https://bisnis.tempo.co/read/1200282/walhi-proyek-obor-cina-bisa-timbulkan-jebakan-utang-
baru/full&view=ok
Walhi: Proyek OBOR Cina Bisa Timbulkan
Jebakan Utang Baru
Reporter:
Francisca Christy Rosana
Editor:
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 29 April 2019 13:07 WIB
<https://statik.tempo.co/data/2019/04/26/id_837204/837204_720.jpg>
*TEMPO.CO*, *Jakarta* - Skema perjanjian One Belt One Road atau Belt and
Road Inisiative (BRI) dengan pemerintah Cina
<https://bisnis.tempo.co/read/1198153/menperin-kalahkan-cina-indonesia-produsen-barbie-terbesar-dunia>
dinilai bakal menimbulkan tiga kerugian tak langsung bagi negara-negara
terkait.
*Baca: *Menteri Luhut Yakin RI Terhindar dari Jebakan Utang Jalur Sutra
Modern Cina
<https://bisnis.tempo.co/read/1199865/menteri-luhut-yakin-ri-terhindar-dari-jebakan-utang-jalur-sutra-modern-cina>
Hal itu disampaikan oleh organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
atau Walhi.
"Pertama, BRI akan menjebak negara-negara mitra dalam jebakan utang ke
Cina," ujar Manajer Kampanye dan Iklim Walhi, Yuyun Harmono saat ditemui
di kantornya, Mampang, Jakarta Selatan, Senin, 29 April 2019.
Jebakan utang ini sebelumnya telah melilit negara yang menyepakati BRI
dengan Cina, seperti Sri Lanka dan beberapa negara lainnya di Afrika.
Dengan skema goverment to govenrment atau g to g yang ditawarkan, Cina
menjadi pemodal Sri Lanka untuk membangun Pelabuhan Hambantota di pantai
selatan.
Cina pada 2017 menggelontorkan duit pinjaman senilai US$ 1,5 miliar.
Namun perjanjian ini berujung mudarat bagi Sri Lanka lantaran negara itu
harus menyerahkan pelabuhannya kepada pemerintah Cina lantaran tak bisa
melunasi utang.
Utang yang tidak terbayarkan itu berjumlah US$ 8 miliar. Nilai utang ini
setara dengan lebih dari 90 persen pendapatan domestik bruto rakyat Sri
Lanka. Dengan demikian, pemerintah Sri Lanka mesti menyerahkan sekitar
50 persen saham pelabuhan kepada Cina dan harus melayani perusahaan
milik Negeri Tirai Bambu itu selama 99 tahun.
Meski Indonesia menandatangani perjanjian dalam skema business to
business, Yuyun memprediksi bukan tak mungkin pemerintah akan memberikan
jaminan terhadap swasta. Yuyun juga mengungkapkan bahwa skema b to b
yang ditawarkan pemerintah belum jelas. "Alasan b to b itu problematis
karena selama ini kerja sama yang melibatkan utang luar negeri dijamin
pemerintah," ujar Yuyun.
Kemungkinan kerugian kedua yang disoroti Walhi dengan adanya perjanjian
ini adalah pemerintah menjadi tidak peka terhadap lingkungan hidup dan
iklim. Menurut catatan WALHI, dari 28 Proyek senilai Rp 1,296 triliun
yang ditawarkan pemerintah Indonesia, masih ada proyek-proyek listrik
energi kotor batubara.
Di antaranya PLTU batubara berkapasitas 1.000 megawatt di Kawasan
Industri dan Pelabuhan Internasional Tanah Kuning, Kalimantan Utara.
Selain itu, PLTU Celukan berkapasitas 2x350 megawatt dan PLTU Mulut
Tambang di Kalimantan Selatan-Tengah 3 dan 4, masing-masing berkapasitas
2x100 megawatt.
Dari proyek yang ditawarkan Indonesia, Walhi mencatat 42 persen di
antaranya merupakan proyek kotor batubara yang tidak ramah lingkungan.
Proyek itu, ujar dia, telah bertentangan dengan Kesepakatan Paris yang
ditandatangani sejumlah negara tentang perubahan iklim dan pelestarian
lingkungan.
Kerugian ketiga, proyek-proyek besar yang ditawarkan Indonesia untuk
kesepakatan pendanaan BRI berpotensi korupsi. "Sudah ada contohnya di
kasus PLTU 1 Riau yang melibatkan Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Di
sana ada kontraktor Cina juga," ucap Yuyun. Proyek dengan skala besar
ini berpotensi membuka peluang rasuah oleh pemain-pemain elite, baik
swasta maupun pelat merah.
Kesepakatan BRI sebelumnya ditandai oleh pertemuan yang digelar di
Beijing, Cina, pada 25-28 April 2019. Pertemuan yang sama sebelumnya
telah digelar pada Mei 2017. Pertemuan ini dihadiri oleh lebih 37 negara
termasuk Indonesia. Rombongan delegasi Indonesia dipimpin oleh wakil
presiden Jusuf Kalla dan diikuti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman
Luhut Binsar Panjaitan, Menteri luar Negeri Retno Marsudi, serta Menteri
Ristek dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong.
Dalam pertemuan ini, pemerintah memberikan syarat bagi masuknya
investasi asing dari Cina. Di antaranya investor Cina harus menggunakan
tenaga kerja asal Indonesia. Lalu, perusahaan yang berinvestasi harus
memproduksi barang yang bernilai tambah.
*Baca:* JK Tagih Janji Cina Naikkan Impor Sawit dari RI
<https://bisnis.tempo.co/read/1199193/jk-tagih-janji-cina-naikkan-impor-sawit-dari-ri>
Selanjutnya, perusahaan Cina <https://www.tempo.co/tag/cina> wajib
melakukan transfer teknologi kepada para pekerja lokal. Kemudian,
pemerintah Indonesia memprioritaskan konsep investasi melalui skema b to
b. Terakhir, jenis usaha yang dibangun harus ramah lingkungan. Poin
terakhir ini, menurut Yuyun, justru dilanggar oleh Indonesia sebagai
pembuat syarat karena pemerintah masih menawarkan proyek kotor batubara.
------------------------------------------------------------------------