Gelar Pahlawan untuk Tan Malaka 
https://langgam.id/gelar-pahlawan-untuk-tan-malaka/ 
 Hendra Makmur https://langgam.id/author/hendramakmur/
   28 Maret 2019 https://langgam.id/gelar-pahlawan-untuk-tan-malaka/


 

 

 

 Langgam.id – Konsideran menimbang Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 
53 tahun 1963 tersebut hanya satu poin.
 
 “Menimbang: bahwa kepada Sdr. Tan Malaka almarhum patut diberi penghargaan 
oleh Negara, mengingat djasa-djasa almarhum sebagai pemimpin Indonesia di masa 
silam, jang semasa hidupnja, karena didorong oleh rasa tjinta Tanah Air dan 
Bangsa, memimpin suatu kegiatan jang teratur guna menentang pendjadjahan di 
bumi Indonesia.”
 Presiden Sukarno menetapkan Tan Malaka almarhum sebagai Pahlawan Kemerdekaan 
Nasional. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 1963, atau tepat 56 tahun 
yang lalu dari hari ini, Kamis (28/3/2019).
 Harry A Poeze dalam tulisannya ‘Memuliakan, Mengutuk dan Mengangkat Kembali 
Pahlawan Nasional: Kasus Tan Malaka’ yang termuat dalam Buku ‘Perspektif Baru 
Penulisan Sejarah Indonesia’ (2013) menulis, kepres ini merupakan langkah 
rehabilitasi Tan Malaka oleh Presiden Sukarno.
 Sebelum langkah ini, menurutnya, Sukarno merehabilitasi pertama kali nama Tan 
Malaka dalam pidatonya saat menghadiri Kongres Partai Murba pada Desember 1960.
 “Saya kenal almarhum Tan Malaka. Saja batja semua ia punya tulisan2. Saja 
berbitjara dengan beliau berdjam-djam – dan selalu didalam pembitjaraan2 saja 
dengan Almarhum Tan Malaka ini, ketjuali tampak bahwa Tan Malaka adalah 
pentjinta Tanah Air dan Bangsa Indonesia, ia adalah seorang sosialis jang 
sepenuh-penuhnja,” kata Bung Karno, sebagaimana dikutip Poeze dari Buku ‘Bung 
Karno tentang Partai Murba’ (1961).
 Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) adalah partai terakhir Tan Malaka. 
Bersama kawan-kawan dan pengikutnya, Tan Malaka mendirikan partai ini pada 18 
November 1948. Partai yang sejak berdiri langsung jadi musuh PKI, dan dicap 
sebagai pengkhianat.
 Saat merehabilitasi pria bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka itu, menurut 
Poeze, Bung Karno seperti melenyapkan capnya sebagai oposisi ilegal di masa 
orde lama.
 Pemberian gelar pahlawan nasional yang tak bisa dicabut, menurutnya, sekaligus 
meletakkan nama Tan Malaka dalam barisan pahlawan yang kontroversial. “Karena 
ia dinilai komunis oleh partai nasionalis dan partai agama, tetapi dianggap 
pengkhianat oleh kaum komunis,” tulis Poeze.
 Cap komunis tersebut, karena Tan Malaka memilih jalan perjuangan menentang 
penjajahan Belanda lewat partai komunis pada 1921-1926. Tapi, cap itu tetap 
lekat meski Tan keluar partai komunis pada 1927.
 Setelah keluar PKI karena berbeda haluan dengan gerakan komunis internasional 
dan Hindia Belanda, Tan Malaka mendirikan Partai Rakyat Indonesia (Pari) pada 
1927.
 Saat memberikan anugerah gelar pahlawan, kata Poeze, Bung Karno memilih 
melupakan banyak hal. Hubungan Tan Malaka dengan Sukarno dan pemerintah 
Indonesia pada umumnya di awal merdeka, memang naik turun.
 Tan Malaka langsung menyatakan dukungan pada pemerintahan duet Sukarno-Hatta 
setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Namun, saat sistem pemerintahan berubah 
jadi parlementer dan Sjahrir menjadi perdana menteri yang melaksanakan 
perundingan-perundingan dengan Belanda, Tan Malaka berbalik arah.
 Ketika ancaman Belanda yang datang membonceng Sekutu makin terlihat, Tan 
Malaka jadi salah seorang yang dipercaya oleh Sukarno-Hatta untuk melanjutkan 
perjuangan.
 Dikutip Harry Poeze dalam ‘Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’, 
Sukarno-Hatta sempat membuat testamen pada 1 Oktober 1945. Isinya, bila kedua 
pemimpin dalam kondisi tak berdaya untuk melanjutkan perjuangan, maka 
diputuskan perjuangan kemerdekaan akan diteruskan Tan Malaka, Iwa Kusuma 
Sumantri, Sjahrir dan Wongsonegoro.
 Namun, mulai Desember 1945, Tan Malaka mulai mengkritik pemerintah. Ia tak 
setuju dengan upaya perundingan yang mulai dirintis antara Republik dengan 
Belanda. Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin kemudian menjadi sasaran 
tembaknya.
 Tan Malaka menggerakkan 141 organisasi politik, laskar partai politik dalam 
organisasi Persatuan Perjuangan. Aliansi yang mendesak pemerintah untuk tidak 
berunding dengan Belanda, dan memperjuangkan kemerdekaan 100 persen.
 Persatuan Perjuangan mendapat dukungan dari Panglima Besar Jenderal Sudirman. 
Ia hadir dalam kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto dan berpidato, “Lebih 
baik diatom daripada merdeka kurang dari 100 persen.” Pidato yang kemudian 
diapresiasi Tan Malaka dalam Buku ‘Dari Pendjara, ke Pendjara’.
 Bahkan di Harian Merdeka tanggal 17 Februari 1946, Panglima Sudirman 
mempertegas dukungan tersebut. Mengutip Sides Sudyarto DS dalam ‘Tingkah Laku 
Politik Panglima Besar Sudirman’, M. Yuanda dalam ‘Peristiwa 3 Juli 1946: 
Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia’ menulis kutipan tulisan 
tersebut:
 “…Hasrat untuk membulatkan serta mempersatukan tenaga rakyat telah terbukti 
pula dengan adanya badan-badan koordinasi, seperti Dewan Perjuangan di seluruh 
Indonesia, dan akhirnya dengan terbentuknya Persatuan Perjuangan yang meliputi 
kira-kira 137 organisasi.
 …Kami sebagai tentara merasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, melihat bahwa 
di samping kita sudah terbentuk suatu kekuatan yang nyata, yang nanti 
bersama-sama kita ana mempertahankan kedaulatan Tanah Air…”
 Meski didukung panglima, Tan Malaka, M. Yamin dan sejumlah tokoh yang 
tergabung dalam Persatuan Perjuangan diperintahkan ditangkap oleh Perdana 
Menteri Sjahrir dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin.
 “Sesudah Kongres Persatuan Perjuangan di Madiun tanggal 17 Maret 1946, 
pimpinannya termasuk Tan Malaka ditangkap,” tulis Frans Magnis Suseno dalam 
Buku ‘Bayang-Bayang Lenin’.
 Menurutnya, Tan kemudian dituduh menjadi dalang penculikan Perdana Menteri 
Sjahrir pada tanggal 3 Juli 1946 di Solo. Atas tuduhan tersebut, penahanannya 
diperpanjang tanpa batas. Namun, pemerintah tak berani menghadapkannya ke 
pengadilan. Baru pada September 1948, Kabinet Hatta membebaskannya.
 Setelah bebas inilah Tan Malaka mendirikan Partai Murba. Ia kembali mengkritik 
keras pemerintah dan menolak perjanjian Linggarjati dan Renville.
 Setelah Agresi Militer II 19 Desember 1948, Tan Malaka bergerak menuju Kediri. 
Di sini, ia ditangkap pasukan reguler TNI dan kemudian ditembak.
 Poeze menulis, sebagai buntut dari penangkapannya, terjadi kesalahan dalam 
berbagai tindakan yang membawa kematian tak terelakkan bagi Tan Malaka.
 Lama tak ditemukan, hingga berdasar penelitian Poeze, makam Datuak kelahiran 
Pandam Gadang, Suliki, Limapuluh Kota itu ditemukan di Selopanggung, Kediri.
 Namun, namanya tetap besar dan dikenang banyak orang. Rekam jejak 
perjuangannya jelas sejak 1921 dan kemudian terusir dari Tanah Air pada 1922 
sampai kembali pada 1942. (Baca: Ditangkap dan Dibuang pada 1922, Awal 
Pengembaraan Tan Malaka 
https://langgam.id/ditangkap-dan-dibuang-pada-1922-awal-pengembaraan-tan-malaka/)
 Pokok-pokok pikiran dalam buku-bukunya menjadi landasan berpikir bagi banyak 
pendiri bangsa yang lain. Sampai, Muhammad Yamin menjulukinya Bapak Republik 
Indonesia, karena merupakan tokoh pertama yang memberi nama Republik dalam 
Bukunya, ‘Naar de Republiek Indonesia’.
 
 Jenderal Nasution mengakui, pikirannya dalam Kongres Persatuan Perjuangan, 
Buku dari Penjara ke Penjara dan Gerpolek, menjadi bahan bagi berkembangnya ide 
perang rakyat semesta yang sukses diterapkan TNI selama perang kemerdekaan 
mulai 1945-1949. (HM)

Kirim email ke