https://news.detik.com/kolom/d-4690314/demokratisasi-global-dan-separatisme?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237085696.1227411294.1567444771-1429169487.1567444771
Senin 02 September 2019, 14:42 WIB
Kolom
Demokratisasi Global dan Separatisme
Umar Sholahudin - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/umar.sholahudin>
Umar Sholahudin
<https://connect.detik.com/dashboard/public/umar.sholahudin>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4690314/demokratisasi-global-dan-separatisme?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237085696.1227411294.1567444771-1429169487.1567444771#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4690314/demokratisasi-global-dan-separatisme?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237085696.1227411294.1567444771-1429169487.1567444771#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4690314/demokratisasi-global-dan-separatisme?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237085696.1227411294.1567444771-1429169487.1567444771#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4690314/demokratisasi-global-dan-separatisme?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.237085696.1227411294.1567444771-1429169487.1567444771#>
Demokratisasi Global dan Separatisme Demo "Papua merdeka" (Foto: Hasan
Alhabshy)
*Jakarta* -
Arus globalisasi dan demokratisasi tidak mengenal ruang dan waktu, dan
bahkan tak mengenal sasaran negara. Kuatnya arus globalisasi dan
demokratisasi tersebut "memaksa" peran politik negara untuk melindungi
kedaulatan politik nasionalnya. Namun meskipun telah dibuat berbagai
regulasi untuk menguatkan kedaulatan politik nasional, bukan berarti
arus globalisasi dan demokratisasi tidak menyeruak ke akar rumput.
Gairah berdemokrasi justru semakin menyeruak di berbagai daerah di
Indonesia. Daerah-daerah yang selama ini menjadi "korban politik dan
ekonomi" pusat semakin mendapatkan momentumnya untuk bereaksi dan
beraksi sesuai dengan kesadaran politik dan politik identitas yang
dimilikinya. Dengan kata lain, politik identitas di berbagai daerah
semakin menguat seiring dengan arus globalisasi dan demokratisasi.
Contoh yang paling ekstrem adalah munculnya berbagai gejolak politik dan
bahkan gerakan separatisme yang mengatasnamakan "kebebasan politik dan
demokratisasi".
Masyarakat menginginkan ruang kebebasan berekspresi dan berpolitik.
Negara harus memberikan ruang kebebasan bagi warganya untuk berserikat.
Virus demokrasi liberal yang diusung mesin globalisasi benar-benar
ditangkap oleh masyarakat yang pada saat yang sama telah mengalami
proses depolitisasi dari negara yang otoritarian. Dengan kata lain,
globalisasi dan demokratisasi telah memberikan dampak yang cukup
signifikan bagi tumbuhnya kesadaran berpolitik dan berdemokrasi, apalagi
demokrasi yang diusung adalah demokrasi liberal.
*Gejolak di Papua*
Gerakan politik dari sekelompok orang yang menginginkan "kemerdekaan"
terus berkembang dan semakin menguat seiring dengan semakin kuatnya arus
globalisasi dan demokratisasi yang disemburkan oleh negara-negara maju.
Indonesia punya pengalaman pahit dengan lepasnya Timor-Timur. Aceh pun
nyaris lepas dan bernasib sama seperti Timor-Timur, namun terselamatkan
dengan kebijakan otonomi khusus. Namun demikian, tidak menghilangkan
substansi dan ruh politik Aceh yang digawangi oleh mantan separatis
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tampilnya gubernur Irawadi Yusuf-Nazarudin
merupakan "simbol" politik kemenangan GAM saat itu.
Gerakan separatisme di Indonesia semakin meluasnya dengan kembalinya
Papua bergejolak. Masyarakat Papua laiknya api dalam sekam, disulut
sedikit langsung menyala. Kasus terbaru adalah sulutan dari peristiwa di
Surabaya dan Malang. Awalnya rusuh biasa dan adanya ujaran yang berbau
rasisme, namun dalam perkembangannya sulutan itu yang membuat memanas
Papua saat ini. Sulutan itu menjadi perlawanan kolektif, dan pada saat
yang sama mudah ditunggangi oleh kelompok yang tergabung dalam
Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau kelompok bersenjata yang bersuara
keras tentang referendum atau kemerdekaan Papua. Sehingga isunya mulai
bergeser menjadi isu tuntutan referendum atau merdeka.
Secara historis, gerakan separatisme OPM atau Gerakan Papua Merdeka
masih memiliki pengaruh kultural dan politik domestik dan internasional.
Gerakan Papua Mereka semakin hari bukan semakin menyusut, justru semakin
bersemangat dan militan untuk merdeka. Solusi pusat berupa kebijakan
otonomi khusus dan kucuran dana cukup besar untuk Papua ternyata tidak
menyurutkan kelompok gerakan separatisme Papua untuk terus berjuang
mendapatkan kemerdekaannya. Bahkan riak-riak kecil sudah mulai menjalar
ke beberapa daerah lainnya.
*Demokrasi Global*
Yang menjadi pertanyaan, fenomena politik apa yang sesungguhnya sedang
terjadi di Indonesia --mengapa benih separatisme tumbuh subur di era
demokrasi?
Tuntutan dan ambisi politik gerakan separatisme untuk merdeka bukan
sekadar karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat yang berlaku tidak
adil. Dalam konteks politik global, munculnya riak-riak separatisme
berbagai negara seperti di Filipina, Pakistan, India, dan termasuk di
Indonesia bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Ia adalah produk dari
adanya liberalisasi politik dan makin menggeliat tumbuhnya tuntutan
demokratisasi secara global.
Anthony Giddens dalam bukunya /Runaway World/ (1999) mengatakan,
globalisasi menjadi alasan bagi kebangkitan kembali identitas budaya
lokal di berbagai belahan dunia. Jika orang-orang bertanya, misalnya,
mengapa orang-orang Skotlandia menginginkan kemerdekaan yang lebih besar
di Kerajaan Inggris, atau mengapa ada gerakan separatis yang kuat di
Quebec, jawabannya tidak ditemukan hanya dalam sejarah kebudayaan
mereka. Nasionalisme lokal merebak sebagai respons terhadap
kecenderungan globalisasi seiring dengan melemahnya negara-negara lama.
Setelah tumbangnya rezim-rezim sipil dan militer yang otoriter, maka
mulai muncul dan tumbuh berkembang wacana demokratisasi dalam skala
global. Wacana demokrasi menjadi primadona suatu negara dalam
menjalankan sistem pemerintahannya. Demokrasi tumbuh di mana-mana
bagaikan tumbuhnya jamur pada musim hujan. Wacana demokrasi merupakan
antitesis terhadap rezim otoriter suatu negara.
Survei Freedom House 1991-1992 menunjukkan secara meyakinkan tumbuhnya
demokrasi di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Asia. (Chan Heng
Chee, 1993). Kita juga bisa memperoleh "kesaksian-kesaksian tangan
pertama" tentang episode demokratisasi di negara-negara berkembang --di
Argentina, Filipina, Chile, Nigeria, Sudan, dll-- dari para pejuang
demokrasi di negara-negara itu. (Larry Diamond, ed, /Democratic
Revolution: Struggle for Freedom and Pluralism in The Developing World/,
1992)
Kondisi perubahan sejarah secara dramatis tersebut (otoriter ke
demokrasi) dikatakan Samuel P. Huntington dalam /The Third Way/ (1991)
sebagai "gelombang ketiga demokratisasi". Robert Dahl dalam /Democracy
and Its Critics/ (1989) menyebutnya dalam istilah lain, yakni
"transformasi demokrasi ketiga".
Sinyalemen akan menyebarnya wacana demokratisasi ini pernah diungkapkan
seorang futuris terkenal berkebangsaan Jepang, Francis Fukuyama melalui
bukunya yang cukup fenomenal /The End of History/ /and The Last Man/
(1992). Fukuyama menggambarkan menyebarnya virus demokrasi ke seluruh
pelosok bumi dan berkibarnya tanda-tanda kemenangan demokrasi liberal.
Menurut Fukuyama, terbentuklah "abad demokrasi" dan sejarah peradaban
pun telah berakhir (/the end of history/).
Hal senada juga diungkapkan oleh John Naisbitt dalam bukunya yang
monumental /Global Paradox/ (1994), bahwa suatu saat akan terjadi
penyebaran demokrasi global. Namun berbeda dengan Fukuyama yang
mengajukan teori/the end of history/, Naisbitt mengajukan teori /the end
of politics/. Menurut Naisbitt, berkembangnya demokrasi justru membentuk
sejarah baru: terpecah-pecahnya negara-bangsa menjadi unit-unit kecil.
Demokrasi di mata Naisbitt,justru membesarkan dan melipatgandakan
keasertifan (penegasan) suku. Naisbitt pun meramalkan bahwa jika pada
tahun 2000 ada 300 negara, maka pada masa yang akan datang akan
membengkak menjadi 1000 negara baru. Secara sinikal, Naisbitt menyebut
ide negara dan perbatasan merupakan ide yang tidak relevan lagi di
tengah era keterbukaan dan globalisasi.
Atas dasar itulah Naisbitt sampai mengeluarkan satu hipotesis: semakin
besar demokrasi, semakin banyak negara, semakin kecil bagian dari
ekonomi global. Inilah yang dinamakan sebuah paradoks global. Paradoks
global ini memberi peluang kepada umat manusia untuk mengekspresikan
diri secara individual; peluang yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan masa mana pun dalam sejarah umat manusia.
Pendek kata, demokrasi yang mengglobal membawa konsekuensi pada rawannya
paham separatisme suatu negara. Maka semakin tumbuh suburnya unit-unit
(negara) kecil dalam konteks ini tak dapat dielakkan. Tak terkecuali
ketika kita melihat kasus tuntutan Papua untuk merdeka.
Dengan kata lain, tuntutan Papua untuk merdeka adalah sesuatu yang
"wajar" dan konsekuensi logis dari demokasi liberal. Demokrasi sangat
menghormati dan menghargai kemerdekaan tiap individu maupun kelompok
dalam mengekspresikan dirinya, baik secara ekonomi maupun politik.
Ramalan dua futuris di atas tidak terlalu berlebihan apabila kita
mencermati berbagai tuntutan referendum atau kemerdekaan yang terjadi di
berbagai belahan dunia, tak terkecuali di bumi Papua. Timor-Timur dapat
dikatakan merupakan salah satu "bukti" dari ramalan tersebut. Apakah
Papua juga akan menjadi "korban" selanjutnya?
*Liberalisasi Politik*
Secara faktual, berbagai bentuk resistensi yang dimotori oleh Gerakan
Papua Merdeka dan kejadian-kejadian politik dan kekerasan (baca:
tuntutan merdeka dan/atau gagasan referendum) yang mengiringinya adalah
fakta akan munculnya indikasi separatisme yang tak terbantahkan. Ini
adalah realitas politik dan sekaligus pil pahit yang harus dihadapi dan
diterima pemerintahan reformasi dan demokrasi.
Setelah Timor-Timur menjadi satu korban dari proses liberalisasi politik
dan demokratisasi global, kembali kini apa yang diramalkan kedua futuris
di atas yakni mengenai bahaya sentrifugalisme (lepasnya) bagi
bangsa-bangsa majemuk semacam Indonesia bisa saja terjadi.
Liberalisasi politik sebagai tuntutan global yang digulirkan bangsa
Indonesia dengan ditandai demokratisasi di segala bidang, selain
memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa, juga telah
memberikan potensi adanya kerawanan politik di daerah, yakni bahaya
separatisme. Virus menakutkan ini sebenarnya bisa dihilangkan apabila
permasalahan daerah yang selama ini tidak mendapat perlakuan yang adil
dari pusat diselesaikan secara menyeluruh. Misalnya masalah
ketidakadilan di bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Kondisi ini
akan menjadi bom waktu bagi pemerintah pada masa yang akan datang, bila
tidak ditangani secara serius.
Semakin menyeruaknya semangat separatisme di daerah merupakan biaya
sosial-politik yang harus dibayar pemerintah ketika menerapkan kebijakan
liberalisasi politik (baca: demokratisasi). Wacana demokrasi yang selama
ini dianggap paling "sempurna" dan menjadi primadona suatu negara
akhirnya tidak hanya memberikan kontribusi yang konstruktif bagi
pembangunan bangsa, tetapi dalam paham demokrasi itu sendiri juga
mengandung virus yang sangat menakutkan, yakni separatisme.
*Umar Sholahudin* /dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya, mahasiswa S-3 Sosiologi FISIP Unair
/
*(mmu/mmu)*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
Media China: Akhir bagi Mereka yang Ingin Mengganggu Hong Kong Sudah
Tiba Kompas.com - 02/09/2019, 18:07 WIB Bagikan: Komentar Pengunjuk rasa
pro-demokrasi berusaha mengembalikan gas air mata ke arah polisi, saat
terjadi bentrokan di Tseun Wan, Hong Kong, Minggu (25/8/2019). Aksi
protes telah bergulir selama 3 bulan terakhir di Hong Kong, dimulai
ketika Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam memperkenalkan
undang-undang yang bisa mengekstradisi kriminal ke China daratan.
Pengunjuk rasa pro-demokrasi berusaha mengembalikan gas air mata ke arah
polisi, saat terjadi bentrokan di Tseun Wan, Hong Kong, Minggu
(25/8/2019). Aksi protes telah bergulir selama 3 bulan terakhir di Hong
Kong, dimulai ketika Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam
memperkenalkan undang-undang yang bisa mengekstradisi kriminal ke China
daratan.(AFP/LILLIAN SUWANRUMPHA) Penulis Ardi Priyatno Utomo | Editor
Ardi Priyatno Utomo BEIJING, KOMPAS.com - Media China memberikan
peringatan kepada peserta aksi protes di Hong Kong bahwa upaya peremehan
kedaulatan negara tidak akan ditoleransi. Dalam editorialnya, Xinhua
mengulas bahwa aksi protes di Hong Kong kembali mengalami eskalasi
dengan massa menyerang kantor pemerintah dan melempar bom molotov ke
polisi. Baca juga: Ribuan Siswa Hong Kong Boikot Hari Pertama Sekolah
dalam Aksi Protes "Akhir bagi mereka yang mencoba mengganggu Hong Kong
telah tiba," demikian keterangan Xinhua sebagaimana dikutip Nikkei Asian
Review Senin (2/9/2019). Harian resmi pemerintah China itu menggunakan
diksi kuat seperti "para perusuh dan pendukung yang berada di belakang
layar" yang bisa diartikan tuduhan kepada negara Barat. Dalam ulasannya,
media itu menyatakan upaya untuk "menculik" Hong Kong dan menekan
pemerintahannya hanyalah mimpi, dan menegaskan konsesi tidak akan
terjadi. "Siapa pun yang berani merusak tatanan 'satu negara, dua
sistem' tidak akan berbuah apa pun, kecuali kegagalan, dan bakal diadili
sesuai konstitusi negara dan Hong Kong," ulas Xinhua. Peringatan itu
muncul setelah ribuan orang memblokade jalan dan transportasi yang
terhubung ke bandara dalam aksi yang awalnya menentang UU Ekstradisi
itu. Editorial itu mengulas ada tiga hal yang tidak boleh dilanggar.
Yakni meremehkan kedaulatan China, menantang wewenang pusat, dan
menggunakan Hong Kong untuk menginfiltrasi daratan utama. "Mereka tidak
boleh menghakimi tekad dan kemampuan pemerintah pusat untuk menjaga baik
kepentingan nasional, kedaulatan, hingga keamanan," ujar Xinhua. Dengan
aksi protes itu menuai perhatian dunia, baik kelompok oposisi maupun
pemerintah China daratan menggunakan kemampuan untuk memengaruhi publik.
Pada Sabtu, misalnya (31/8/2019). Kementerian Luar Negeri China merilis
vandalisme pendemo yang diduga menganiaya jurnalis internasional untuk
mendiskreditkan pergerakan. Baca juga: Demo Hong Kong Incar Sarana
Transportasi, Pengunjuk Rasa Gelar Aksi di Stasiun MRT Baca berikutnya
Kecelakaan Cipularang, 10 Mobil Terlibat,… Dapatkan hadiah utama
Smartphone setiap bulan dan Voucher Belanja setiap minggunya, dengan
berkomentar di artikel ini! #JernihBerkomentar *Baca Syarat & Ketentuan
di sini! Video Pilihan Sumber Nikkei Asian Review
Artikel ini telah tayang di Kompas.com <http://kompas.com> dengan judul
"Media China: Akhir bagi Mereka yang Ingin Mengganggu Hong Kong Sudah
Tiba",
https://internasional.kompas.com/read/2019/09/02/18072941/media-china-akhir-bagi-mereka-yang-ingin-mengganggu-hong-kong-sudah.
Penulis : Ardi Priyatno Utomo
Editor : Ardi Priyatno Utomo