https://kolom.tempo.co/read/1201151/memori-penderitaan-dan-absennya-negara-di-papua


 Memori Penderitaan dan Absennya Negara di Papua
Oleh : Hipolitus Y.R. Wangge
Kamis, 2 Mei 2019 07:00 WIB
KOMENTAR
<https://kolom.tempo.co/read/1201151/memori-penderitaan-dan-absennya-negara-di-papua/full&view=ok#comments>
316
-   Arial  Roboto  Times  Verdana
-
<https://kolom.tempo.co/read/1201151/memori-penderitaan-dan-absennya-negara-di-papua/full&view=ok#font-decrease>
<https://kolom.tempo.co/read/1201151/memori-penderitaan-dan-absennya-negara-di-papua/full&view=ok#font-increase>
-
-
[image: Sejumlah warga melakukan pengibaran Bendera Bintang Kejora ketika
merayakan HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM) di lapangan Timika Indah,
kabupaten Mimika, Papua, beberapa waktu silam. ANTARA/Husyen
Abdillah/Koz/Spt/11.]
<https://statik.tempo.co/data/2011/12/14/id_99241/99241_620.jpg>

Sejumlah warga melakukan pengibaran Bendera Bintang Kejora ketika merayakan
HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM) di lapangan Timika Indah, kabupaten
Mimika, Papua, beberapa waktu silam. ANTARA/Husyen Abdillah/Koz/Spt/11.

Hipolitus Y.R. Wangge
*Peneliti Marthinus Academy Jakarta*

Kekerasan yang melahirkan konflik berkepanjangan di tanah Papua merupakan
batu sandungan bagi setiap pemerintahan di negara ini. Setelah menjadi
bagian dari Indonesia pada 1969, Papua dengan segala permasalahannya masih
menjadi pekerjaan rumah yang seolah-olah tidak pernah terselesaikan.
Kekerasan, konflik, dan korban seakan-akan menjadi "siklus" tahunan yang
terus bergulir.

Dua pendekatan utama terkait dengan siklus tersebut, yakni keamanan dan
kesejahteraan, ternyata tidak memberikan banyak dampak positif bagi
penyelesaian konflik. Sejak era Orde Baru dengan sejumlah operasi militer
hingga era otonomi khusus yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat,
pemerintah ternyata juga belum mampu menghentikan lingkaran kekerasan itu.

Laporan majalah Tempo beberapa pekan lalu mencatat bahwa penggunaan senjata
menjadi pemicu siklus kekerasan yang tidak berhenti. Pendekatan keamanan
tersebut kontraproduktif. Penggunaan senjata oleh aparat keamanan justru
memperkuat memori penderitaan kolektif di sana.

Memori penderitaan yang tidak disembuhkan itu adalah salah satu pemicu
munculnya gerakan perlawanan. Memori ini menguat sejak dimulainya operasi
militer di masa Orde Baru guna memberangus gerakan perlawanan di sana.
Neles Tebay dalam Interfaith Endeavors for Peace in West Papua (2006)
mencatat 12.397 orang asli Papua menjadi korban sederet operasi militer di
Jayawijaya. Operasi-operasi militer tersebut tidak hanya menghasilkan
pengungsi yang mencari perlindungan ke Papua Nugini selama 1984-1987, tapi
juga gelombang besar masyarakat Papua yang terpaksa mencari tempat
berlindung di wilayah Papua dan Papua Barat.

Kisah-kisah penderitaan yang menemani keseharian kehidupan masyarakat Papua
kemudian memunculkan gerakan-gerakan perlawanan di sejumlah wilayah
tersebut, seperti di Lanny Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Paniai, Mimika, dan
Nduga. Pada 1996, penyanderaan sejumlah peneliti asing oleh Organisasi
Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik di Distrik Mapenduma, Nduga,
direspons dengan operasi militer yang juga mengakibatkan ratusan korban
masyarakat sipil.

Selang 22 tahun kemudian, konflik bersenjata kembali terulang di Nduga.
Pada Juni-Juli 2018, menjelang pemilihan Gubernur Papua, penembakan
kelompok OPM juga direspons oleh aparat keamanan dengan melancarkan operasi
gabungan di Distrik Kenyam. Puncaknya adalah penembakan 17 karyawan PT
Istaka Karya pada Desember 2018 di Distrik Yigi oleh kelompok OPM.

Egianus merupakan putra asli Nduga yang juga menjadi korban operasi militer
sejak ayahnya, Elmin Kogeya, terbunuh dalam operasi militer pada 1996.
Egianus dan masyarakat di sebagian distrik di Nduga kemudian merekam
cerita-cerita dan trauma penderitaan yang sedikit-banyak membentuk pola
interaksi sosial mereka dengan para pendatang maupun aparat keamanan di
sana.

Memori penderitaan ini diperkuat oleh ketiadaan negara dalam merespons
nasib pengungsi Nduga di Lanny Jaya, Puncak Jaya, Asmat, Mimika, dan
Jayawijaya. Di Wamena, terdapat sekitar 2.300 pengungsi. Sebanyak 700-an di
antaranya adalah anak-anak usia sekolah. Hingga kini, belum ada pengakuan
negara atas keberadaan mereka.

Konteks konflik ini belum diakomodasi dalam peraturan nasional mengenai
penanganan pengungsi, yaitu Undang-Undang Penanganan Bencana Nasional dan
Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial. Landasan keduanya dibangun di atas
perspektif konflik horizontal antar-kelompok masyarakat, bukan konflik
bersenjata yang bersifat asimetris. Hal ini berdampak terbatasnya akses
kemanusiaan di daerah konflik, termasuk di Nduga.

Absennya pengakuan negara ini berakibat ketiadaan penanganan pasca-konflik
(trauma-healing service) bagi pengungsi Nduga, khususnya anak-anak. Sejauh
ini, satu-satunya prakarsa pemulihan trauma adalah dengan pelatihan dan
pembuatan noken (tas tradisional Papua) sambil memberi kesempatan kepada
anak-anak tersebut untuk bercerita mengenai pengalaman dan cita-cita mereka.

Tradisi bercerita sambil menganyam noken juga menjadi alternatif di tengah
memori konflik sejak 1990-an. Dengan bercerita, anak-anak ini juga dapat
diarahkan untuk terus melanjutkan pendidikan di daerah mereka. Memori
kolektif kekerasan yang tidak disembuhkan dan ketiadaan pendidikan yang
baik hanya akan memotivasi sebagian anak-anak Nduga untuk bergabung dengan
gerilyawan OPM, seperti yang terjadi pada Egianus Kogeya, atau bergabung
dengan kelompok-kelompok pemuda militan yang menyuarakan aspirasi
kemerdekaan di jalan-jalan Papua.

Presiden terpilih diharapkan mampu memahami kompleksitas dan berani
mengambil langkah yang terukur, seperti dialog, untuk menghentikan siklus
kekerasan, konflik, dan korban di Nduga secara khusus dan di Papua secara
umum. Dialog akan semakin mendorong partisipasi negara dan pihak yang
bertikai untuk membantu menghilangkan trauma mendalam para pengungsi ini
dan pada akhirnya mencegah munculnya gerakan-gerakan perlawanan baru di
tanah Papua pada masa mendatang.

Kirim email ke