Ramadan dan Isu Minoritas di Tiongkok yang Terus Diulang
Oleh Budy Sugandi (*)
OPINI <https://www.jawapos.com/opini/>
19 Mei 2019, 22:54:12 WIB
https://www.jawapos.com/opini/19/05/2019/ramadan-dan-isu-minoritas-di-tiongkok-yang-terus-diulang/
Ramadan dan Isu Minoritas di Tiongkok yang Terus Diulang
*
*
*
*
*
*Di*awal Ramadan ini, kembali hangat isu negatif terhadap kaum minoritas
Muslim di Tiongkok. Beberapa hari lalu, Facebook saya di-mention oleh
sahabat karena ada yang share berita negatif terhadap kaum minoritas di
sana. Setelah saya cek, ternyata berita tersebut merupakan berita lama
yaitu 2015. Yang kemudian dihapus oleh sang pengunggah.
Seingat saya, isu itu ramai diperbincangkan beberapa bulan lalu.
Spesifik pada Muslim Uighur di wilayah otonomi Xinjiang yang merupakan
populasi Muslim terbesar di Tiongkok. Persis ketika memanasnya perang
dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Berita-berita di barat
menyoroti isu minoritas Tiongkok sebagai isu pelanggaran hak asasi
manusia (HAM). Sedangkan di Indonesia, lebih menyoroti pada sentimen agama.
Namun, kebanyakan foto-foto yang di-share adalah foto lama dan
dilebih-lebihkan. Memang betul terjadi pengamananan terhadap sekelompok
orang di Uighur, namun tidak semengerikan seperti di foto yang disebar.
Jika dipahamai lebih dalam, tujuan pemerintah Tiongkok di Xinjiang bukan
anti-Islam. Tetapi, untuk mengamankan kelompok radikal dan ekstrem.
Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di Xinjiang, memang perlu
dipahami dari sisi sejarah dan sosial politik. Seperti lokasinya yang
berdekatan dengan Afghanistan, Pakistan Tajikistan, Kyrgyztan,
Kazakhstan, Mongolia dan sedikit India di wilayah paling barat Tiongkok.
Bagaimana hubungannya dengan East Turkistan Islamic Movement (ETIM) pada
1960, termasuk konflik horisontal lain perlu dipahami secara mendalam
dan komprehensif.
Populasi Muslim di Tiongkok menurut sensus penduduk pada 2011 memang
masuk kategori minoritas. Sebab, hanya sekitar 1,8 persen. Mayoritas
dari suku Hui (48 persen) dan suku Uighur (41 persen). Meski minoritas,
hak Muslim untuk berkembang juga diberikan oleh pemerintah Tiongkok.
Buktinya, pada 1984 hanya ada sekitar 9 ribuan masjid. Namun, pada 2016
meningkat menjadi 24 ribuan masjid di Xinjiang. Jumlah itu sangat banyak
karena total masjid di seluruh Tiongkok sendiri sudah mencapai 39 ribuan
menurut Dewan Negara Tiongkok. Masjid terbesar adalah Great Mosque of
Xi’an dengan luas 12 ribu meter square yang berlokasi di Xi’an, Shaanxi,
Tiongkok. Masjid itu kali pertama dibangun pada awal Dinasti Tang pada
abad ke-8 Masehi.
Perlu diketahui bahwa konstitusi di Tiongkok memberikan kebebasan untuk
menjalankan agamanya masing-masing. Namun, sama seperti di negara lain,
melarang keras paham radikalisme. Agama dan gerakan radikalisme adalah
dua wajah yang berbeda. Sebab, tidak ada agama yang memerintahkan untuk
menyakiti orang lain.
Semakin baik pemahaman seseorang atas agamanya, maka semakin baik,
lemah-lembut dan toleran menyikapi perbedaan. Sebaliknya, orang yang
hatinya kotor menganggap hanya kelompoknyalah yang paling benar di dunia
ini. Padahal, perbedaan itu rahmatan lil alamin.
Presiden Xinjiang Islamic Institute, salah satu Institute di kota
Xinjiang, Abdurakib Bin Tumurniyaz, dalam satu wawancara menyampaikan:
“Berita soal Ramadan dilarang, itu tidak benar! Datang saja ke sini dan
lihat langsung. Tidak ada aturan larangan. Saya memelihara janggut
panjang begini apa saya ditangkap? Kan tidak”.
Isu provokatif yang sifatnya mendiskreditkan pihak tertentu seperti di
atas tidaklah banar. Berita yang diviralkan biasanya berita lama atau
berita baru (agar tanggal beritanya baru) namun isinya berita-berita lama.
Beberapa hari lalu, saya bersama rombongan berkunjung ke kota Chengdu,
Ibu kota provinsi Sichuan. Uniknya di pusat kota tersebut, selain ada
tugu dan taman, juga ada masjid yang cukup besar. Kami melaksanakan
salat zuhur di masjid itu dengan jumlah jamaah cukup banyak. Sekitar 3
saf. Selesai salat, kami juga sempat berdiskusi bersama Imam Masjid.
Di sana, setiap pekan di hari sabtu, rutin diadakan pengajian dan
diskusi yang mayoritas dihadiri oleh kaum muda. Laki-laki maupun
perempuan. Mayoritas mereka warga asli Tiongkok yang memeluk agama
Islam. Saya melihat yang laki-laki berpakain rapi dan yang perempuan
menggunakan kedudung saat pengajian.
Selama Ramadan ini, saya dan teman-teman Muslim di Tiongkok mulai dari
mahasiswa asal Indonesia, mahasiswa asing dari negara lain maupun orang
lokal Tiongkok yang beragama Islam bisa menjalankan puasa dengan
khidmat. Saya biasa memakai peci hitam ala Indonesia jika berangkat ke
Masjid Beibei.
Masjid ini merupakan masjid terdekat dari asrama saya. Meskipun tidak
sebesar masjid di pusat kota Chongqing, namun masjid yang berlokasi di
lantai 3 apartemen cukup ramai. Di dalamnya ada mimbar seperti masjid di
Indonesia pada umumnya. Jejeran kita suci Al-qur’an, sajadah yang
tersusun rapi dan pembatas antara jamaah putra-putri.
Bagi perempuan yang mayoritas mahasiswa asing dari Indonesia dan Mesir
juga biasa menggunakan kerudung. Sedangkan perempuan lokal ada yang
tetap menggunakan kerudung dan ada yang melepasnya setelah selesai salat.
Untuk merayakan bulan suci ini, hampir semua masjid di Tiongkok juga
mengadakan acara buka puasa bersama. Malam-malam kami juga bisa
melaksanakan ibadah tarawih berjamaah di masjid. Restoran halal ada di
mana-mana. Seperti di kawasan kampus dan pusat kota.
Kami bisa dengan mudah membeli makanan halal. Tidak ada
larangan-larangan sadis seperti yang diberitakan. Tentu saja toko dan
restoran di sini tetap buka seperti biasa di siang hari, meskipun tak
ada yang berjualan cendol dan kolak pisang. Untuk mengenali restoran
halal biasanya ada tulisan halal dalam huruf Arab di restoran dengan
menu seperti ayam, daging, sayur-sayuran dan mi.
Sebagai tanggung jawab akademik, kami yang tergabung dalam Pengurus
Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok telah menerbitkan buku
berjudul Islam, Indonesia dan China (2019). Buku yang diberi pengantar
oleh Ketum PBNU, Prof. KH. Said Aqil Siraj dan Dubes Indonesia untuk
Tiongkok, Djauhari Oratmangun itu dipaparkan secara jelas bagaimana
Islam di Tiongkok melalui kesaksian langsung dinamika kehidupan sosial,
keagamaan, ekonomi dan politik.
Salah satu materinya membahas tentang Xinjiang dan Isu Kemanusiaan tak
Berkesudahan yang ditulis oleh M. Irfan Ilmie, Kepala LKBN ANTARA Biro
Beijing sejak 2017 yang telah berkunjung langsung ke Xinjiang awal
Januari 2019 lalu. Di salah satu paragraf dituliskan “Isu muslim Uighur
di Xinjiang adalah isu lama yang diangkat kembali di tengah memanasnya
hubungan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Kebetulan atau tidak, memang faktanya isu ini mengemuka pada saat perang
dagang antara kedua pemimpin ekonomi dunia sedang berkecamuk. Meskipun
sangat lokal karena terjadi pada etnis minoritas yang mendiami salah
satu wilayah setingkat provinsi, isu Uyghur memiliki pengaruh hingga
skala global.”
Saya yakin tidak ada yang senang dengan pengrusakan hingga pembunuhan
massal. Hanya saja kebenaran berita perlu kita telusuri. Salah satu
caranya dengan membaca referensi dari sumber pertama. Jangan sampai isu
minoritas muslim di Tiongkok terus berulang hanya karena kepentingan
politik dan urusan penggalangan dana.
*(*) Penulis adalah kandidar PhD Jurusan Education Leadership and
Management, Southwest University, Chongqing, Tiongkok, Wakil Katib
Syuriah PCINU Tiongkok, dan Komisi Pendidikan PPI Dunia*
Editor : Dhimas Ginanjar
---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com