https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2019/03/21/161812/kafir-dzimmi-atau-warga-negara.html
*Kāfir Dzimmī atau Warga Negara?*

Kamis, 21 Maret 2019 - 12:00 WIB

"‘Kufr’ dan ‘kāfir’ sebenarnya sudah tampak jelas bahwa memang istilah
keduanya asalnya adalah wahyu Allah, firman Allah.


*Surat al Kafirun: Menjelaskan kedudukan Islam pada orang kafir*
Oleh: *Qosim Nursheha Dzulhadi*



*SYEIKH*  al-Qaradhawī, mengatakan, istilah *ahl ad-dzimmah* adalah sebutan
yang positif. Karena maknanya: mereka di bawah jaminan Allah, rasul-Nya,
dan jaminan umat Islam. Padahal, dengan istilah ini, umat Islam ingin
menjaga perjanjian dengan Allah, agar tak ada satu bentuk perjanjian pun
yang dikhianati. (Syekh Yusuf al-Qaradhawī, *Khithābunā al-Islāmī,* 46).

Padahal, mendiskusikan istilah ‘kāfir *Dzimmī*’ atau istilah *ahl
ad-dzimmāh *identik dengan negara Islam. Atau, satu bentuk negara yang
modelnya adalah *khilāfah*. Sedangkan Indonesia bukan negara Islam dan
tidak berdasarkan *khilāfah*, sebagaimana disepakati. Meskipun begitu,
Indonesia bukan negara sekular apalagi komunis. Apakah ada semacam
ketakutan dari musuh Islam terhadap kaum Muslimin di Indonesia? Jika tidak,
berarti usul untuk penggantian istilah ‘kāfir’ dan *ahl ad-dzimmah *adalah
‘lebay’. Apalagi jika istilah ‘*kāfir*’ dan ‘*Dzimmī*’ dipandang sebagai
‘kekerasan teologis’. Atau pertanyaannya dibalik: Tidakkah para pengusul
itu menyadari bahwa apa yang mereka lakukan juga dipandang sebagai
‘pemaksaan teologis’? Karena mereka telah memaksa umat Islam, agar mengubah
keyakinan mereka selama ini

            Mencermati masalah ini, mengingatkan penulis kepada satu buku
penting yang ditulis oleh Syekh Muhammad al-Ghazālī (w. 1997) dari Mesir.
Tajuk bukunya *at-Ta‘asshub wa at-Tasāmuh baina al-Islām wa
al-Masīhiyyah* (Kairo:
Nahdhah Mishr, 2005). Diantara isinya adalah menyoroti berbagai upaya yang
mengkritik ajaran Islam atas nama ‘nasionalisme’ (*wathaniyyah*). Dan
beliau menyatakan, “*Kita tegaskan bahwa berbagai bentuk gerakan
‘nasionalisme’ yang membenci Islam merupakan ciptaan Barat. Ini merupakan
ekspresi dari kesuksesan serangan besar yang dilancarkan oleh Perang Salib
gaya baru terhadap agama kita.”* (Syekh al-Ghazālī, *at-Ta‘asshub wa
at-Tasāmuh*, 23).

            Dan serangan yang tersusun rapi ini, tegas Syekh al-Ghazālī
bersandar pada dua jenis penulis: *Pertama,*penulis yang masih menyandang
nama Islam, meskipun tidak tahu apa-apa tentang Islam. Pemikirannya diambil
dari sumber Eropa.Kerjanya menyerang Islam demi menguntungkan pihak-pihak
yang ingin menghabisi Islam saja, kemudian jalan menjadi lempang bagi
negara-negara Kristen dan Israel.

            *Kedua,*penulis Katolik, yang dalam kerjanya ini menyatakan
bahwa ini murti gerakan ilmiah. Bukan karena benci kepada Islam, tidak
pulak untuk membela Kristen. Namun salah seorang penulisnya malah menuduh
Nabi Muhammad Saw. dan para Sahabat sebagai orang-orang yang lapar dan
tergiur untuk melakukan ekspansi. Bahkan, dia menyatakan bahwa sepanjang 14
abad, sejarah Islam mengandung kezaliman terhadap pengangut agama lain.
Seolah-oleh dia berkata, “*Inilah lembaran hitam kalian. Bagaimana bisa
kalian ingin menerapkan kembali hukum Islam?”* (Syekh al-Ghazālī,*at-Ta‘asshub
wa at-Tasāmuh*, 24).

            Hal di atas, kata Syekh al-Ghazālī, konteksnya di Mesir. Tentu
kita tahu mayoritas penduduk Mesir adalah Muslim. Kristen Koptik hanya
minoritas. Ini tentu keberhasilan dakwah Rasulullah Saw. di sana. Dimana
diawali dengan pernikahan beliau dengan seorang wanita Koptik, Māriah
al-Qibthiyyah yang kemudian melahirkan putera beliau bernama Ibrāhīm.
Dilanjutkan kemudian dengan Gubernur hebat, ‘Amr ibn al-‘Āsh, yang sampai
saat ini masjidnya terus dikenang: Masjid ‘Amr ibn al-‘Āsh.

            Selain itu, di Mesir ada seorang penulis liberal yang bernama
Fahmī Huwaidī yang menulis satu karyanya yang bertajuk ‘*Muwāthinūn Lā
Dzimmiyyūn’* (Warga Negara, Bukan*Kāfir* *Dzimmī*) (Kairo: Dār as-Syurūq,
cet. II, 1990). Usulan Fahmī Huwaidī hari ini diamalkan di Indonesia. Orang
*kāfir* akhirnya diganti dengan ‘non-Muslim’. Kemudian, mereka harus setara
dengan umat Islam: sama-sama warga negara (*muwāthinūn*). Seolah-olah
selama ini mereka tidak dianggap sebagai warga negara. Padahal, selama ini
semua pemeluk agama selain Islam di Indonesia memang ‘warga negara’.

*Makna ‘Kufr’ dan ‘Kāfir’*

            Di dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang makna kata ‘kufr’.
Diantara maknanya adalah ‘kufur nikmat’, lawat dari ‘syukur’ (Qs. 76: 3,
11: 68). Kalau kata kerja *kafara*disandingkan dengan partikel ‘bi’ (*kafara
bi*), maka artinya ‘lawan dari beriman’ (tidak beriman, Qs. 2: 256).
Kemudian jika ia muncul secara mutlak, tidak diikat oleh apapun, maka
maknanya adalah ‘tidak beriman’ atau ‘ingkar’ kepada perkara yang
semestinya diimani. Di sini kata ‘kafir’ lawannya adalah ‘mukmin’ (Qs. 64:
2).

            Penting dicatat bahwa istilah ‘kafir’ ini merupakan pembahasan
kuno, sudah lama sekali. Ia ada dalam rumpun bahasa Semit, seperti kata
*cover* dalam bahasa Inggris yang artinya ‘menghalangi atau menutup’. Dalam
bahasa ada kata ‘*kawwara’* yang artinya‘*laffa’*(menolak). Ada juga kata ‘
*ghafara’* yang maknanya ‘*satara’* (menutup). Ada juga kata‘*ghamara’*
 dan ‘*ikfaharra’* yang juga maknanya ‘menutup’. (Lihat, Imam ‘Abd al-Hamid
al-Farahi, *Mufradāt al-Qur’ān, *ed. Dr. Muhammad Ajmal Ayyub al-Ishlahi
(Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 2002), hlm. 304-306).

            Jadi, maka ‘kufr’ memang tidak satu. Tapi, yang mungkin menjadi
diskusi hangat saat ini ‘kufr’ yang menjadi lawan ‘iman’. Tentu ini benar,
karena makna ‘kufr’ adalah ‘tidak beriman’ atau ‘ingkar’. Apakah
mengingkari keimanan kepada Allah dan rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw.) atau
mengingkari atau menolak untuk mensyukuri nikmat Allah.

*Hakikat ‘Kāfir’*

            Imam at-Tahanawi dalam *Mausū‘ah Kasysyāf Isthilāhāt al-Funūn
wa al-‘Ulūm*menjelaskan makna ‘kafir’. Di dalam *Syarh al-Maqāshid* disebutkan
bahwa seorang ‘kafir’ jika menampakkan iman, maka namanya ‘munāfiq’. Bila
menampakkan kekufurannya setelah beriman, maka namanya ‘murtad’. Dan jika
menyatakan Tuhan punya “teman”, maka dia ‘musyrik’. Jika memeluk sebagian
agama dan kitab yang telah *mansūkh*(dihapus), maka dia namanya Ahli Kitab (
*kitābī*).

            Jika ada yang berpandangan bahwa zaman ini *qadīm*, maka dia
dinamakan *duhrī*. Jika tidak menegaskan adanya Allah sebagai Pencipta (
*al-bārī*) maka namanya *mu‘atthil*. Jika mengakui kenabian Nabi Muhammad
Saw. sekaligus mengakui keyakinan lain, maka namanya *zindīq*. Ini adalah
pandangan al-Maulawi ‘Abd al-Hakim dalam *Hāsiyat al-Khayālī*(Lihat,
Muhammad ‘Ali at-Tahānawī, *Mausū‘ah Kasysyāf Ushthilāhāt al-Funūn wa
al-‘Ulūm*, ed. Dr. ‘Ali Dahrūj (Beirut-Lebanon: Maktabah Lubnān Nāsyirūn,
1996): 2/1368-1369).

            Dari penjelasan mengenai ‘kufr’ dan ‘*kāfir*’ sebenarnya sudah
tampak jelas bahwa memang istilah keduanya asalnya adalah wahyu Allah,
firman Allah. Ini bukan buatan Nabi Muhammad Saw. Dan, kaum Ahli Kitab
(Yahudi dan Nasrani) sejatinya mengenal Nabi Muhammad Saw. sebagaimana
mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Meskipun begitu mereka tidak
beriman kepada beliau, bahkan kufur kepada beliau dan memusuhi beliau.
(al-Imam al-Qadhi ‘Alī ibn ‘Alī ibn Muhammad ibn Abī al-‘Izz al-Hanafī
ad-Dimasyqī (w. 792 H), *Syarh al-‘Aqīdah at-Thahāwiyah*, ed. ‘Abd
ar-Rahman Fahmī az-Zawāwī (Kairo: Dār al-Ghad al-Jadīd, 1430 H2009 M), hlm.
260-261).

            Maka, Al-Qur’an dan Sunnah sudah benar ketika menyebut siapa
saja yang tak mengimani apa yang diimani oleh umat Islam sebagai ‘*kāfir*’.
Karena Al-Qur’an, Sunnah, dan karya para ulama berbahasa Arab, maka istilah
yang digunakan sangat teknis, ‘*kāfir*’, bukan non-Muslim atau non-Mu’min.
Karena istilah ‘kufr-īmān’ dan ‘*kāfir*-mu’min’ adalah istilah teknis,
penggunaannya khusus, tidak mungkin diutak-atik, diubah-ubah. Sama dengan
istilah-istilah lain, semisal: ‘rusyd-ghayy’, ‘haq-dhalāl’, atau
‘hidāyah-dhalālah’, ‘thayyib-khabīts’, dan lain sebagainya.Ini bahasa
wahyu, bahasa Allah, bahasa Al-Qur’an.Maka, tidak seorang pun yang bisa
mengubahnya. Inilah bahasa internal-teologis umat Islam. Tapi dalam
mu’amalah, interaksi sosial, *habl min an-nās,* kata ‘*kāfir*’ tidak akan
pernah digunakan secara vulgar. Karena umat Islam punya kewajiban penting
dalam mu’amalah, yaitu perintah Allah ‘*wa qūlū li an-nās husnan’* (ucapkanlah
kepada manusia hal yang indah-indah, yang baik-baik, Qs. 2: 83).

            Maka, hemat penulis, mengatakan kata ‘*kāfir*’ kepada pemeluk
agama di luar Islam di ruang publik tidak dapat dibenarkan. Dan selama ini
pun ini yang berjalan. Sebagaimana penganut agama lain, misalnya Nasrani,
juga tak mungkin mengatakan ‘domba tersesat’ secara vulgar maupun di ruang
publik kepada orang Islam. Karena jika ini dilakukan akan memicu permusuhan
antar-agama. Dan tentu akan membahayakan kerukunan umat beragama dan
merusak stabilitas bangsa dan negara Indonesia.*[]*

*Aktivis Muslim dan penulis buku ‘Membongkar Kedok Liberalisme di
Indonesia’*

Kirim email ke