apa mereka. Karena pengertian Bela Negara
[selama ini] hanya militer. Karena lahirnya dari instansi militer,
Kementerian Pertahanan, yang konsepnya pun belum komprehensif. Mari kita
sempurnakan gagasan dan konsep ini.
*Pelibatan TNI di wilayah non-militer di Papua bagaimana pendapat Anda?*
Bagi kita sih gampang, karena semua itu milik kita. TNI milik bangsa,
Papua milik bangsa, ancaman di Papua pun ancaman milik kita juga.
Buatlah ketentuan apa yang pemerintah inginkan dari TNI. Tapi ketentuan
itu juga harus mempertimbangkan sisi-sisi lain. Misalnya, supremasi
hukum, penghargaan atas HAM, supremasi sipil juga.
Dan juga laksanakan praktiknya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
sudah kita rumuskan sendiri. Kalau itu diikuti, akan jelas. Misalnya,
pelibatan TNI bisa dilaksanakan bisa tiga cara.
/Satu/, apabila penempatan TNI dalam rangka tugas pertahanan, dalam masa
damai atau masa perang itu sah dia adanya. Tapi kita harus tajam
mendefinisikan apa itu pertahanan, jangan pertahanan itu sudah tercampur
dengan kepentingan lain seperti tugas-tugas TNI di masa lalu ketika
masih dwifungsi.
Kodam itu sah, karena mempersiapkan daerah untuk mempertahankan daerah
itu ketika nanti suatu saat akan terjadi ancaman perang. Persiapan
perang memang harus dilaksanakan dari sekarang dan itu menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat. Tidak pernah diberikan ke pemerintah daerah.
Makanya, di mana pun, satuan TNI selalu punnya pusat, bukan punya gubernur.
/Kedua/, perbantuan TNI ke pemerintah sipil di masa damai. Ini adalah
operasi militer selain perang. Manunggal. Baik itu untuk urusan keamanan
maupun urusan pembangunan. Dasarnya apa? Keputusan politik.
Dideklarasikan secara terbuka dan politis. Artinya, DPR juga harus tahu,
publik juga harus tahu, lagi-lagi pemerintah harus mensosialisasikan.
Maka, apabila melalui keputusan politik, ya sah dia adanya.
/Ketiga/, akibat dari eskalasi, tingkat keadaan darurat. [Dalam] tertib
sipil seperti di Jakarta Pusat ini, semua [aspek] hukum, HAM, dijamin
penuh. Kebebasan-kebebasan juga dijamin penuh.
Kalau ada gangguan, bisa ditingkatkan menjadi darurat sipil. Ini
pemerintahannya pilihan rakyat. Cuma kepada mereka bisa diberi
kewenangan untuk membatasi hak-hak dasar masyarakat, misalnya jam malam,
kebebasan berkumpul.
Juga ada darurat militer. Darurat militer itu TNI menjadi pemerintah.
Seperti pernah di Aceh dan Timor Timur. Jadi, pemerintah sipil yang
dipilih oleh rakyat sementara dikesampingkan dulu. Ini makin besar lagi
kewenangan TNI untuk membatasi kewenangan warga.
/Keempat/, adalah keadaan darurat perang. Semua sumber daya aset
nasional dikerahkan untuk mendukung upaya perang, mempertahankan
kedaulatan, pemerintahnya pun militer. Ini memberikan eskalasi perluasan
kewenangan pemerintah waktu itu berdasarkan eskalasi ancaman. Jadi,
enggak semua sama.
Contoh, di Timor Timur dari tahun 1975 sampai 1999, berapa tahun kita
menyatakan bahwa Timor Timur adalah daerah darurat? Enggak ada.
Apa artinya? Bahwa status hukum Timor Timur [saat itu] sama dengan
status Jakarta Pusat. Padahal, mereka yang mati bergelimpangan setiap
hari. Korbannya banyak. Artinya, yang menembak mereka semua itu adalah
kriminal, bahasa hukumnya begitu. Harus dicari satu per satu, dihadapkan
ke pengadilan.
Kita lupa, kita anggap biasa. Satuan TNI datang dan pergi. Itu juga
terjadi sampai sekarang, termasuk di Papua. Kalau tanpa ada pernyataan
[soal pelibatan TNI] itu, TNI tidak ada di bawah payung hukum, telanjang
dia. Tapi kalau sudah ada deklarasi, tugas yang jelas, anggota TNI
dipayungi dasar hukum.
Baca juga: Prabowo Melupakan Pelanggaran HAM Berat Timor Timur
<https://tirto.id/prabowo-melupakan-pelanggaran-ham-berat-timor-timur-dcMU>
Dan juga jangan takut tuduhan pelanggaran HAM berat, asalkan tentara
profesional. [Pertama], mematuhi hukum internasional tentang perang
damai, tentang kombatan dan non-kombatan. Kedua, mematuhi tatanan hukum
nasional. Tugas TNI apa, bagaimana kalau TNI dikerahkan? Ketiga yang
berikutnya adalah bahwa di dalam tentara itu sendiri sudah siap dengan
perangkat-perangkatnya. Misalnya aturan pelibatan, bagaimana untuk
membedakan kombatan dan non-kombatan.
Kalau semua itu dijalankan secara profesional oleh TNI, jangan takut
[dianggap melakukan] pelanggaran HAM. Salama ini, kita ketakutan, tapi
kita enggak tahu takutnya karena apa. Dan tidak membuat
perbaikan-perbaikan terhadap kondisi yang ada. Jadi kita begini terus,
tidak belajar dan tidak maju. TNI ini kurang koreksi dan evaluasi di
internal.
*Setelah kejadian di Nduga, ada wacana menjadikan Papua semacam DOM.
Pendapat ada bagaimana? Memang dibutuhkan?*
DOM itu apa sih. Enggak ada hukum kita istilah itu. Saya sudah bilang
tadi, pernyataan darurat itu ada empat tingkat tadi. Sebut salah satu
yang mana, karena itu akan mengikut ketentuan hukum. Kalau DOM kan
enggak ada, susah kita /ngikutin/. Jangan gunakan istilah yang tidak ada.
Baca juga: Mengenal Nduga dan Pegunungan Tengah, Daerah Merah di Papua
<https://tirto.id/mengenal-nduga-dan-pegunungan-tengah-daerah-merah-di-papua-da6L>
*Dalam UU TNI, BNPB tidak termasuk lembaga yang bisa dipimpin militer
aktif. Dan ternyata sudah kepemimpinan ketiga seperti itu semua hingga
terakhir Doni Monardo itu dipimpin oleh militer aktif. Bagaimana
pendapat Anda? Wewenang siapa memberikan peringatan ke presiden?
Mengingat BNPB di bawah presiden langsung.*
DPR RI, dan publik. kontrol sosial, dan organisasi non-pemerintah.
Secara mekanisme dan prosedur politik, ya DPR yang mengingatkan.
*Revisi UU TNI pun masih sebatas wacana. Dari penaikan Doni hingga
terakhir ucapan Panglima TNI..*
Ya itu tugasnya DPR RI yang merevisi dan mengingatkan kalau ada salah.
Karena fungsi DPR RI adalah fungsi kontrol. DPR RI itu adalah penjaga
permainan di dalam lapangan yang diperbolehkan dalam dinamika kebijakan
sehari-hari. Kalau itu berkaitan dengan penyimpangan dan penabrakan
rambu-rambu perundang-undangan yang dikaitkan dengan konstitusi, itu
wewenang Mahkamah Konstitusi. Kalau DPR adalah kebijakan dan UU.
Baca juga: Jokowi Langgar UU TNI Jika Angkat Doni Monardo sebagai Kepala
BNPB
<https://tirto.id/jokowi-langgar-uu-tni-jika-angkat-doni-monardo-sebagai-kepala-bnpb-dddv>
*Anda pernah bilang panglima TNI seharusnya di bawah menteri pertahanan,
Anda masih berpendapat serupa? Mengapa?*
Masih, karena Panglima TNI itu adalah pejabat profesional. Setiap
pejabat profesional harus ada di bawah pembuat kebijakan. Pejabat
profesional itu adalah pelaksana kebijakan. Polri, TNI, BNN, Basarnas,
semua itu adalah lembaga operasional. Dia harus punya atasan yang
merumuskan kebijakan. Tataran perumus kebijakan adalah setingkat menteri.
Kalau sebuah lembaga operasional itu langsung di bawah Presiden,
Presiden itu tak punya waktu untuk merumuskan kebijakan. Bebaskan waktu,
pikiran, dan tenaga presiden untuk memikirkan hal-hal yang strategis:
kebangsaan hingga kebijakan-kebijakan lainnya. Jangan-jangan malah
enggak dapat fungsinya kalau lembaga operasional langsung di bawah
presiden. Apa tujuannya? Malah enggak dapat benang merahnya.
Yang kedua, kalau ada lembaga yang langsung di bawah Presiden itu adalah
lembaga untuk membantu presiden membuat keputusan langsung. [Misalnya]
KSP. Kalau nanti ada Dewan Keamanan Nasional, boleh. Tapi, jangan
lembaga operasional seperti ini [TNI]. Karena ini [TNI] bukan untuk
membantu Presiden membuat keputusan. TNI hanya untuk melaksanakan di
lapangan.
*Posisi Mabes TNI dan kementerian pertahanan sekarang ini apa bisa
dikatakan agak rancu?*
Rancu. Dalam peraturan perundang-undangannya saja juga sudah rancu.
Wilayahnya abu-abu. Seharusnya panglima TNI itu sepenuhnya merujuk
kepada menteri pertahanan. Semua kebijakan, anggaran, itu dari Kemenhan.
Anggaran bisa satu, tapi arahan-arahan mengenai fungsi kebijakan itu
datangnya dari menteri pertahanan. Sekarang bagaimana? Enggak jelas.
Katanya dari menteri pertahanan, tapi panglima TNI bisa nyelonong
langsung ke presiden.
*Melihat perkembangan kasus yang kita bicarakan dari tadi, pandangan
Anda secara umum ke tubuh TNI bagaimana setelah 20 tahun reformasi?*
Tadi saya katakan, bahwa reformasi dari 1998 sampai 2004 itu cepat dan
berjalan lancar. Karena tidak ada tarik ulur kepentingan politik dan TNI
memutuskan untuk dirinya sendiri, yang sebetulnya bukan hal bagus dalam
demokrasi.
Seharusnya kebijakan itu datang dari otoritas politik. Karena otoritas
politik datang dari mandat rakyat. Panglima TNI tidak mendapat mandat.
Jadi, jangan dia bikin keputusan sendiri untuk diri sendiri, apa yang
mesti dilakukan.
Masalahnya [terjadi setelah] 2004, ini dilematis. Setelah 2004, semua
sudah menyerahkan semua otoritas ke sipil, kepada pejabat yang
memenangkan pemilu yang mendapat pinjaman kedaulatan dari rakyat.
Pada praktiknya, sipil ini mungkin kurang terlatih di masa lalu. Saya
bisa mengatakan bahwa masyarakat sampai dengan selesainya Orde Baru,
masyarakat dimanjakan oleh pemerintah dan ABRI. Semua persoalan
diselesaikan oleh ABRI, seolah-olah sipil enggak bisa menyelesaikan.
Kurang diberi kesempatan, jadi kurang terlatih. Imbasnya saat reformasi ini.
Yang kedua, karena kurang terlatih, ya [sipil] seperti kesebelasan
sepakbola jika tidak dilatih kan susah juga untuk menang. Main dengan
taktik apa pun, kalau tidak latihan, ya sulit. Ditambah lagi juga ya
dimana sebetulnya sipil itu belajar untuk berorganisasi.
Sekarang ini, di dalam dinamika kompetisi, [dari sisi] efisiensi,
efektifitas, dan inovasi, yang maju adalah sektor swasta, karena mereka
harus bersaing. Kalau di pemerintahan, nilai-nilai yang berkembang ada
di Kementerian Luar Negeri, karena mereka harus berinteraksi dengan
dinamika internasional. Tapi, [birokrasi] lainnya, gimana untuk
mendapatkan motivasi dan dorongan, untuk selalu meningkatkan kompetensi
diri? Insentif enggak ada.
Nah, ketika TNI menyerahkan diri ke otoritas sipil, untuk dikelola
dengan baik, malah sipilnya belum siap dan enggak optimal. Karena masa
lalu dibereskan oleh ABRI, ada kecenderungan minder dan kurang percaya
diri dan selalu ingin menarik dukungan politik dari TNI.
[Ada] kesan dari TNI, “Tuh, kan, kami masih diperlukan”. [TNI] masih
bergoyang dan kipas-kipas atas kurangnya kompetensi saudara-saudara yang
di sipil. Bukannya [bersikap] seperti tahun 1998, ketika terjadi
kekosongan yang memungkinkan TNI untuk masuk. Tapi [kalau dulu pada 1998
TNI masuk], akan terjadi seperti apa? [Akan seperti] Mesir dan Thailand,
yang sampai sekarang kasusnya belum selesai.
Baca juga artikel terkait DWIFUNGSI TNI
<https://tirto.id/q/dwifungsi-tni-i63?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Haris Prabowo
<https://tirto.id/author/harisprabowo?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowauthor>
(tirto.id - Wawancara)
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maulida Sri Handayani
Agus Widjojo: Timor Timur 1975-1999 tak berstatus darurat militer,
setiap penembak adalah kriminal yang harus diadili.