*Para petinggi rezim neo-Mojopahit memberikan argumen tentang pinjaman
bahwa hutang NKRI hanya 30% dari BNP, jadi yang dimaksudkan bisa berhutang
banyak lagi. Tetapi kalau dilihat ekspor menurun dan yang expor bahan yang
tak banyak mempunyai "nilai lebih", APBN selalu defisit, korupsi tetap
merajalala kedalam sumsum aparutur rezim, jadi untuk melunasi hutang atau
mengurangi hutang negara adalah beban berat untuk dipikul negara jadi
bagaimana jadinya kalau beban ini makin hari makin banyak dan bertambah
berat. Nafsu besar tenaga kurang, bisa jadi ditindas  beban yang dipikul.*

..
http://www.sinarharapan.co/ekonomi/read/10980/utang_luar_negeri_tetap_jadi_bom_waktu

Utang Luar Negeri Tetap Jadi Bom WaktuSenin , 22 Juli 2019 | 15:45

 MAAF sudah terlalu banyak masalah utang dibahas oleh banyak pihak. Semua
pandangan yang disampaikan cukup konstruktif agar semua pihak pemangku
kepentingan politik dan ekonomi berhati-hati untuk mengelola utang luar
negeri.

Satu diskursus yang menjadi perhatian adalah bahwa utang yang semakin
tinggi dalam valuta asing, akan membuat semakin terpuruk nilai tukar mata
uang lokal. Diskursus yang lain adalah bahwa meminjam uang secara
berlebihan membuka peluang terjadinya krisis. Dan biaya krisis tersebut
tidak saja dibebankan kepada pemberi pinjaman, tetapi juga kepada seluruh
masyarakat atau biasa kita kenal sebagai eksternal negatif,sehingga wajar
jika masyarakat menjadi ikut cerewet.

Pada perspektif yang lebih menggigit disampaikan oleh Joseph E Stiglitz,
peraih Nobel ekonomi dan mantan petinggi World Bank, dan pernah menjadi
penasehat ekonomi Presiden Clinton (kalau tidak salah), sangat menarik
untuk difahami bahwa progam-progam IMF mengakibatkan penyimpanan yang jauh
lebih besar dalam keberpihakannya pada lenders incentive atau insentif
untuk pemberi pinjaman.

Ketika krisis datang, IMF meminjamkan uang yang disebut dana talangan
(bailout). Tetapi jika didalami bahwa ternyata uang itu bukan benar-benar
sebuah penalangan untuk negara yang bersangkutan, melainkan untuk
penalangan bagi bank-bank di Barat sebagai kreditor.

Indonesia dalam kondisi kekurangan likuiditas di dalam negeri yang menurut
BI hanya mampu menyediakan sekitar 30% dari total pendanaan pembangunan dan
investasi yang dibutuhkan. Tidak ada pilihan kecuali harus menarik modal
asing.

Pilihan yang ada pada dasarnya hanya ada 3, yakni menarik pinjaman sebagai
utang luar negeri, meramaikan investasi portofolio, dan mengundang FDI
masuk. Pilihan yang ada hanya itu, kecuali pemerintah mau cetak uang baru
bukan sekedar untuk mengganti uang lama, tapi digunakan untuk membiayai
pembangunan dan investasi yang produktif.

Kalau mau jujur, hidup dengan utang tidak mengenakkan, tetapi bagi
Indonesia, nampaknya tidak ada pilihan kecuali harus melakukannya.

Pasca krisis 1998, pasar keuangan dan pasar modal diliberalisasi agar
menjadi wahana instrumen keuangan yang berperan menyediakan likuiditas
global untuk keperluan pembiayaan pembangunan dan investasi.

Kita percaya dengan kebijakan makro prudential dan menjaga defisit dan
ratio utang yang tetap manageable, agar tidak menimbulkan L bed debt.

Status invesment grade menjadi penting, dan pemerintah berkebutuhan dengan
status tersebut agar banker, kreditor dan investor tidak galau memberikan
pinjaman dan percaya terhadap kondisi perekonomian dalam negeri untuk
tujuan investasi.

Terkait dengan itu, Indonesia butuh ratio utang terhadap PDB yang
terkelola, serta ratio utang terhadap ekspor yang biasa kita kenal dengan
Debt Service Ratio/DSR juga harus terkelola.

Sebab itu, kemampuan ekspor harus maksimal dan harus tumbuh tinggi tiap
tahun, minimal bisa tumbuh 10% atau lebih dan harus lebih tinggi dari
pertumbuhan impor. Hukum besi ini harus kita jadikan patokan agar Indonesia
mempunyai kemampuan bayar melunasi utang yang tinggi.

Ini penting karena sebagian dari devisa hasil ekspor tiap tahun harus
dikorbankan untuk membayar utang, membiayai impor, dan pembiayaan
internasional lain yang harus dibayar dengan valuta asing.

Ekspor komoditas, ekspor produk manufaktur bernilai tambah tinggi harus
diupayakan meningkat, meskipun saat ini menghadapi realita pertumbuhan dan
volume perdagangan global terus melambat.

Saatnya yang tepat berbenah dan membangun export led strategy yang lebih
fondamental yang didukung oleh infrastruktur fisik dan infrastruktur lunak
yang bisa mengurangi ongkos produksi di sawah, kebun, di empang, dan pada
proses produksi di pabrik.

Ekspor ke negara-negara mitra dagang yang masih bagus trend pertumbuhannya
harus dijaga. Yang mengalami stagnasi dan penurunan perlu dilakukan
pendekatan diplomasi secara bilateral door to door. Pembiayaan Ekspor yang
kompetitif disediakan.
Pendek kata kalau ngeteng pun kita lakukan. Dua hal kita perlukan untuk itu
semua, yakni menjaga angka pertumbuhan pada rata-rata 5% agar tidak turun,
dan lumayan ada tambahan income valas untuk memperkuat cadangan devisa.

*Pajak Penghasilan Berlapis*

Mohon perhatian kepada Ibu Menteri Keuangan agar sementara ini tidak otak
atik dulu soal withholding tax. Bahkan kalau memungkinkan bisa
dipertimbangkan beberapa di antaranya dapat dihapus atau dikurangi.

Industri sebagai satu sistem yang utuh pencipta nilai tambah sejatinya
menanggung beban pajak penghasilan "berlapis". Terkena PPh badan 25%. Para
pihak yang langsung terlibat penciptaan nilai tambah dikenakan withholding
tax atau semacam itu kepada pegawai/pekerja pabrik, pemegang saham penerima
deviden.

Belakangan laba ditahan untuk bisa digunakan re-investasi diwacanakan akan
dikenakan withholding tax, sehingga langkah ini akan menjadi kontra
produktif untuk mendukung progam re- investasi. Jika dijumlahkan bisa
mencapai sekitar 40% atau lebih industri sang pencipta nilai tambah
menanggung beban pajak,belum lagi pajakdan retribusi daerah yang masih
terutang.

Rasanya tim pembenahan sistem kelembagaan di pemerintahan perlu bekerja
keras untuk menyisir satu persatu semua yang bersifat menambah beban biaya
investasi dan ekspor.

Aturannya harus diperbaiki,baik di pusat maupun di daerah. Kesehatan APBN
menjadi penting, kemandirian APBN menjadi harapan kita bersama, defisit
anggaran yang rendah harus terjaga, besarnya stimulus bagi pertumbuhan
ekonomi tidak berlebihan karena pendapatan sulit digenjot.

Risiko peningkatan beban utang, dan resiko capital outflow harus dicegah
karena seperti dikatakan di depan bahwa semakin besar beban utang dalam
valas yang terus bertambah akan mengakibatkan nilai mata uang lokal akan
menurun.

Kebijakan tentang transfer dan repatriasi valas sebaiknya diubah. Mohon
maaf dengan segala hormat bahwa masalah utang tetap akan menjadi bom waktu
karena pembiayaan pembangunan dan investasi sebagian besar berasal dari
modal asing dalam bentuk kredit, investasi portofolio dan FDI. Kue FDI
harus diperbesar karena sifatnya produktif memperkuat basis produksi untuk
ekspor, meskipun harus dengan susah payah dilakukan. Periode 2019-2024
adalah periode kunci dan menentukan. *(Fauzi Aziz)*

*Penulis adalah pemerhati ekonomi dan industri.*

Kirim email ke