https://mediaindonesia.com/read/detail/256997-radikalisme-agama-dan-ilmu-pengetahuan-integratif


*Selasa 03 September 2019, 07:35 WIB *


 /*Radikalisme Agama dan Ilmu Pengetahuan
 */


 /*Integratif*/

*Dosen Filsafat Fakultas Liberal Arts, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten Alexander Aur | Opini <https://mediaindonesia.com/opini>* <https://www.facebook.com/share.php?u=https://mediaindonesia.com/read/detail/256997-radikalisme-agama-dan-ilmu-pengetahuan-integratif>  <https://twitter.com/intent/tweet?text=Radikalisme Agama dan Ilmu Pengetahuan Integratif https://mediaindonesia.com/read/detail/256997-radikalisme-agama-dan-ilmu-pengetahuan-integratif via @mediaindonesia>

Radikalisme Agama dan Ilmu Pengetahuan Integratif <https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/1200x-/news/2019/09/6ae18b55c7b6840cd5c2c3513144cd87.jpg>

/MI/Tiyok/
Ilustrasi

PADA 31 Mei lalu Setara Institute meluncurkan hasil riset berjudul Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan atas Negara Pancasila di PTN. Hasilnya menunjukkan bahwa beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terpapar gerakan radikalisme agama. Peneliti Universitas Indonesia Ade Armando juga merilis hasil risetnya yang berjudul Perkembangan dan Tantangan Gerakan Islamis-Tarbiyah
di Universitas Indonesia.

Baik hasil riset Setara Institute maupun Ade Armando, menyingkapkan dua bentuk gerakan radikalisme agama di perguruan tinggi, yakni bentuk puritanisme agama dan bentuk ideologi-politik. Pada bentuk puritanisme agama, gerakan radikalisme agama menekankan cara beragama yang lebih ketat sesuai dengan doktrin-doktrin agama. Puritanisme agama juga tampak dalam cara pandang dan cara bersikap terhadap ilmu pengetahuan ilmiah. Bagi kaum puritan, ilmu pengetahuan harus dibangun di atas dasar dan dikembangkan dalam kerangka
doktrin-doktrin agama.

Kedua hasil riset itu menyingkapkan dua bentuk gerakan radikalisme agama di perguruan tinggi, yakni bentuk puritanisme agama dan bentuk ideologi-politik. Pada bentuk puritanisme agama, gerakan radikalisme agama menekankan cara beragama yang lebih ketat sesuai dengan doktrin-doktrin agama. Puritanisme agama juga tampak dalam cara pandang dan cara bersikap terhadap ilmu pengetahuan ilmiah.

Bagi kaum puritan, ilmu pengetahuan harus dibangun di atas dasar dan dikembangkan dalam kerangka doktrin-doktrin agama. Dengan kata lain, metode dan isi ilmu pengetahuan merupakan manifestasi dari metode dan isi agama. Pada bentuk ideologi-politik, gerakan radikalisme agama ini bertautan erat motif ideologis yakni universalisasi doktrin komprehensif agama.

Isi doktrin komprehensif agama ialah gugusan nilai etis-teologis yang bersumber dari teks-teks agama. Para penganutnya menerima dan meyakininya sebagai hal yang benar karena bersumber dari Tuhan. Doktrin komprehensif berfungsi sebagai acuan bagi penganutnya untuk bertindak dan menilai atau merespons persoalan tertentu.

Tujuan gerakan radikalisme agama yang ideologis-politis ialah menjadikan doktrin komprehensif agama sebagai ideologi dan landasan politik negara. Dalam konteks Indonesia, ideologi Pancasila oleh para radikalis ideologis, hendak diganti dengan doktrin komprehensif agama yang dianutnya. Para radikalis percaya bahwa doktrin komprehensif agamanya mampu mengatasi berbagai persoalan dalam negara.

Dua bentuk gerakan radikal agama tersebut melahirkan dua akibat. Puritanisme agama melahirkan sikap intoleran terhadap agama-agama lain. Adapun ideologis- politis melahirkan sikap politik anti-Pancasila dan mengganti Pancasila sebagai ideologi dengan doktrin komprehensif agama sebagai ideologi negara Indonesia.

*Ilmu pengetahuan integratif*

Mengapa gerakan radikalisme agama terjadi di perguruan tinggi? Hal ini tidak terlepas dari tanggung jawab perguruan tinggi menemukan dan mengargumentasikan ‘yang benar’ (the truth) dari aktivitas-aktivitas akademik. ‘Yang benar’ itu termanifestasi menjadi tiga jenis kebenaran yakni kebenaran koherensial, kebenaran korespondensial, dan kebenaran pragmatis.

Ketiga jenis kebenaran itu saling terintegrasi sehingga membentuk wawasan dunia epistemik (wawasan dunia ilmu pengetahuan) integratif dan universal. Radikalisme agama di perguruan tinggi merupakan cerminan dari belum terpenuhinya secara maksimal tanggung jawab perguruan tinggi tersebut. Hal itu juga berarti momentum radikalisme agama menjadi daya dorong bagi perguruan tinggi untuk membentuk wawasan dunia epistemik yang holistik dan universal. Untuk itu, perguruan tinggi mesti menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan dan pengembangan cara berpikir yang benar, cara bertindak yang tepat, dan cara berselera yang tinggi. Apabila seluruh sivitas akademika memiliki cara berpikir yang benar, cara bertindak yang tepat, dan cara berselera yang tinggi, aktivitas-aktivitas akademik dimaknai sivitas akademika sebagai Bildung, yakni proses kultivasi diri yang mengasah sensibilitas kultural dan spiritualnya. (Bdk., F Budi Hardiman, 2017).

Mahasiswa dan dosen sebagai sivitas akademika yang memiliki sensibilitas kultural akan menyikapi ilmu pengetahuan sebagai wujud konkret cara berada manusia dalam alam semesta. Ilmu pengetahuan yang dipahami dosen dan mahasiswa teraktulisasi secara konkret dalam menjalankan tridarma perguruan tinggi; meneliti, mengajar, dan mengabdi negara-bangsa (masyarakat).

Dalam melakukan penelitian dan pengajaran, dosen dan mahasiswa mengajukan hipotesis, menjawab hipotesis melalui verifikasi, falsifikasi, dan hermeneutika yang bermuara pada teori-teori baru ilmu pengetahuan. Mahasiswa dan dosen menyodorkan pula konsekuensi-konsekuensi terjauh dari teori barunya, seraya tetap mempertimbangkan secara cermat implikasiimplikasi etis dari aktivitas akademik dan penerapan teori baru untuk masyarakat. Inilah matra penelitian dan pengajaran dunia kampus.

Perguruan tinggi mesti merevitalisasi hakekat dan tujuan perguruan tinggi sebagai penemu the truth dan pengembang ilmu pengetahuan integratif dan universal. Dengan demikian, para sivitas akademika eksis dan aksis sebagai person yang menekuni panggilan hidup di jalan ilmu pengetahuan.

*Epistemologi-etika Pancasila*

Dalam pidatonya pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno menempatkan Pancasila sebagai wawasan dunia (weltanschauung) Indonesia, yang selanjutnya menjadi cara berpikir, bertindak, dan berselera warga negara. Jika pidato Soekarno itu ditempatkan dalam kerangka penumbuhan dan pengembangan ilmu pengetahuan, jelas bahwa Soekarno mengintrodusir model penumbuhan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkarakter Indonesia.

Soekarno menempatkan Pancasila sebagai epistemologi dan etika bagi penumbuhan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Supaya ilmu pengetahuan yang berkarakter Indonesia bisa tumbuh dan berkembang, Pancasila dapat landasan epistemik-etisnya. Dalam konteks pelahiran teoriteori baru ilmu pengetahuan– khususnya dalam bidang sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, budaya, sejarah– sesungguhnya
sivitas akademika

Indonesia berpeluang besar melahirkan teori-teori baru ilmu pengetahuan yang berwawasan dunia keilmuan Pancasila. Hal itu bukan berarti aktivitas akademik sebagai proyek ideologisasi Pancasila. Sebaliknya aktivitas akademik yang bermuara pada kelahiran teoriteori ilmu pengetahuan baru, merupakan sebuah proses kultivasi diri dan usaha mewujudkan nilai-nilai epistemik-etis yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.

Dalam proses dan tujuan yang demikian, ilmu pengetahuan mampu berdialog dengan agama, hormat terhadap manusia dan kemanusiaan, dan berpihak pada keberlanjutan ekologis. Dengan demikian ilmuwan dan calon ilmuwan Indonesia juga eksis dan aksis sebagai warga negara yang memiliki integritas keilmuan.

<https://www.facebook.com/share.php?u=https://mediaindonesia.com/read/detail/256997-radikalisme-agama-dan-ilmu-pengetahuan-integratif>  <https://twitter.com/intent/tweet?text=Radikalisme Agama dan Ilmu Pengetahuan Integratif https://mediaindonesia.com/read/detail/256997-radikalisme-agama-dan-ilmu-pengetahuan-integratif via @mediaindonesia>





Kirim email ke